Narasi kebangkitan Islam telah menjadi fenomena umum di Dunia Islam pada awal abad ke-20. Dalam ketertinggalannya —terutama dengan rival peradabannya, Barat— umat Islam mencoba memilin kesadaran sejarah. Di tengah proses sejarah tersebut, muncul berbagai kelompok yang mencoba mendefinisikan kembali warisan tradisi masa lalu. Di antara mereka, sebagaimana diungkapkan oleh pemikir Maroko—Mohammad Abed al-Jabiri (Ahmad Baso (pensy.), Al-Jabiri, Eropa dan Kita: Dialog Metodologi Islam Nusantara untuk Dunia, Tangerang: Pustaka Afid, 2017, hlm. 65)—kesadaran umat islam hari ini menempatkan sejarah dan warisan tradisinya sebagai end (sebuah model hasil akhir), daripada sebuah perangkat alat (tools) inovasi yang mengalami proses kreatif dari masa ke masa. Sehingga, problem paling mendasarnya adalah kehilangan arah dalam melihat tantangan peradaban dan kehilangan akar akan tradisi masa lalunya.
Keterbelahan
Kini umat Islam di seluruh dunia sedang mengalami titik balik sejarahnya, mereka kini ramai mencari ketersambungan dengan akar masa lalunya, bahkan tidak malu lagi mengungkapkan ekspresi kesadaran sejarahnya, pun begitu di Indonesia. Di negeri ini umat Islam tengah mencoba bangkit dari keterpurukan inferioritas peradaban yang seakan memisahkannya dari akar. Banyak di antara mereka mengalami keterbelahan, terutama dalam menyikapi sejarah. Di kalangannya, terdapat beban nasionalistik dalam menelaah persoalan masa lalu—yang menurut kuntowijoyo—narasi historiografi nasional di negeri ini telah banyak mengubah persepsi umat Islam mengenai masa lalunya, bahkan mereka seringkali gagal mengapresiasi warisannya sendiri (termasuk warisan pemikiran para tokoh, alim-ulamanya) secara penuh (Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2017, hlm. 387). Penulisan sejarah semacam ini—dan para sejarawan yang berkecenderungan ke arah ini—justru yang menguasai panggung pewacanaan mainstream, seperti yang disebut abdul hadi wm (Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Jejak-jejak Pergumulan Kesusasteraan Islam, Yogyakarta: Diva Press, 2016, hlm. 28) sebagai narasi yang terpengaruh kerangka teori sarjana-sarjana Barat (orientalisme). Sedikit sekali apresiasi terhadap warisan ketimuran, pemikiran-pemikiran filosof nenek-moyang, founding fathers, dan tradisi ke-Islam-an di aras lokal itu sendiri yang sebenarnya sedikit banyak telah mengerangka persepktif kebangsaan kita.
Sebaliknya, di belahan kedua, yaitu di kelompok pemerhati atau pegiat sejarah Islam di Indonesia, juga terdapat kalangan yang hanya mampu mengapresiasi ‘sejarah Islam’ dari peradaban dinasti-dinasti besar saja (dengan setting di Timur Tengah). Pembabakan sejarah Islam yang diketahui kalangan ini berkutat pada sejarah-sejarah peradaban dinasti-dinasti besar Islam, penaklukkan-penaklukkan, tokoh-tokoh dari era kenabian dan biasanya hanya sampai pada sejarah keruntuhan kekhalifahan turki utsmani saja.
Uniknya, ketika negara-negara Timur Jauh mulai melakukan dekolonisasi politik di pertengahan abad ke-20, kalangan ini meratapi kehancuran dinasti Utsmaniyah di paruh abad yang sama.
Uniknya, ketika negara-negara Timur Jauh mulai melakukan dekolonisasi politik di pertengahan abad ke-20, kalangan ini meratapi kehancuran dinasti Utsmaniyah di paruh abad yang sama. Dan seringkali dalam kasus-kasus tertentu, kalangan ini tak sengaja telah memutus rantai pemikiran umat generasi pendahulu dari narasi sejarah peradaban Islam di Indonesia sendiri, menggantikannya dengan sosok-sosok besar pilihan mereka yang dikisahkan sangat heroik dan hampir menjadi mitos: seperti penaklukkan Muhammad al-Fatih pada 1453.
