DONASI

Risalah Keislaman di Dunia Jawa Kuno Merapi-Merbabu

Om̐ ºawiġnam astu nama sidi, Bismilaḥhiraḥmaṇirahim Imajinasi tentang gunung-gunung telah menjadi bagian dari kebudayaan umat manusia. Puncak-puncak gunung adalah tempat bersemayam dewa-dewa, gunung adalah tempat...

ESAI | FRIDAY, 29 MAY 2020 | 10:21 WIB

Om̐ ºawiġnam astu nama sidi, Bismilaḥhiraḥmaṇirahim

Imajinasi tentang gunung-gunung telah menjadi bagian dari kebudayaan umat manusia. Puncak-puncak gunung adalah tempat bersemayam dewa-dewa, gunung adalah tempat suci para pertapa, hutan di gunung-gunung adalah tempat para mahkluk halus tak kasat mata. Sore itu diiringi kabut yang turun perlahan di lembah di antara Gunung Merapi dan Merbabu, kami bergegas keluar dari perziarahan di sebuah makam kuno, sambil mencari simbol-simbol tertentu di nisan-nisan makam yang sudah diselimuti semak belukar dalam rangka riset kecil, dan sampingan, kami. Rintik hujan mulai turun. Sesaat setelah kami memasuki warung di pinggir jalan desa untuk berteduh, hujan lebat mengguyur.

Dari manuskrip Bujangga Manik, sekitar abad ke 15 diceritakan seorang pertapa, pangeran, dan pengembara dari Sunda bernama Bujangga Manik melakukan perjalanan ke arah timur mengelilingi Pulau Jawa. Diceritakan dalam naskah berbahasa Sunda tersebut, Bujangga Manik sampai di sebuah tempat yang bernama Gunung Damalung. Cu(n)duk ti gunung damalung (sampai di Gunung Damalung), datangna ti Pamrihan (dari Gunung Pamrihan), datang ti lurah pajaran (dari tempat yang relijius). Gunung Damalung adalah nama kuno Gunung Merbabu, disebutkan bahwa tempat-tempat ini adalah tempat yang ‘sakral’. Dalam Panji Jayalengkara Sunyawibawa Gunung Pamriyan merupakan tempat seorang pertapa di mana dalam pengembaraannya Raden Jayalengkara mendapatkan berbagai ajaran dari para pertapa di gunung ini.

Bunga Rampai Naskah-naskah Merapi Merbabu

Pada awal abad ke 19, tepatnya tahun 1822, sebuah survey budaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai di lereng Gunung Merapi Merbabu. Ekspedisi ini dilakukan untuk mendukung proyek kebudayaan Gubernur Jenderal Baron van der Capellen. Hasil ekspedisi ini adalah pada tahun 1850 sekitar 357 naskah berbahan lontar dibawa dari Merapi Merbabu ke Batavia, menjadi koleksi sebuah lembaga milik pemerintah kolonial bernama Bataviasch Genootschap. Lembaga ini di kemudian hari berubah menjadi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah-naskah ini diklaim sebagai milik Kyai Windusana yang merupakan seorang pendeta agama buḍa (bukan buddha) sekitar abad ke 18. Dari 357 naskah tersebut 330 di antaranya disalin menggunakan aksara kawi (Jawa kuno), yang belakangan diketahui bahwa aksara tersebut adalah aksara buḍa, dan 27 sisanya disalin menggunakan aksara Jawa baru.

R.Th.A. Friederich, seorang Indolog sekaligus pendeta berkebangsaan Jerman yang bekerja sebagai asisten pustakawan Bataviasch Genootschap, pada tahun-tahun awal pemindahan naskah-naskah ini menggambarkan karakteristik naskah-naskah tersebut yaitu (1) ditulis oleh orang-orang yang belum terpengaruh Islam, (2) berkerabat dekat dengan teks-teks Jawa kuno dan Bali, (3) berbentuk prosa, dan (4) sebagian besar bersifat keagamaan, diperkirakan penulisnya adalah penganut Brahmanisme. Seiring perjalanan waktu dan banyaknya naskah koleksi ini yang sudah diteliti, tentu saja pandangan ini kemudian mengalami perubahan.

