Tanggal 12 Februari 2019, seorang antropolog berkebangsaan Jerman, Verena Meyer, berkunjung ke kantor kami Langgar.co. Ia sempat mewawancarai kami seputar tema ziarah dan silsilah darah dan sanad keilmuan dalam spektrum perspekstif Islam tradisional dan modern di Jawa untuk keperluan disertasi Ph.D-nya di Columbia University, Amerika Serikat. Di sela-sela kunjungannya, kami, Langgar, juga balik mewawancarainya secara ringan dalam suasana ngobrol-ngobrol berkait tema Islam Indonesia yang juga merupakan tema yang digelutinya. Berikut hasil wawancara ringan dengan peneliti berumur 35 tahun ini, yang saat ini, seperti diceritakannya, telah resmi menetap dan tinggal di Amerika.
Langgar: Pertanyaannya, dalam kajian Anda, Anda mengkaji Jawa, ziarah, silsilah, dan lain-lain. Sepenting apakah Jawa, atau Indonesia secara umum, bagi orang Eropa pada hari ini?
Verena Meyer: Yang menarik menurut saya, kuliah dalam bidang studi agama Islam di negara Barat, di akademi Barat, Jawa atau Indonesia pada umumnya masih sangat dimuliakan. Islam di Indonesia biasanya. Hal itu ada misalnya di pusat studi Asia Tenggara. Tapi di pusat studi Asia Tenggara biasanya tidak ada ahli agama Islam. Jadi masih terpisah antara Islam dan Indonesia. Dan oleh karena itu masih ada kecenderungan menganggap Islam di Indonesia (atau Jawa khususnya) sebagai kejawen atau sinkretisme. Kepentingan saya itu, Islam di Jawa harus dikuliahkan, harus dipelajari dalam bidang studi agama Islam di negara Barat. Karena kalau tidak, tidak bisa dimengerti.
Langgar: Berarti mulai ada kemajuan?
Verena Meyer: Ya sedikit demi sedikit.
Langgar: Kemajuan dalam pengertian bahwa kajian Islam Jawa di dalam studi Islam, yang sebelumnya dilihat sebagai isu sinkretis?
Verena Meyer: Iya isu sinkretis. (Tidak hanya) ahli, misalnya, dari orientalis-orientalis Belanda (saja), tapi juga dari Amerika belajar bahasa sansekerta. Lalu pergi ke Jawa untuk kuliah Islam tapi dengan bahasa sansekerta dan sastra sansekerta, tidak bisa mengerti, (oleh karenanya) seharusnya belajar bahasa Arab.
Langgar: Terus selama ini apakah sudah ada para peneliti pioner yang bergerak ke sana?
Verena Meyer: Ya ada. Ibu Nancy (maksudnya Nancy K. Florida, seorang Antrolopog yang menyadari peran penting Islam dalam studi Jawa–red) salah satunya.
Langgar: Anda muridnya?
Verena Meyer: Tidak secara formal.
Langgar: Pernah membaca bukunya Nancy?
Verena Meyer: Iya. Pernah. Dan saya ada kerjasama juga. Saya sering bicara dengan ibu Nancy.
Langgar: Dari rintisan itu bagaimana perkembangan di sana melihat Jawa, Islam Jawa?
Verena Meyer: Masih jarang sebenarnya. Kalau di jurusan saya, saya sendiri yang fokus pada Asia Tenggara. Tapi sedikit demi sedikit, mahasiswa di negara Barat mulai belajar bahasa Arab, dan ada pendidikan yang sama. Ada Qur’an, tradisi, (alias) harus mengerti (secara utuh) sejarah Islam di Indonesia. Lalu memang (ada) juga terfokus pada tradisi lokal, tapi tidak boleh hanya itu, karena ada transmisi lain dari bahasa Arab, bahasa Persia ke bahasa Jawa. Sedikit demi sedikit ada perubahan.
Langgar: Terus yang kedua, ini juga penting mungkin bagi generasi di Indonesia, khususnya di Jawa. Kenapa orang Barat melihat Islam Jawa sebagai kejawen dalam pengertian dia dipisahkan dari Islam. Dan Kemudian kesimpulannya hanya terbatas pada sinkretisme? Itu dipengaruhi oleh apa kira-kira?