Tidak salah menjadikan—misalnya, Muhammad al-Fatih, Shalahuddin al-Ayyubi, atau bahkan Nuruddin Zanki—sebagai panutan. Tokoh-tokoh tersebut memang memenuhi syarat untuk menjadi inspirator utama bagi generasi umat Islam hari ini, bahkan di Indonesia sendiri. Namun, problemnya adalah ketika kita gagal menyambungkan keterkaitan rantai Islam dari sejarah Islam di masa Nabi Muhammad Saw. hingga proses “hadirnya”—bukan masuknya—Islam di tanah air. Dan, upaya ini belum banyak dilakukan oleh para peneliti Islam dan sarjana-sarjana di Indoensia. Oleh karena itu, harus kita akui bahwa dikotomi “sejarah Islam” dan “sejarah Indonesia” di kalangan umat Islam di Indonesia masih begitu tajam. Beberapa fenomena yang terjadi—yang diangkat dalam narasi historiografi nasional kita—justru menampakkan hubungan penjajahan daripada proses kesinambungan yang berlandaskan Ukhuwah Islamiyah, misalnya, dalam penarasian jasa-jasa Kekhalifahan Turki Utsmani yang sangat besar dalam perkembangan sejarah politik Islam di Nusantara, bahkan da’wah Islam yang dilakukan oleh para Wali di Nusantara yang ceritanya melegenda pun harus dipaksakan dalam narasi jasa Turki Ustmani kepada Nusantara.
Padahal kalau kita berkenan memberikan ruang pada kesaksian-kesaksian yang dituturkan oleh para leluhur kita sendiri maka kita tidak perlu lagi menggunakan atau mengimpor kisah dari bagian dunia yang lain untuk memahami sejarah bangsa ini. Kita sebenarnya memiliki teramat banyak tokoh yang perlu diangkat kembali dalam historiografi mainstream kita, yang sama banyaknya dengan tugas merekonstruksi kebesaran umat di belahan dunia lain yang orang-orangnya berwarna kulit dan bertradisi beda dengan kita.
Di sinilah sepatutnya Islam memberi suatu keleluasan dan independensi pemikiran, tanpa melalui pencangkokan bahkan penaklukkan budaya dan politik.
Di sinilah sepatutnya Islam memberi suatu keleluasan dan independensi pemikiran, tanpa melalui pencangkokkan bahkan penaklukkan budaya dan politik. Islam hadir di tanah ini sebagai risalah kebenaran yang kontekstual dan mampu menjawab persoalan umat. Fondasi ajarannya jelas: Akhlaq. Oleh karena itu budaya menjadi area konstruksinya. Inilah kegemilangan para wali dan alim-ulama di negeri ini yang telah membangun peradaban Islam bangsa ini dengan sangat agung. Maka tidak akan ketemu bila kita masih membaca warisan sejarah Islam yang ada di negeri ini dengan kerangka konflik dan penaklukan ala Barat.
Tugas berat harus ditempuh oleh umat Islam di Indonesia hari ini, dalam rangka mendefinisikan kembali tradisi dan warisan umat Islam pendahulu, bukan saja sebagai inspirasi, tapi juga merumuskan strategi apa yang tepat untuk ditawarkan di tengah-tengah keber-Islam-an hari ini.
Marjinalisasi: Teks dan Konteks
Problem marjinalisasi sejarah masih begitu dirasakan umat sejatinya. Tetapi implan kesadaran ini mengalami keterputusan dan pengabaian yang cukup parah. Umat sendiri jarang dapat memahami dirinya dipinggirkan dalam teks sejak masa penjajahan Belanda. Dari sinilah, peminggiran dalam konteks tradisi, sosial-masyarakat, politik, dan ekonomi mencapai klimaksnya.