Kebanyakan naskah-naskah ini disalin menggunakan aksara buḍa. Dilihat dari bentuknya, aksara ini berbeda dengan aksara Jawa yang dikenal sekarang, mirip dengan aksara Jawa kuno. R. Ng. Ronggawarsita dalam naskah KBG 208 halaman 8 menyebutkan bahwa aksara ini digunakan oleh para ajar di gunung-gunung. Selain di Merapi-Merbabu, aksara seperti ini juga ditemukan di masyarakat Tengger. Buḍa adalah sebutan untuk ajaran agama pra Islam yang berkembang di Jawa. Maka segala sesuatu yang berasal dari era pra Islam dinamai dengan sebutan buḍa termasuk aksara yang dipakai di wilayah ini. Agama Buḍa tidak sama dengan Buddha. Buddha adalah risalah yang dibawa oleh Sidarta Gautama.

Angka tahun paling awal penyalinan naskah-naskah ini adalah 1443 sedangkan paling akhir 1673. Selanjutnya jika tahun 1592 ditempatkan sebagai titik tengah rentang kedua tahun tersebut, maka diperoleh keterangan bahwa naskah-naskah koleksi ini disalin di antara rentang abad XVI sampai XVIII. Tidak ada informasi mengenai siapa penyalin (penulis) naskah-naskah ini, baik dari sumber primer di dalam naskah atau dari sumber sekunder catatan kolonial. Kebanyakan naskah berisi teks yang bernafaskan Agama Hindu atau ajaran agama praIslam, filsafat dan ajaran yoga sebagai meditas. Meskipun begitu setelah diamati lebih jauh ternyata ada sebagian kecil naskah yang mendapat pengaruh Islam.

Pada tahun 2002 gerbang menuju dunia kuno Merapi Merbabu terbuka. Kartika Setyawati, Ign. Kuntara Wiryamartana, dan Willem van der Mollen menerbitkan katalog naskah-naskah Merapi Merbabu koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Pada 2004 Ign. Kuntara Wiryamartana dalam seminar HISKI menerbitkan makalah yang berisi tentang karya-karya yang jarang mendapat perhatian oleh para peneliti. Pada kesempatan inilah naskah-naskah Merapi Merbabu, lewat tangan beliau, mendapatkan panggungnya. Sejak saat itu mulailah para sarjana berbondong-bondong ‘berziarah’ ke ‘kaki’ Merapi Merbabu, berlomba-lomba mengeja aksara demi aksara. Kebanyakan sarjana yang tertarik dengan koleksi ini memilih naskah-naskah yang bernafaskan Hindu karena diduga ajaran Jawa kuno yang tidak sampai ke zaman Jawa baru berhenti di koleksi ini atau naskah-naskah di zaman Jawa baru banyak bersumber pada koleksi ini.

Kebanyakan sarjana yang tertarik dengan koleksi ini memilih naskah-naskah yang bernafaskan Hindu karena diduga ajaran Jawa kuno yang tidak sampai ke zaman Jawa baru berhenti di koleksi ini atau naskah-naskah di zaman Jawa baru banyak bersumber pada koleksi ini.

Rama Kun, sapaan akrab Ign. Kuntara Wiryamartana, adalah pembaharu pandangan lama. Dunia Jawa kuno yang identik dengan era Kediri dan Majapahit kini perlahan menemukan serpihan baru di Merapi Merbabu. Dalam pandangan Nancy K. Florida, Jawa pernah mengalami era kegelapan di mana para pujangga berhenti memproduksi (dan mereproduksi) teks. Pada akhirnya terjadi renaissance, era kebangkitan, pada era Kartasura yang dipelopori oleh Yasadipunra I. Lewat koleksi Merapi Merbabu inilah misteri era kegelapan tersingkap. Pembawa obor penerang Jawa zaman kegelapan itu adalah Ign. Kuntara Wiryamartana, Kartika Setyawati, dan Willem van der Mollen.