Verena Meyer: Saya kira oleh kolonialisme. Karena pada zaman Kolonial ada peneliti-peneliti kolonial memang sangat terpengaruhi oleh pandangan budaya. Mereka masih pikir Islam itu bukan agama universal, tapi agama Arab. Dan oleh karena (mereka) itu tidak bisa membayangkan Islam yang sudah menyebar ke seluruh dunia. Dan oleh karena itu, mereka pikir, “O ya, itu bukan Islam yang sebenarnya.” Tapi mereka telah salah. Salah mengerti.
Langgar: Selain ke Jawa pernah berkunjung ke daerah mana? Kira-kira yang menjadi representasi persentuhan Islam dengan sebuah negara, misalnya di Afrika?
Verena Meyer: Ya saya sudah ke Maroko. Dulu saya belajar bahasa Arab di Maroko. Dan saya sudah ke Palestina juga.
Langgar: Ada gak fenomena ke-khasan mereka? Yakni terkait Islam, seperti kita, yang membentuk dan dipeluk di Jawa, tapi tentu menurut ke-khasan mereka?
Verena Meyer: Ada ya. Misalnya, di Maroko ada tradisi musik yang sangat kuat yang juga termasuk tradisi sufisme di situ, yang sangat berbeda dengan sufisme di sini. Tapi juga ada orang yang menolak, yang bilang itu bukan Islam.
Langgar: Termasuk di Maroko ada juga yang menolak bahwa itu bagian dari islam?
Verena Meyer: Iya.
Langgar: Terus selanjutnya. Adakah perubahan orientasi paradigma di dalam melihat kebudayaan (terutama perihal relasi Islam dan Indonesia) di Jawa atau di Maroko tadi. Itu dimulai dari mana menemukan kesadaran seperti itu?
Verena Meyer: (maksudnya) menemukan apa?
Langgar: Menemukan bahwa ternyata ini memang bagian dari Islam. Itu maksud saya. Apa itu merupakan kegelisahan semata atau memang pencarian atau bagaimana?
Verena Meyer: Saya juga (kurang) belum paham, tapi saya kira yang penting itu bahwa budaya dan agama tidak bisa dipisahkan. Tidak pernah bisa. Kalau Islam murni tanpa budaya sama sekali, tidak ada, sudah (pasti) tercampur dengan kebudayaan.
Langgar: Lalu bagaimana kondisi kajian studi Indonesia sekarang semenjak perkembangan tradisi orientalisme Tasawuf Eropa itu berkembang. Apakah hal itu memengaruhi perkembangan kajian pemikiran Islam Indonesia di sana? Sejauh apa itu dampaknya di Eropa? Apakah itu mengubah cara pandang para orientalis dalam melihat ke-Islaman di indonesia?
Verena Meyer: Ya mungkin. Kalau sufisme di Eropa. Menurut kaum muslim atau kaum biasa?
Langgar: ‘Kan sekarang ada banyak sekali buku-buku tasawuf yang sudah dikerjakan, diedit, dianotasi oleh para sarjana orientalis Barat. Yang itu tentu membuat para sarjana (kajian Asia Tenggara) semakin tahu apa itu tasawuf. Nah apakah ini berpengaruh terhadap kajian-kajian Asia Tenggara, terutama Indonesia? Karena yang selalu dibayangkan Islam itu, ya Islamnya Arab saat ini. Semacam acuan untuk menilai. Padahal dulu yang masuk ke sini Islam tasawuf. Nah, apa kajian-kajian keislaman tasawuf oleh para sarjana Barat itu membantu menyuplai gagasan tentang tasawuf, sehingga pemahaman mereka menjadi lebih baik terhadap perkembangan setidaknya terkait studi Islam awal di Indonesia?
Verena Meyer: Ya mungkin ada. Ada juga istilah-istilah sufisme di dalam sejarah Islam, misalnya Rumi (maksdunya jalaluddin rumi-red). Rumi (juga sangat digemari) dan dibaca di negara Barat. Tapi banyak orang tidak paham Rumi seorang muslim. Jadi tasawuf itu (dianggap) terpisah dari Islam. Campur semua. Ya (di Eropa) sedikit Budhisme, ya sedikit Rumi, dan ini semua (dianggap) sama. Seperti itu.