Intelektual NU, Ahmad Baso, pernah menyinggung problem etnologi dan hegemoni teks yang menciptakan ruang-ruang kekuasaan penjajahan di Nusantara. Dalam hal ini, ia menganalisis orientalisme Belanda dapat berkembang melalui kerja budaya. Telaahnya menegaskan bahwa kolonialisme Belanda lebih efektif bukan karena kecanggihan administrasi pemerintahannya seperti ditunjukkan oleh Inggris di India, melainkan lebih pada apropriasi kultralnya (penciptaan keadaan yang wajar mengenai kolonialisme dalam konteks ini) terhadap kebudayaan pribumi (Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, Bandung: Mizan, 2005, hlm. 155). Namun, meskipun rekayasan kultural itu merupakan ciri khas kolonialisme Belanda, Thomas Stamford Raffles, seorang begawan administratur Inggris yang memimpin penaklukkan Jawa, justru memulai dan ‘mengajari’ generasi setelahnya mengenai apropriasi kultural ini.
Perkataan Hairus Salim mungkin dapat merangkum bagaimana Raffles telah memulai apropriasi kultural yang menyebabkan kemarjinalan budaya umat Islam di Nusantara. Ia menegaskan bawa Raffles merupakan salah satu sosok terawal Eropa yang menggambarkan Islam sebagai agama kekerasan dan penuh kefanatikan (Hairus Salim HS, “Konstruksi Islam Jawa dan “Suara Yang Lain””, dalam Mark R. Woodward, “Islam in Java: Normative Piety and Misticism”, a.b. Hairus Salim H.S., Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm. vii-viii). Dengan pandangan-pandangan minor seperti itu, ia mempunyai perhatian-perhatian komparatif dalam menekan struktur wacana Islam di kalangan bangsa Jawa dengan meletakkan perhatian khusus terhadap institusi-institusi kuno seperti kesusasteraan Jawa pra-Islam. Oleh karenanya, ia menganggap konsepsi nusantara megah selalu diproyeksikan dalam sejarah Indianisasi di Indonesai, dan ini menjadi koreksi terhadap peradaban Islam sendiri sebagai suatu bentuk penyesalan.
Dalam beberapa bagian yang lain, untuk mengafirmasi pandangannya mengenai sifat fanatik terhadap Islam, Raffles mengisahkan mengenai kehancuran-kehancuran kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa sebagai tanggung jawab umat Islam. Di abad ke-19, saat umat telah beranjak pada posisinya sebagai wong cilik pasif, tantangan semacam itu belum lagi menjadi perhatian yang betul-betul disadari. Tetapi dampak penaklukkan teks ini akan segera berkembang prosesnya dan berdampak menentukan dalam perkembangan kekuasaan penjajah.
Snouck Hurgronje menjadi pelanjut dominan dalam usaha kultural Raffles yang telah dirintis sejak awal abad ke-19. Snouck bukan saja memainkan perannya sebagai arsitek kultural, tapi sekaligus mengkonstruksi westernisasi melalui pusat-pusat pewarisan kebudayaan tersebut: sekolah (Muhammad Isa Anshory, Mengkristenkan Jawa: Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi Misi Kristen, Karanganyar: Lir-Ilir, 2013, hlm. 90). Peran Snouck telah menghasilkan suatu bentuk pengalihan budaya, dari budaya santri pedesaan ke dalam budaya pribumi perkotaan dan priayiisme yang berharap menenggelamkan anasir kebudayaan yang disebutnya tradisional dan penuh tahayul itu.
Mitsuo Nakamura, seorang peneliti Jepang, melalui penelitiannya mengenai Muhammadiyah di Kota Gede (Yogyakarta) telah menyadari ketersambungan marjinalisasi umat Islam ini di perempatan akhir abad ke-20. Melalui banyak teori dan wacana antropolog-antropolog Barat yang melanjutkan tradisi orientalisme seperti Geertz. Ia mengaku menjadi lebih kritis dengan kompartementalisasi masyarakat Jawa ala Clifford Geertz ke dalam trikotomi yang agak tidak konsisten, katanya, namun ketat; abangan-santri-priayi.
Dengan didukung oleh sarjana Indonesia dalam menentang trikotomi Geertz tersebut, Nakamura menyebutkan ketidaktepatan istilah itu untuk saling mebedakan di antara ketiganya. Nakamura menyangsikan ‘anomali’ yang terjadi dalam konteks evolusi keagamaan umat Islam di Jawa. Menurutnya perubahan dan orientasi keagamaan itu wajar dan sudah sepatutnya. Evolusi yang dialami kaum abangan (yang juga Muslim) merupakan kesadaran perubahan pandangan keagamaan menjadi lebih ortodoks (Mitsuo Nakamura, “The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in the Central Javanese Town, c 1910s-2010 (Second Enlarged Edition), penerj. Muhammad Yuanda Zahra, Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede sekitar 1910-2010 Edisi Revisi Ditambah Bagian Dua), Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017, hlm. 17-18).