Pada 2017 Abimarda menerbitkan makalah dalam Jurnal Masyarakat Sejarawan Indonesia dengan judul “Mencapai Keselamatan: Tinjauan Awal pengaruh Islam dalam Skriptoria Merapi-Merbabu abad 16-18.” Dalam makalah yang membicarakan teks Nabi Aparas Merapi Merbabu itu dijelaskan hadirnya unsur-unsur Islam di lingkungan scriptoria Mepari-Merbabu. Pada tahun 2019, Agung Kriswanto, menerbitkan makalah dalam Jurnal Jumantara yang berisi daftar naskah-naskah koleksi Merapi Merbabu yang mendapat pengaruh Islam. Pengaruh Islam yang dimaksud adalah adanya Aksara Arab, adanya kosakata Bahasa Arab, dan adanya teks-teks Islam. Dalam makalah tersebut disebutkan sejumlah 48 kropak dari keseluruhan kropak Merapi Merbabu yang berjumlah 390 kropak mendapat pengaruh Islam. Kedua karya tersebut di atas adalah sumber utama sekaligus yang menginspirasi penulisan artikel ini.

Fiqh dan Tasawuf

Dari 48 naskah keislaman koleksi Merapi Merbabu, satu naskah berisi niat dan rukun salat, satu naskah berisi teks tentang penjelasan sahadat, satu naskah berisi teks tentang penjelasan Nabi Muhammad SAW kepada Sayidina Ali mengenai makna syariat; tarekat; dan makrifat, satu naskah berisi penjelasan mengenai iman dan tauhid, satu teks berisi percakapan antara Seh Ba Yazid dengan Seh Balki yang menjelaskan mengenai ajaran tasawuf, dan tiga naskah berisi penjelasan mengenai sifat Allah. Dua naskah berisi teks Kawin Batin. Teks ini berisi percakapan antara dua tokoh yaitu Ni Badan dan Ki Nyawa tentang penyatuan badan dengan nyawa, tentang rasa, dan hubungan dengan tempat keberadaan Allah. punika kawin. batin. lagi kinawinakĕn. badan. kalawan ñawa (ini adalah Kawin Batin, tentang perkawinan badan dengan nyawa). Naskah-naskah yang termasuk ke dalam golongan ini berjumlah sangat kecil.

Tidak selalu diawali dengan bismillaḥhiraḥmaniṙrahim teks yang berisi penjelasan Nabi Muhammad kepada Sayidina Ali mengenai makna syariat, tarekat, dan makrifat ini diawali dengan om̐ ºawiġnam astu nama sidi. Keberadaan teks-teks ini menandakan bahwa risalah Islam yang hadir adalah risalah yang tidak hanya mengedepankan aspek tampilan fisik tetapi juga ajaran batiniyah. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya kalimat …titi suluk sungging pamracitani waraḥ// bas// bas// tan. nana hurip. kalawan jĕnĕṅ bas. tan. nana jĕnĕṅ tan. kĕnan pati kalawan hurip. bas. nana sakaṫah bas. kĕnan pati pada akhir teks yang berisi penjelasan tentang tauhid dan iman yang arti ringkasnya bahwa hidup dan mati itu sejatinya adalah satu. Terlebih lagi di akhir teks percakapan antara Seh Ba Yazid dengan Seh Balki tentang ajaran tasawuf tertulis …tuli, sajoṅŋ awat sagara, rasa tugal (tunggal?), //o// ‘kemudian (sajoṅŋ=sajĕŋ?) arak menguasai lautan, rasa menyatu’. Dalam pandangan Heru Nurcahyo dalam kajian atas Serat Gatholoco tasawuf semacam ini (yang ‘menyimpang’ dari syariat) adalah tasawuf heterodoks.

