DONASI

Pesantren, Sastra, dan Lokalitas yang Melingkupinya

Sebelum membahas jauh tentang sastra pesantren yang terdiri dari, bahasa dan lokusnya bernama Pesantren. Saya akan memulainya dari hal yang terdekat, dari diri saya. Saya...

ESAI | WEDNESDAY, 5 AUGUST 2020 | 18:13 WIB

Sebelum membahas jauh tentang sastra pesantren yang terdiri dari, bahasa dan lokusnya bernama Pesantren. Saya akan memulainya dari hal yang terdekat, dari diri saya. Saya terlahir di pekarangan lingkungan pesantren, dan tempat bermain masa kecil saya seringkali di pesantren. Aktivitas bermain dan mengaji seperti tiada bedanya, ia berjalan secara natural/organik. Selepas pulang sekolah biasanya kami sering bermain mulai siang hingga sore. Biasanya menjelang magrib datang, mulailah terdengar syiiran dan nadoman yang dibacakan oleh para santri dari pengeras masjid. Syiiran tersebut biasanya berupa bait-bait berbahasa arab, kemudian di nadomkan dengan bahasa Sunda dengan langgam yang sama. Suara lirih itu secara otomatis menjadi daya panggil masyarakat untuk pergi ke masjid. Kemudian setelah sholat magrib, para santri mulai mengaji di madrasah dengan kiai atau dalam bahasa Sunda biasa disebut ajengan.

Pesantren tempat saya bermain dan ikut-ikutan mengaji tersebut, perlahan mulai membuka sekolah seperti instansi pesantren (modern) yang lain. Dulu santri terbiasa berkelana untuk nyantri dari satu pesantren ke pesantren yang lain, hal itu biasa disebut dengan“santri kalong”. Tradisi atau metode mencari ilmu “nyantrik” seperti itu, dapat kita lihat pula meluas di kawasan Asian Timur, khususnya Cina (berguru bela diri) tokohnya Saolin, Wong Fei Hong, hingga Ip Man. Di Jepang (berguru Samurai) tokohnya seperti Musashi dengan sejarahnya yang bernama “Lingkar Lima”, Seven Samurai. Ada juga tokoh fiksi Himura Battosai, sosok imaji yang  masih hidup di era masyarakat Jepang kontemporer. Hal tersebut juga bisa ditemukan pada masyarakat Sunda, seperti sosok Bujangga Manik, dimana ia hidup di masa transisi Dayeuh Pakuan Padjajaran, kemudian ia berkelana dari gunung ke gunung hingga pulau Bali selama dua kali.

Hal tersebut juga bisa ditemukan pada masyarakat Sunda, seperti sosok Bujangga Manik, dimana ia hidup di masa transisi Dayeuh Pakuan Padjajaran, kemudian ia berkelana dari gunung ke gunung hingga pulau Bali selama dua kali

Santri kelana dalam konteks Indonesia modern, dapat kita temukan dalam sosok Soekarno dan Gus Dur. Kita tahu, Soekarno Muda dititipkan oleh ayahnya di Padepokan H.O.S Tjokroaminoto, disitulah Soekarno bertemu Semaun, Darsono, juga Sekarmadji Mardijan Kartosuwirjo. Dikalangan orang-orang Belanda, Tjokroaminoto adalah raja tanpa mahkota, dan kita semua tahu, Soekarno sangat terinspirasi olehnya, ia memperagakan gaya berpidato seperti yang dilihatnya pada diri Tjokroaminoto, dalam pendidikan Platonian hal tersebut sebagai perilaku imitasi (meniru), seperti yang biasa kita lihat antara santri dan kiai. Soekarno meniru gaya berpidato/orasi seperti yang dilakukan Tjokroaminto, hingga kelak ia memperkenalkan dan mempopulerkan kopiah songkok hitam yang mulanya dipakai Tjokroaminoto sebagai identitas nasional.

Begitupun dengan sosok “asketis” Gus Dur, dimana ia berkelana pada kiai-kiai Tarikat (Tasawuf) hampir seluruh Indonesia. Selain itu Gus Dur sebagai sosok santri kelana, juga menziarahi makam-makam leluhurnya para ulama nusantara. Dan kita juga tahu, Gus Dur berkelana tidak hanya sampai batas ruhani saja, ia juga membumikan keruhanian tersebut dengan berkelana dalam pengembaraan intelektual. Hal ini bisa di lihat sejak di bangku SMP ia sudah akrab dengan buku Das Kapital karya Karl Marx.

***

Kembali ke cerita saya diawal tadi, sesampainya saya tamat SD, saya mondok dan bersekolah di Pesantren Condong Kota Tasikmalaya. Pondok ini menggabungkan tiga kurikulum sekaligus; Gontor, Diknas, dan Tradisonal (ngaji kitab kuning). Sejak di bangku SMA, saya merasakan betul sistem pondok tradisonal yang mulai tergerus, kearah pola pendidikan Pesantren Modern Gontor, dan juga Diknas. Dari sana, karya sastra yang popular yang saya konsumsi (dan popular ketika itu) adalah karya santri semi-modern, sebutlah saja yang mewakilinya seperti Ahmad Fuadi Negeri Lima Menara, Ranah Tiga Warna, dan Habiburahman El-Shyrazi, Ayat-Ayat Cinta, Bumi Cinta. Perlahan karya sastra santri ini menjadi popular di kalangan Pesantren yang perlahan kearah (modern), yang digandrungi oleh masyarakat Islam perkotaan (urban/hijrah).