Pada proses marjinalisasi umat dalam teks tersebut lebih jauh mengesankan marjinalnya umat dalam keterkaitan konteksnya. Apabila belum mampu di kalangan umat mengadakan perenungan atas ketertinggalan, keterasingan, dan pemarjinalan ini, artinya konteks sosial mereka juga menjadi sama seperti nasib mereka dalam marjinalisasi teks. Proses keterpinggiran umat berasal dari ketertinggalan mereka merespons pergerakan tantangan yang dihadapinya. Kembali dalam fase sejarah yang diperkenalkan umat, pada level kawula ketidakberdayaan umat telah mengakibatkannya tersingkir dari konteks sosio-politiknya. Kekuasaan yang tak berdaya di hadapan kolonialisme juga menekan partisipasi aktif masyarakat. Hal ini semakin diperparah setelah Perang Diponegoro, di mana, pada tahapan selanjutnya, umat sebagai wong cilik melakukan resistensi radikal berdasar pesimisme dan kebingungan nasib. Perlawanan ini justru menandakan terperosoknya umat dalam dunia yang semakin terasing.
Panggung Sejarah Umat di Indonesia
Sebagaimana disebutkan bahwa marjinalisasi teks telah memulai sebuah proses keterasingan bagi umat dalam konteksnya. Sementara konteks itu sendiri merupakan sebuah perubahan sosial yang membebani umat, sehingga ia sendiri tak mampu memberikan perlawanan teks atas penaklukkan teks yang menimpanya. Oleh karena itu, ketersambungan asa dan perjuangan teks bagi umat adalah suatu keharusan. Dimensi teks tersebut sepatutnya ditawarkan dalam narasi-narasi sejarah yang mulai digagas saat ini.
Umat Islam di Indonesia sudah sepatutnya merumuskan suatu bentuk penulisan sejarah yang memiliki orientasi baru yang berorientasi pada penanaman kesadaran sejarah. Ini seperti yang telah disebutkan Kuntowijoyo, bahwa kesadaran sejarah bukan saja dimaksudkan sebagai suatu sifat pasif dalam menjadikan sejarah, termasuk imajinasi romantik mengenai tokoh Muslim yang sekadar menimbulkan kebanggaan tanpa kontinyuitas umat sebagai agen sejarah itu sendiri. Oleh karenanya, kesadaran sejarah yang dimaksud lebih merupakan suatu bentuk amal dan narasi kontinyuitas bagi umat untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di bumi dan tanggung jawab empiris, sebagai makhluk spiritual yang berada di dunia (Kuntowijoyo, Paradigma Islam …, hlm. 388).
Historiografi (penulisan sejarah), menurut Kuntowijoyo, menjadi sebuah instrumen intelektual dalam suatu konfrontasi dialektik antara tanggung jawab sejarah Muslim dengan perjalanan sejarah umat manusia. Kesadaran mengenai ummah yang bertugas untuk mengajak kepada kebenaran dan mencegah kemunkaran pada setiap aspek peradaban adalah merupakan tujuan dari kesadaran sejarah. Ini artinya, umat Islam harus memiliki panggung yang luas dan ruang-ruang untuk membuktikan diri sebagai khoiru ummah, yang memberikan pesan dan peran rahmatan lil alamin. Selama ini, tuntutan untuk menonjolkan diri sebagai suatu komunitas dan dengan adanya hukum Allah (syariah) memang menjadi problem tersendiri bagi umat Islam. Di sini, permasalahannya adalah aspek mental ‘kebangkitan Islam’ itu sendiri, sementara umat Islam masih kosong dan rapuh dalam hal instrumen. Tuntutan semacam itu justru tidak semakin membuat orang percaya kepada umat Islam sebagai umat terbaik: sebaliknya, hal itu justru menunjukkan ketidakmampuan umat Islam dalam merumuskan suatu bentuk kebenaran dalam konteks kebermanfaatannya.