Cerita para Nabi

Risalah keislaman di koleksi ini hadir dalam bentuk teks-teks yang berisi cerita para nabi. Enam teks bercerita tentang cerita para nabi atau yang lebih populer disebut dengan Ambiya. Dalam teks yang bersumber dari al-Quran Surat Anbiya ini dijelaskan bahwa semua orang yang mendengar atau membacanya (sakeḥhiŋ amiḍŋĕṙ maŋkadḍi kaŋ amaca,) akan mendapat ganjaran berupa anugerah oleh Allah (sama sinuŋa ṇugraha deniŋ allaḥ hutaŋala). Dari informasi ini dapat dijelaskan bahwa fungsi Ambiya dalam masyarakat Merapi-Merbabu adalah sebagai bacaan untuk didengarkan. Keberadaan enam naskah berisi Ambiya ini menunjukkan bahwa keberadaannya mendapatkan tempat tersebdiri di lingkungan ini. Dalam versi yang lebih lengkap, Serat Ambiya, bercerita mulai Nabi Adam hingga nabi terakhir, Nabi Muhammad. Selain itu teks juga bercerita tentang para sahabat nabi, keluarga dan keturunan nabi, dan juga para wali. Cerita para nabi ini masuk ke Jawa lewat dunia Melayu dan menjadi populer di dunia Jawa baru. Selain di pondok-pondok pesantren, cerita ini juga menjadi khasanah sastra di kraton-kraton Jawa baik Surakarta maupun Yogyakarta. Tidak hanya disalin menggunakan Aksara Pegon, yang identik dengan Islam, tetapi juga Aksara Jawa. Keberadaan Ambiya beraksara buḍa ini memperpanjang cakupan Serat Ambiya.

Cerita para nabi ini masuk ke Jawa lewat dunia Melayu dan menjadi populer di dunia Jawa baru. Selain di pondok-pondok pesantren, cerita ini juga menjadi khasanah sastra di kraton-kraton Jawa baik Surakarta maupun Yogyakarta. Tidak hanya disalin menggunakan Aksara Pegon, yang identik dengan Islam, tetapi juga Aksara Jawa.

Satu naskah berisi cerita Nabi Aparas. Nabi Aparas berarti Nabi Bercukur. Cerita Nabi Aparas dibuka dengan pertanyaan seseorang kepada Baginda Abu Bakar yang meminta diceritakan tentang Rasulullah yang sedang bercukur rambut. Kata Baginda Abu Bakar, “Tatkala Rasulullah bercukur, Baginda Ali tengah berperang. Musuhnya Raja Lahad, tempatnya di Makkah, pada Hari Senin, Bulan Ramadhan” (dawěg b̈agend̈a li hapěraṅ muṅsuwe raja lahad· hěṅgone bumi mkaḥ, hiṅ dina sinen wulan ramělan·,). Selanjutnya teks bercerita tentang perintah Allah kepada Nabi Muhammad yang disampaikan oleh Jibril untuk bercukur. Teks Nabi Aparas Merapi-Merbabu ini hilang pada bagian yang menceritakan tentang kopyah yang hendak dipakai oleh nabi setelah selesai bercukur.

Di dalam teks Nabi Aparas Lombok yang disunting oleh Dick van der Meij dijelaskan bahwa Allah memerintahkan Jibril untuk masuk ke dalam surga mengambil satu lembar Daun Kasturi untuk dijadikan dastar oleh nabi (mañjinga maring swargadi, salĕmbar godonging kayuh, godongepun kastuba, lah ambila depunllan aglis, mung salĕmbar iku kang karyanĕn dastar). Nabi Aparas koleksi Merapi Merbabu ini menggunakan terminologi kopyah yang lebih bernuansa Melayu, dalam naskah Nabi Aparas Suku Sasak Lombok ini digunakan terminologi dastar. Dastar merupakan kata bahasa Jawa kuno yang sudah tidak ditemukan dalam bahasa Jawa baru. Zoetmulder menterjemahkan kata dastar sebagai ikat kepala. Rupanya kata ini juga merupakan serapan dari Bahasa Persia destar yang artinya adalah ikat kepala. Diceritakan lama nabi bercukur adalah 19 hari. Tidak sehelaipun rambut nabi jatuh ke tanah sebab Allah telah memerintahkan para bidadari untuk memungutnya. Teks ditutup dengan perintah Allah untuk menyimpan dan menyebarkan cerita ini sebagai jimat keselamatan.