Langgar: Jadi Rumi pun dibaca sebagai Rumi, bukan sebagai muslim?
Verena Meyer: Iya. Hehehe. Rumi itu tentang cinta, tentang apa ya, keindahan dunia, ya begitu.
Langgar: Sebenarnya kalau di Amerika atau di Eropa, Islam tradisinya seperti apa? Maksudnya penduduk Islam tradisi di sana itu bagaimana?
Verena Meyer: Ya ada. Kalau di Amerika berbeda sedikit, karena kaum muslim pertama di Amerika, kaum hitam. Dan (itu) Nation of Islam.
Langgar: Malcolm-X itu ya?
Verena Meyer: Ya, ya. Itu juga campur dengan budaya kaum itu. Dan ada kecenderungan sufisitik.
Langgar: Cara pandang mereka terhadap sufisme yang dibedakan atau terpisah dari Islam itu kenapa? Apakah karena belum utuh melihat sejarah Rumi atau memang orang-orang Eropa dan Amerika memang tidak terlalu paham Islam?
Verena Meyer: Ya pasti tidak terlalu paham Islam. Apalagi sekarang dalam media, Islam itu selalu digambarkan sebagai ancaman politik. Ya kalau orang yang terpelajar mungkin sedikit mengerti. Tapi dalam persepsi umum yang paling kuat itu ya apa yang ditampakkan di media.
Langgar: Islam itu terorisme, begitu?
Verena Meyer: Iya.
Langgar: Nah sejauh mana, teman-teman Anda, misalnya Bu Nancy, memandang tasawuf. Bagaimana pandangan mereka atau Anda tentang tasawuf?
Verena Meyer: Kalau menurut saya tasawuf tidak bisa terpisah dari Islam, juga tidak bisa terpisah dari Islam syar’i. Itu hanya ada dua yang (merupakan) satu (dalam) kesatuan. Mungkin tasawuf itu dimensi batin dan ada dimensi lahir yang bukan dimensi batin. Ya tasawuf tidak bisa terpisah dari syariat. Dan tasawuf itu sebenarnya satu paket. Menurut semua tokoh-tokoh Islam klasik, mereka semua setuju (bahwa tasawuf tak terpisahkan dari Islam). Bahkan Ibnu Arabi (seorang sufi besar dari Andalusia–red), dia juga sangat terfokus pada syariat.
Langgar: Soalnya di banyak kasus, misalnya di Jawa, kalau Anda juga mencermati, banyak sekali pengaruh pemikiran tasawuf ini. Misalnya yang paling dirasakan adalah Ibnu Arabi di sini (Indonesia) daripada misalnya Rumi. Jadi ada banyak misalnya Junaid, juga masih terasa. Nah, Sejauh mana bacaan Anda, bagaimana orang-orang Belanda dulu, penjajah kolonial mendefinisikan ke-Islaman orang Jawa atau Indonesia secara umum?
Verena Meyer: Sinkretisme. Ada juga definisi sinkretisme, tapi selain itu juga sudah ada ide “ancaman” (terhadap penjajah kolonial Belanda–red). Oleh karena itu mereka sudah, apa ya, coba membatasi orang, seperti naik haji, karena ada ketakutan kalau naik haji mereka ada radikalis. Jadi ada ide: “Islam Jawa itu bukan Islam, dan itu baik karena kalau ada sinkretisme itu bukan ancaman”.
Langgar: Jadi jinak kira-kira.
Verena Meyer: Iya. Hehe.
Langgar: Kalau sudah murni malah berontak.
Verena Meyer: Iya. Hehehe.
Langgar: Yang murni siapa kalau menurut orang Eropa?
Verena Meyer: Arab.
Langgar: Di Indonesia golongan apa?
Verena Meyer: Ya kaum putihan.
Langgar: ‘Kan pembagiannya jadi gitu, akhirnya. Umat Islam yang banyak, dianggap abangan. Kira-kira gitu. Nah, kalau Anda memandang, sejauh apa kajian-kajian akademis Barat memengaruhi para sarjana-sarjana Indonesia, apakah mereka hanya membebek, menjadi catatan kaki, atau gimana menurut Anda?