Dalam hal ini, jika kita menelusuri karya sastra pesantren yang tidak terlepas diri lokus Sunda, juga pertemuannya dengan modern(itas). Kita akan bertemu seorang sastrawan yang juga seorang penghulu agama (kiai), yaitu Haji Hasan Mustafa dari Limbangan, Garut. Hal ini disebutkan dalam Desertasi Mikhiro Moruyama, Semangat Baru’ Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad-ke-19. Dalam buku itu diperlihatkan dengan jelas, bagaimana orientalisme bekerja; yaitu semangat untuk menundukkan “Timur” atas dikotomi yang diciptakan oleh superioritas “Barat”. Haji Hasan Mustafa banyak terlibat dalam proyek kolonial Belanda (Baca; Informan Sunda Masa Kolonial, Jajang A Rohman), Ia juga menjadi mitra kerja sarjana-sarjana orientalis seperti Snouck Horgenje (Baca; Orang Aceh). Ia juga bersahabat dengan seorang Belanda bernama K.F Hole, seorang orientalis yang dengan angkuhnya menyatakan bahwa kesusastraan Sunda modern ditemukan oleh kolonial Belanda.

Argument K.F Hole tersebut, didasarkan pada masyarakat Sunda yang memang baru mulai mengenal aksara Latin “sebagai tanda aksara dan masyarakat dunia modern”. Disamping itu Haji Hasan Mustafa dalam karya-karya sastranya, memang menggunakan aksara Arab pegon (arab Sunda). Barulah belakangan, karya-karya Haji Hasan Muastafa di alih-aksarakan menjadi Latin oleh Ajip Roshidi (Baca: Haji Hasan Muhammad jeung Karya-Karyana). Dalam karya yang dialih-aksarakan oleh Ajip tersebut, kita akan melihat bagaimana pertautan sastra Sunda dengan tradisi yang ada di pesantren. Karya-karya tersebut lahir dari perilaku keseharian yang muncul dalam iklim bumi Sunda. Artinya, logika identitas sunda yang terbawa dan terwarisi tidaklah bersitegang dengan Islam sebagaimana logika oposisi-binner dalam logika “Cartesian-Newtonian”.

Terlepas dari keterlibatan Haji Hasan Mustafa dengan mitra-kerjanya di proyek orientalisme-kolonial, kita bisa melihat bentuk karakter sastra yang khas dari seorang Haji Hasan Mustafa. Yaitu karya sastra yang lekat dengan identitas orang Sunda, tentunya dengan latar belakang dirinya sebagai seorang penghulu agama (kiai). Artinya, Identitas Sunda yang terbawa, dengan Islam yang terberi menjadi daya dan saling topang dalam proses/kemenjadian pembentukan identitasnya. Hal itu selaras dengan konsep Tri-tangtu dalam alam-nalar manusia Sunda; “Tilu sapamulu, Dua-sakarupa, Hiji eta keneh”.      

Asumsi saya, kegiatan ber-sastra para santri pesantren dulu, lahir dari perenungan-perenungan ketika berkelana dari satu pondok ke pondok lain (nyantri kalong). Karena pondok itu menjadi kesatuan holistik dengan masyarakat, maka karya sastra (syiir/nadoman) yang diperdengarkan di masjid kala magrib-pun bisa didengar dan dinikmati pula oleh masyarakat umum. Sebagaimana saya mendengar syiiran dan nadoman kala kecil dulu. Bagi saya, sastra pesantren tidaklah perlu menarik diri dari pergaulan dan perkembangan masyarakat. Ia boleh berbeda, namun perbedaan itu haruslah menjadi ciri khas lokalistik pesantren, sehingga karya sastra yang dihasilkan, bisa dinikmati pula oleh masyarakat pada umumnya.

Dalam konteks saat ini, kita bisa lihat karya sastra pesantren yang dihasilkan oleh Kang Acep Zam-Zam Noor, dalam “puisi Cipasung”. Atau bentuk karya sastra lain yang dihasilkannya, seperti Islam Santai, Jalan Menuju Rumahmu dan sebagainya. Dalam konteks sastra dunia, kita bisa melihat karya sastra serupa, seperti karya-karya Paolo Coelho (Brazil); Ziarah, Alkhemis, Kesatria Cahaya. Gabriella Marquez (Colombia); Para Peziarah Yang Aneh, dan Seratus Tahun Kesunyian. Orhan Pamuk (Turkie), My Name Is Red, Silent House, Memories and The City.

Dari itu semua, pertanyaan yang ingin saya ajukan ditengah realitas pesantren yang hari ini terus menerus menghadapi modernitas yang tidak bisa dielakan ini adalah. Bagaimanakah sastra pesantren memberikan bentuk “baru” tanpa meninggalkan identitas yang terbawa dan terberi seperti yang sudah dikemukakan diatas? Karena bagaimanapun sastra adalah seni permenungan yang dihasilkan ketika kita berhadapan dengan realitas, maka dari itu sastra harus bisa menjawab permasalahan atau isu/wacana yang dihasilkan dari realitas. Sehingga, eksistensi sastra pesantren tetap bisa muncul dan tidak kehilangan corak lokalitasnya di generasi kita hari ini.

732

Mohammad Hagie

Menyelesaikan studi di ilmu sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Turut berperan aktif di Komunitas Kuluwung (Tasikmalaya). Tinggal di Yogyakarta, dan bekerja paruh waktu di Langgar.co

Comments are closed.