Berbeda dengan Ambiya yang berfungsi sebagai bahan bacaan, keberadaan teks Nabi Aparas ini adalah sebagai jimat keselamatan. Senada dengan hal tersebut Dick van der Meij juga mengatakan bahwa fungsi teks ini dalam masyarakat Sasak adalah sebagai jimat keselamatan.

Primbon

Enam naskah berisi teks berisi tentang Palilinḍon dan Pagrahanan. Palilinḍon berisi tentang informasi gempa bumi yang terjadi pada 12 bulan selama satu tahun. Bulan-bulan terjadinya gempa ini adalah bulan dalam tradisi Hijriyah. Setiap gempa yang terjadi pada bulan-bulan tersebut adalah pertanda akan terjadinya kejadian yang lain. Setiap gempa dibedakan waktu terjadinya yaitu siang, misalnya lammun· linḍu hi wulan· rabbêŋullakiṙ hi raḥhinna lammatṭ akaḥ woṅ mati hi nĕgara hiku (jika gempa pada Bulan Rabiulakhir pada siang hari pertanda banyak orang mati di negeri itu), dan malam hari misalnya lammun· linḍu hi wĕṅŋi lammat· (pa)ḍa mêtṭu banyunne (jika malam hari akan palawija akan lestari dan sumber (air) menjadi besar). Teks palilinḍon ini selalu disertai dengan teks pagrahanan yaitu teks yang berisi informasi tentang gerhana yang terjadi pada bulan-bulan Hijriyah yang merupakan pertanda kejadian tertentu.

Versi Palilinḍon dan Pagrahanan ini banyak ditemui di dalam kebudayaan daerah lain di Nusantara misalnya di Cirebon, Banten, Minang, Melayu, hingga Aceh. Palilinḍon disalin ke dalam Bahasa Jawa Kuno, sementara dalam versi Jawa baru disebut Primbon Palindhon. Naskah-naskah bergenre primbon, yang bermuatan Islam dalam koleksi Merapi Merbabu ini, di ataranya primbon untuk pengobatan, primbon untuk menghitung kelahiran, dan primbon untuk bepergian.

Doa, Mantra, dan Rajah

Delapan naskah berisi teks tentang doa. Doa-doa yang dimaksud dalam kumpulan teks ini adalah doa keselamatan dan tolak marabahaya yang disalin ke dalam Bahasa Arab. Selain doa, ada penggolongan lain dalam kumpulan naskah-naksah ini, yaitu mantra. Mantra-mantra ini ditulis dengan Bahasa Jawa kuno namun dengan sisipan-sisipan Bahasa Arab di dalamnya. Ada 12 mantra di antara pangujanan untuk menghilangkan dan mengundang hujan, untuk kekuatan badan, puser bumi, mantra untuk menolak guna-guna (ºanulaka tluḥ). Beberapa mantra ini diucapkan dengan memanggil nama-nama mahkulk halus, memanggil nama-nama nabi, hingga nama-nama sahabat nabi agar menempati bagian-bagian tubuh masing-masing yang akhirnya memberikan kekuatan pada manusia. Ada mantra yang menyebut nama Allah, Nabi Suleman, sahadat, Durga, dan Arjuna sekaligus dalam satu teks. Hal ini mungkin berhubungan dengan naskah 64 I L 8, Jati Purba Wisesa, yang menggambarkan tempat-tempat bersemayamnya dewa-dewa dalam tubuh manusia dan dikaitkan dengan zat sejati Allah.