Penulisan sejarah Islam dalam konteks umat Islam ini tentu saja merupakan suatu rintisan dalam membangun kesadaran, kualitas intelektual, dan, yang terakhir, aksi-tanggung-jawabnya sebagai makhluk Tuhan. Di bagian atas, “setiap aspek peradaban” mungkin perlu digaris-bawahi dan dicermati dengan serius. Kebangkitan politik Islam kaum Islamis nyatanya tidak bisa dijadikan satu tolak ukur mengenai kebangkitan Islam. Ini adalah satu contoh penting, di mana “setiap aspek” yang disebut itu interpolisir dengan kesadaran politik semata. Lagipula, kebangkitan kaum Islamis sering tidak dibarengi dengan kebangkitan kemandirian politik mereka. Saat ini, pragmatisme kebangkitan politik itu menjadi dominan, tatkala oposisi-oposisi di kalangan sekuler membuat suatu tawaran yang menggiurkan bagi kaum Islamis maupun tradisionalis politik.
Jika kesadaran sejarah umat Islam hanya mencapai pada tataran politik, dan lebih jauh pragmatisme politik ini, artinya ada yang salah dari penanaman kesadaran sejarah yang diupayakan. Sudah sejak lama sejarawan-sejarawan seperti Sartono Kartodirjo merumuskan suatu bentuk historiografi (yang) Indonesiasentris dengan harapan-harapan dapat melihat sejarah bukan dari geladak kapal kekuasaan Belanda, tapi sudut pandang rakyat. Dalam konteks ini, pertautan identitas nasional menjadi pertaruhan. Tapi gagasan seperti ini dapat menjadi titik tolak untuk menemukan kembali sejarah Indonesia yang semakin menggerakkan kesadaran luas mengenai Islam dan pergerakan sejarah umat Islam. Oleh karenanya, aspek politik dan kekuasaan umat dalam sejarah ini dapat dirumuskan kembali agar umat Islam tidak selalu tergiur mengalami kebangkitan imajinasi era gemilang dan kejayaan kekuasaan Islam.
Mengafirmasi sejarah umat dalam kerangka kerakyatan dan masyarakat akan lebih masuk akal dalam memindai tubuh umat Islam yang selama ini sering hanya diisi oleh riwayat tokoh-tokoh besar—meskipun itu penting diajarkan. Pendidikan Sejarah Islam dalam konteks ke-Indoensia-an justru mengusahakan langkah kongkrit mengenal sejarah rakyat Islam; sebab, sejarah umat Islam di Indonesia menyuguhkan panorama keterpurukan dan keterpinggiran seperti yang dijelaskan di atas (dan juga ditambah dengan marjinalisasi teks, sebuah rekayasa teks, yang dibuat orientalis). Hal itu penting, supaya umat ini menyadari bahwa kemenangan dan kekalahan itu dipergilirkan bagi mereka. Dari sini, instrumen untuk mempelajarinya adalah sikap akademis dan intelektual. Umat Islam dalam konteks kesadaran sejarah telah mampu mengidentifikasi penyakit kronis dalam tubuh mereka.
Peter Carey, misalnya. Ia pernah bertutur mengenai perjuangan Diponegoro yang pokok masalahnya terletak pada kesulitan ekonomi daripada ambisi kekuasaan seorang kerabat keraton, yang tak lain Diponegoro sendiri (Peter Carey, “The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1784-1855” penrj. Prakitei T. Simbolon, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Jilid 1, Jakarta: Gramedia, 2016, hlm. xxxix). Dalam menyikapi permasalahan pokok ekonomi (dan sosial) itu, elemen spiritual ditampakkan begitu jelas dalam panorama sejarah. Itu artinya, sebenarnya problem ekonomi juga telah mengusik identitas spiritual dan lembaga-lembaga ke-Islam-an yang ada pada masa Diponegoro. Kesalingterkaitan antara masalah sosial, ekonomi, dan politik dengan masalah identitas keagamaan ini justru membuktikan betapa integralnya masyarakat Jawa secara sosiologis dengan elemen-elemen tersebut.