Verena Meyer: Yang lama atau yang baru? Kalau yang lama, saya kira ada perubahan, tidak selalu, tapi ada. Hal itu sangat memengaruhi persepsi orang Jawa sendiri juga. Kayak (Clifford) Geertz, memisahkan santri, abangan, dan priyayi. Tapi sebenarnya tidak ada tiga golongan kelompok yang selalu terpisah di Jawa. Dan priyayi ada yang sangat santri juga. Dan santri itu orang yang mondok di pesantren, juga bukan Islam Arab.
Tapi saya kira, sudah ada beberapa murid Ibu Nancy, satu orang Indonesia sendiri, Habib Aji Alatas (maksudnya Ismail Fajri Al-Atttas–red). Dan temannya, (namanya) Daniel, dia juga fokus. O ya, saya kira Michael Laffans juga bagus karena dia menggambarkan bagaimana persepsi kolonial tentang Islam di Jawa, dan bagaimana itu juga berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomi orang Belanda. Bukan (semata) kepentingan karena mau pertahankan koloni. (yakni) Tentang bagaimana keilmuan Islam di Indonesia membentuk politik kolonial. O ya, ada beberapa artikel Ibu Nancy yang sangat menarik tentang bagaimana penelitian-penelitian meminggirkan Islam.
Langgar: Ya semoga arah baru ini bersambut. Jadi kami hampir mengumpulkan semua tulisan-tulisan Nancy Florida yang di luar disertasinya. Dan Kami juga ingin menerbitkan buku Bu Nancy. Beberapa sudah saya terjemahkan. Saya juga sudah mendapatkan tulisannya terkait Ronggawarsita meski itu sebuah paper yang belum boleh dikutip. Beberapa yang lain belum kami miliki.
Verena Meyer: Mungkin saya punya, nanti saya bisa cek.
Langgar: Kalau misalnya, dari tulisan-tulisan itu tersedia kami berencana menerbitkan buku Ibu Nancy dalam satu karya utuh. Itu sangat diperlukan. Terutama kegelisahan kami, bagaimana Islam di Jawa itu disingkirkan terus-menerus sampai hari ini. Bahkan oleh sarjana Indonesia sendiri.
Verena Meyer: Ya, ya, ya. Nanti saya cek kalau ada artikel lain.
Langgar: Terus mungkin ini tanggapan terakhir. Kira-kira “gerakan” ini, sebut saja begitu. Maksud kami menempatkan secara jujur peran Islam dalam pembentukan identitas bangsa ini sungguh kami sangat mendukung. Dan kita berharap kita bisa saling sering bekerjasama. Soalnya kalau kita-kita yang ngomong, nggak dipercaya sama orang sini. Orang Indonesia banyak yang inferior. Jadi kalau yang ngomong bule, itu selalu diagung-agungkan. Kami punya sedikit kerja kebudayaan yang kira-kira akan berguna untuk membantu masyarakat untuk kembali menggali khazanah itu, di mana orang mulai harus jujur tentang Islam. Karena bagaimanapun, untuk mengkaji ke-Indonesiaan, Islam punya sumbangsih begitu besar atas pembentukan identitas sejarah bangsa ini.
Verena Meyer: Ya, ya, ya.
Langgar: Terima kasih atas wawancaranya ini. Kapan-kapan Anda kalau mau main lagi ke sini, mangga, lho. Hehe.
Verena Meyer: Iya. Mauuu. Hehehe.
Verena Meyer merupakan antropolog yang concern mendalami studi Indonesia, khususnya Jawa. Ia adalah kandidat Ph.D di Columbia University, Manhattan, Amerika Serikat. Verena, demikian Ia minta dipanggil, sedang mengkaji Islam Jawa terutama konsep ziarah dan silsilah dalam spektrum kalangan Islam tradisionalis dan modernis di Jawa, untuk kepentingan disertasinya. Tesis masternya yang berjudul “Why Shinta had to Die: Human Rights and Javanese Ethics” tuntas pada 2012 di jurusan Study of Religion, Oxford University, Inggris.