Doa, mantra, primbon, dan rajah seringkali menjadi satu teks, dalam koleksi ini atau dalam naskah-naskah primbon yang lain. Dalam koleksi ini banyak ditemui doa dan mantra yang ditulis dengan Bahasa Jawa Kuno yang diawali dengan kalimat Bismillahirahmanirahim. Jika boleh menganalogikan, fenomena ini juga banyak ditemui di dalam tradisi tulis masyarakat Dayak di Kalimantan. Adib Misbachul Islam, filolog UIN Jakarta, di sela-sela proyek digitalisasi naskah di Magetan pada April 2019 mengatakan bahwa ketika mendampingi Prof. Titik Pudjiastuti melakukan riset atas tradisi tulis masyarakat Dayak menemukan fakta menarik tentang tato rajah yang dibuat, di mana banyak yang menambahkan kalimat Bismillahirahmanirahim. Penambahan kalimat tersebut dimaksudkan agar tuah rajah yang digambar bisa berkali-kali lipat.

Adib Misbachul Islam, filolog UIN Jakarta, … ketika mendampingi Prof. Titik Pudjiastuti melakukan riset atas tradisi tulis masyarakat Dayak fakta menarik tentang tato rajah yang dibuat, di mana banyak yang menambahkan kalimat Bismillahirahmanirahim. Penambahan kalimat tersebut dimaksudkan agar tuah rajah yang digambar bisa berkali-kali lipat.

Penciptaan Alam Semesta dan Raja-raja Jawa

Tujuh naskah bermuatan teks yang menceritakan tentang penciptaan alam semesta, turunnya nabi-nabi, hingga tujuan akhir manusia. Naskah dengan genre ini cukup banyak dan menarik. Naskah nomor a. 194 I L 9 (2) bahkan diawali dengan tulisan om̐ ºawiġnam astu nama sidi bismilaḥhiraḥmaṇirahim. Dua kalimat yang berasal dari dua dunia yang berbeda, yang berasal dari dua nafas keagamaan yang berbeda, namun disatukan dalam satu teks, antara akulturasi dan sinkretisasi. Diceritakan bahwa awal mula terbentuknya alam semesta (ºiki wiwitanniṅ jagat dadi), pada mulanya keindahan tersembunyi (kaṅ karihin rasya wadi,) yang ketiga intisari mani (kaṅ piṅ tiga rasa manni), yang keempat intisari manikem (kaṅ piṅ pat. rasa manikĕm). Yang dimaksud tersembunyi adalah tempat rasa (tgĕsiṅ wadi hegeni rasa), yang dimaksud madi adalah jalan rasa (tgĕse madi maṙganiṅ rasa). Diceritakan juga bahwa dalam penciptaan manusia intisari dari bapak akan menjadi kuku, rambut, dan tulang (bapa, dadine titiga, dadi kuku dadi rambut., babaluṅ), semenatra intisari ibu menjadi kulit, darah, daging (rasanniṅŋ ibu dadi titiga, dadi kulit. dadi gtiḥ dadi dagiṅ).

Tiga naskah menceritakan sejarah singkat tanah Jawa berupa catatan nama-nama kerajaan yang berkuasa di Jawa hingga ramalan di masa depan yaitu Herucakra. Teks ini dikenal dengan nama Kitab Hasrar, puṇika carita sakiṅ kitab. has.raṙ yogya kaw<i>kanana, deniṅ ṇusa jawa, (ini adalah cerita dari Kitab Hasrar, sebaiknya diketahui oleh (penduduk) Pulau Jawa).

Teks Hindu

Yang mengejutkan dari koleksi ini terdapat teks Darmawarsa yang berisi cerita asal-usul dewa dan tugasnya di alam semesta termasuk Pretanjala dan Sang Hyang Darmawasa. Pretanjala atau Pratañjala adalah seorang pendeta yang menyebarkan risalah Agama Hindu dari India. Pratañjala bukan sekedar tokoh mitologis, meskipun dalam penggambarannya sangat dekat dengan mitos, namun dia adalah seorang tokoh historis. Kemungkinan teks ini sudah lama berada di lingkungan Merapi-Merbabu, disalin dari satu naskah ke naskah yang lain, hingga kemudian ketika pengaruh Islam masuk, dimasukkanlah jin ifrit yang berbau Arab ke dalam rombongan mahkluk halus lokal (tabutabuti, gandarwa, ulu singa, bancalungan).