Termasuk ke dalam kesadaran sejarah, penerapan metode substansi (materi sejarah) sejarah mencakup kesadaran penanaman metodik ini. Umat Islam bukan hanya diperkenalkan pada sosok inpiratif yang mengembangkan imajinasi romantik, tapi juga pemahaman atas konsekuensi kesadaran sejarah pada tindakan dan perilaku, dan yang terpenting adalah bersikap kritis dan analitik terhadap fenomena sejarah di masa lalu maupun masa kini. Sikap ini ditumbuhkan melalui pengujian, bukan sekedar normatif, tapi juga secara historik. Umat Islam sering terjerembab pada panggung aksi yang berlebihan, dalam memperjuangkan norma, ia lupa masuk ke dalam fenomena semacam apakah mereka sekarang dengan aksi yang mereka jalankan. Perjuangan membela Islam telah lebih jauh disalah-artikan sebagai perjuangan norma tanpa refleksi mendalam umat Islam sebagai komunitas yang berada di tengah-tengah arus zaman dan konteks tradisi. Keterjebakkan seperti ini telah membawa konsekuensi disorientasi, karena rumusan arahnya disepelekan terlalu sederhana.
Itulah sebabnya Kuntowijoyo membicarakan mengenai aspek pengetahuan dalam kesadaran sejarah itu sendiri. Umat Islam, menurutnya, harus memiliki pengetahuan tentang dunia di sekelilingnya, keadaan sejarah kontemporer, dan tahap dari evolusi historis. “Kemampuan untuk menempatkan problem-problem sejarah umat manusia di dalam konteks sejarah akan menuntun dilaksanakannya tanggung jawab sejarah Muslim,” ungkap Kuntowijoyo (Kuntowijoyo, Paradigma Islam …, hlm. 389). Dengan kesadaran romantik, kesadaran sikap amal sejarah (menjadi aktor), dan perangkat kritik-analitik, barulah umat Islam mampu melaksanakan perannya sebagai Muslim yang sesungguhnya; tanpa kaku dan mampu berdialog pada pluralitas dunia. Di situlah, ia dapat ‘menciptakan’ historiografi panggung umat Islam sekaligus menyiapkan panggungnya sendiri di masa kini dan masa depan.
Khatimah
Tahun 1995, Ahmad Mansur Suryanegara pernah mengeluhkan mengenai realitas penulisan sejarah yang menghilangkan peran aktif umat islam indonesia—yang telah melahirkan Indonesia merdeka dan berdaulat—ironisnya semakin tidak terperhatikan oleh Umat Islam Indonesia sendiri (Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 11). Di awal, salah satu gejala yang menyebabkan keterpinggiran itu adalah pemutusan hubungan umat Islam, baik sengaja maupun tidak, dengan warisan intelektual dan ketokohan orang Indonesia sendiri. Gejala-gejala ini muncul disebabkan karena dikotomisme pengguna perangkat Barat dalam historiografi dan fanatikus Islam yang telah mengeksklusi dan mengelitkan panorama sejarah peradaban Islam bukan dengan konteks tempatannya (lokal). Akibat lebih jauh dari keterpinggiran ini adalah keterasingan umat Islam sebagai masyarakat-bangsa di Indonesia. Meskipun api sejarah yang dinyalakan itu begitu memesona, tapi sebenarnya itu adalah api yang menghanguskan dan membinasakan, dan semakin mengasingkan umat dari dunia pluralnya.
Kesadaran sejarah yang ditawarkan memberikan kesempatan potensial untuk umat Islam menggerakkan kemampuannya sebagai manusia dalam arus sejarah. Kesadaran sejarah adalah kesadaran konstruktif. Bukan saja berlaku terkungkung dan terpenjara, seperti yang terjadi dalam empat penjara manusianya ali syariati (Tugas Cendikiawan Muslim, Jakarta: Rajawali Press, 1987), tapi justru mengingatkan tugas dan tanggung jawab serta kebijaksanaan umat dalam mengingat masa lalu untuk hari esoknya. Kebijaksanaan ini adalah suatu tujuan penting dalam memberlakukan segala daya potensi tradisi, bukan saja untuk membuat umat Islam terpenjara, tapi menciptakan kreatifitas. Wallahu a’lam.