…◦isora, mijil taṅ brama wisṇu, mahadewa, (keluarlah Brama, Wisnu, Mahadewa) mijil ta catuṙ jalma, bramana satriya, wesyara, ludra, (keluarlah empat manusia yaitu Bramana, Satria, Wesyara, dan Ludra) samana miji(l) ta lek pkěn, mwaṅ tarulata gulma jagama, pepelika, mu waḥ tabutabuti jīm ḅiriti ḍŋěn gandaṙwwa ◦ulusiŋa, bancaluŋan… (seketika itu keluarlah Lek Pkěn, juga Tarulata Gulma Jagama, Pepelika, juga Tabutabuti Jīm ḅiriti ḍŋěn Gandaṙwwa ◦Ulusiŋa, Bancaluŋan). Teks ini menceritakan keluarnya dewa-dewa disertai dengan keluarnya manusia dan berbagai jenis mahkluk halus.

Naskah lain yang belum dimasukkan ke dalam golongan naskah-naskah ini merupakan fragmen atau potongan yang belum jelas bagian dari teks yang mana. Namun terlihat bahwa naskah tersebut memuat teks yang mengandung unsur Islam.

Menyusuri Kemuliaan Jalan Sunyi

Tahun-tahun berlalu, abad berlalu, generasi datang dan pergi, kekuasaan berganti. Pertapaan-pertapaan ini hilang ditelan zaman, hanya menyisakan makam-makam kuno tak bernisan, tak bertuan. Para ajar benar-benar hanya meninggalkan ajaran. Bahkan memori kolektif tradisi lisan masyarakat setempat zaman sekarang tidak banyak yang merekam ajaran para ajar ini. Nama-nama mereka adalah kesunyian lembah-lembah dan puncak yang terselimuti kabut. Setidaknya hingga abad ke 19, awal tahun 1800an, Kyai Windusana telah mewarisi naskah-naskah para ajar ini sebelum akhirnya ‘diselamatkan’ diangkut ke Batavia hingga sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Jika gunung merupakan tempat para dewa berkubang dalam kesucian, maka pertapaan di gunung-gunung adalah mandala, pusat-pusat keagamaan dan pemujaan pada masa lalu, tempat para cantrik menimba ilmu dari para ajar.

Jika gunung merupakan tempat para dewa berkubang dalam kesucian, maka pertapaan di gunung-gunung adalah mandala, pusat-pusat keagamaan dan pemujaan pada masa lalu, tempat para cantrik menimba ilmu dari para ajar. Meskipun pertapaan-pertapaan itu sudah tidak ada namun tradisi nyantrik sebagai cara Jawa belajar ilmu masih ada sampai sekarang. Menyantrik berarti menimba ilmu dari guru dengan mengikutinya, tinggal serumah dengannya, menganggapnya setara dengan orang tua, membantunya melakukan pekerjaan sehari-hari, mencium tangannya adalah ‘sunnah’, mengabdi sambil menyelam mengenyam ilmunya. Mandala telah hilang tapi para cantrik tetap bertahan dengan tradisinya. Tempat para cantrik, pa-cantrik-an, ini kemudian berubah menjadi pa-santri-an atau yang lebih dikenal dengan nama pesantren dalam tradisi Islam Jawa. Tak mengherankan jika banyak pondok pesantren (tradisional) terletak di tempat-tempat terpencil jauh dari keramaian di mana masih satu lingkungan dengan tempat tinggal kyai.

Selepas petang hujan berhenti, kami melanjutkan perjalanan dalam rangka riset kecil kami ke arah timur membelah Merapi Merbabu. Di tengah basah cuaca sesekali kami melihat beberapa warga desa berkumpul membuat perapian untuk menghangatkan badan di pinggir-pinggir jalan. Kesunyian lembah-lembah ini adalah kesunyian para ajar dan cantrik yang pernah hidup di pertapaan-pertapaan ini, juga kesunyian para pembaca naskah kuno di dunia yang kesepian ini. Seperti pendeta renta, penjaga kuil lama, yang tua dan terlena dalam mimpinya. Namun biar bagaimanapun juga “biar sepi biar ramai,” kata Prof. Willem. Jika kemuliaan hanya bisa diraih dengan menyusuri jalan sunyi, maka biarlah. Biarlah, “walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna, aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan”, begitu kata Gie.

 

Sumber Tulisan:

Abimardha Kurniawan. Mencapai Keselamatan: Tinjauan Awal Pengaruh Islam dalam Skriptoria Merapi-Merbabu Abad 16-18. Artikel dalam Jurnal Sejarah, Masyarakat Sejarawan Indonesia. Vol. I(I), 2017: 1-29.

Acri, Andrea. (2018). Dharma Pātañjala: Kisah Śaiva dari Jawa Zaman Kuno. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Agung Kriswanto. Naskah-naskah Keislaman dari Skriptorium Merapi Merbabu di Perpustakaan Nasional. Artikel dalam Jurnal Jumantara Vol. 10 No. 1 Tahun 2019.

Florida, Nancy K. (2003). Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Ghis Nggar. (2019). Alih Bahasa Panji Jayalengkara Sunyawibawa CS 104. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Ghis Nggar. Gempa dan Gerhana dalam Teks Primbon Palintangan Palindhon Pakedutan. Makalah dalam Prosiding Simposium Internasional Budaya Jawa dan Naskah Kraton Yogyakarta 2019.

Heru Nurcahyo. (2011). Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.

Kartika Setyawati, I. Kuntara Wiryamartana, dan Willem van der Mollen. (2002). Katalog Naskah Merapi-Merbabu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma bekerja sama dengan Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden.

Kuntara Wiryamartana, I. (2004). “Mempertimbangkan Sastra Marginal dari Kajian Penelitian”, dalam Menyoal Sastra Marginal, editor Ibnu Wahyudi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Pusat.

Noorduyn. Bujangga Maniks Journeys Through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138 (1982), no: 4, Leiden, 413-442.

Ninny Susanti. Nilai Informasi Prasasti Gaṇḍakuti Bagi Rekonstruksi Akhir Pemerintahan Raja Airlangga. Makalah dalam Seminar Internasional Pernaskahan Nusantara 2019.

van der Meij, Dick. The Shaving of the Prophet’s Hair (Nabi Aparas): The Philology of Lombok Texts. Artikel dalam Jurnal Studia Islamika Indonesia, Jurnal for Islamic Studies. Volume 17, Nomor 3, 2010.

van der Molen, Willem. Intoduction to Old Javanese. Dictate in the 4th International Intensive Course in Old Javanese, Yogyakarta, July 15th-29th 2018.

Zoetmulder, P.J. (1994). Kamus Jawa Kuna–Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Gunung Merapi dan Merbabu
(Sumber: Tumpi.id)

Reruntuhan Pertapaan di Gunung
(Sumber: kebudayaan.kemdikbud.com)

Naskah Lontar Beraksara Buḍa
(Sumber: Naskah Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Tulisan tangan Prof. Willem van der Mollen yang dibubuhkan pada halaman paling awal buku beliau, “Kritik Teks Jawa: Sebuah Pemandangan Umum dan Pendekatan Baru yang Diterapkan kepada Kuñjarakarna” (2011) yang beliau hadiahkan kepada sahabatnya, Alm. I Kuntara Wiryamartana.
“Untuk Kuntara, biar sepi, biar ramai, saya harap kita teruskan penelitian MM (Naskah-naskah Merapi-Merbabu).
W. Mollen, Jakarta, 20-9-2011.”
(Sumber: Ig @Abimardha)

1865

Ghis Nggar

Penulis adalah peneliti sekaligus penggiat kajian naskah Jawa.

Comments are closed.