Pada musim gugur tahun 1889, sekitar enam puluh orang Jawa menapakkan kaki di kompleks Esplanades des Invalides, tidak jauh dari menara Eiffel yang proyeknya baru selesai dibangun di tahun yang sama. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk ambil bagian (lebih tepatnya, dipamerkan) dalam Pameran Dunia (Exposition Universelle) tahun 1889 di Prancis. Pameran di mana, menara Eiffel diresmikan sebagai bentuk ‘syukuran’ bangsa itu atas satu abad Revolusi Prancis – sekaligus upaya untuk mengukuhkan superioritas Prancis dan Eropa di atas dunia.
Pameran Dunia yang dibentuk sejak tahun 1851 adalah bentuk perayaan pasar kapitalisme liberal dari negara-negara adikuasa industri yang saat itu sedang berada di masa kebangkitannya. Selain itu, Pameran Dunia juga menjadi ajang negara-negara Eropa untuk memamerkan komoditas (jarahan) dan kebudayaan koloni mereka dari Asia atau Afrika, dengan cara membedol penduduk pribumi untuk dibawa ke pameran tersebut. Terhitung Mesir, Senegal, dan koloni lainnya ikut dipamerkan.
Tak ketinggalan Belanda yang ikut membedol enam puluh penduduk Jawa dan Sunda untuk dipamerkan di Pameran Dunia. Belanda, meskipun punya tanah jajahan sedemikian luasnya di kepulauan nusantara, tidak pernah benar-benar direken di kalangan negara Eropa. Negeri kincir angin itu ikut pameran demi meraih kembali pengaruhnya di Eropa.
Di pameran tersebut, penduduk Jawa mendirikan bangunan dan menciptakan suasana imitasi yang mirip dengan apa yang ada di wilayah asalnya. Dipertunjukkan rumah penduduk Jawa dari kayu dan bambu, lengkap dengan situasi serupa kegiatan orang Jawa sehari-hari. Penonton pameran disuguhi demonstrasi orang Jawa mengrajin caping, kepiawaian membatik, lengkap dengan suguhan kesenian tari dan musik tradisional Jawa yang dipertunjukkan di sebuah pendopo yang ada di tengahnya.
Dari enam puluh penduduk Jawa yang diboyong ke Prancis, beberapa di antaranya sekelompok gamelan Jawa, pemain angklung Sunda, dan termasuk empat orang remaja perempuan penari bedaya dari Mangkunegaran. Mereka adalah Wakiyem, Sariah, Taminah, dan Sukiah, empat remaja perempuan Jawa pertama yang mementaskan tarian Jawa di bumi Eropa, sekaligus jadi empat sahabat perempuan Jawa pertama yang besar kemungkinan menyaksikan menara Eiffel dengan mata kepala sendiri.
Alih-alih untuk menawarkan keindahan dan keluhuran budaya bangsa jajahan, justru pameran ini menjadi wahana untuk makin menancapkan superioritas bangsa Eropa yang saat itu merasa unggul di atas bangsa lain di dunia. Dengan dipamerkannya kebudayaan sederhana dari bangsa jajahan, bangsa Eropa berusaha meraih justifikasi kolonialisme dalam “memajukan kebudayaan orang-orang primitif”. Bangsa penjajah ini tak ubahnya sedang menempatkan manusia seperti boneka di deretan etalase stan pasar malam.
Hadirnya Kampung Jawa di Prancis, menimbulkan kesan tersendiri di kalangan pengamat dan komposer musik di Prancis pada masa itu. Secara apik, catatan mereka dikompilasi oleh buku Pengaruh Musik Indonesia pada Musik Prancis Abad ke-20, karya Patrick Revol. Poin utama buku terbitan Maret 2021 ini secara khusus menelusuri simpul pertalian karya komposer Prancis, Claude Debussy, yang ditengarai banyak terinspirasi dari tradisional Jawa selama pameran dunia 1889 berlangsung. Ditengarai komposisi musik bertajuk Pagodes karya Debussy datang dari pukulan gamelan di pameran Kampung Jawa tersebut.
Terlepas dari pertalian musik yang terjalin dari Kampung Jawa di Pameran Dunia 1889, buku ini menyajikan pelbagai komentar, catatan, rekaman, dan dokumentasi dari para pengamat, jurnalis dan musisi Prancis abad 20 yang saat itu mengunjungi Kampung Jawa. Setidaknya, dari buku ini saya mendapatkan gambaran yang hidup perihal etnosentrisme dan superioritas Eropa – seiring dengan paradigma pengamat kebudayaan di masa itu. Lebih dari itu, dari catatan para pengamat tersebut saya bisa menggali paradigma seperti apa yang ada di benak orang Eropa kebanyakan di abad 19.
Setidaknya, dari buku ini saya mendapatkan gambaran yang hidup perihal etnosentrisme dan superioritas Eropa – seiring dengan paradigma pengamat kebudayaan di masa itu. Lebih dari itu, dari catatan para pengamat tersebut saya bisa menggali paradigma seperti apa yang ada di benak orang Eropa kebanyakan di abad 19.
Tatapan Kolonial dan Eksotisme “Budaya Primitif”
Oleh karenanya, menarik untuk melihat bagaimana alam pikir para pengamat, jurnalis dan komposer tersebut dalam melihat budaya dan kesenian di Kampung Jawa yang dipamerkan. Catatan para pengamat Eropa (wabilkhusus Prancis) ini beragam. Bisa ditebak, catatan pengamat saat itu menatap kampung jawa ini dengan colonial gaze, alias tatapan kolonial dari bangsa penjajah kepada bangsa jajahan, yang menilai rendah dan menempatkan mereka sebagai objek tidak beradab dan terbelakang.
Ungkapan rasa jijik ditunjukkan terhadap kebiasaan makan, tipe fisik, sampai cara berbusana. Misalnya, sebuah catatan yang menyebut bahwa kebudayaan kampung Jawa masih primitif, dan menggambarkan pakaian orang Jawa di pameran tersebut dengan “pakaian orang miskin di Prancis yang kelaparan pada masa Louis XIV” hanya karena kesederhanaan pakaian dan bentuk rumahnya. Pandangan ini jelas menggelikan karena tidak mempertimbangkan bahwa Jawa terletak di wilayah tropis yang cenderung panas.
Catatan Edmond de Goncourt rasanya menjadi wakil paling pas terhadap tatapan khas kolonial yang kasar dan bahkan rasis. Tampak sekali superioritas khas Eropa (khususnya Prancis) dari caranya mengomentari tari bedaya yang ditampilkan di Kampung Jawa:
“Tarian itu sama sekali tidak punya apa-apa yang halus, menggiurkan, atau sensual. Terdiri sepenuhnya dari melipat-lipatkan pergelangan tangan dan dilakukan oleh perempuan yang kulitnya tampak seperti kain flanel untuk penyakit encok dan gendut dengan lemak tikus got yang diberi makan belut comberan!”
Akan tetapi, banyak juga para pengamat yang mengamati Kampung Jawa di pameran tersebut atas dasar rasa kagum, kesan mendalam, atau sebatas rasa penasaran. Komentar orang Eropa terhadap Kampung Jawa tersebut kadang diselingi dengan pujian yang halus, walupun masih diselimuti etnosentrisme khas kolonial Eropa yang memandang budaya ini masih perlu diper-adab-kan. Salah satu catatan dalam buku ini berjudul Le Kampong javanais a l’Espalanade des Invalides dari L’Almanach de L’Esposition tahun 1889 menggambarkan dengan gamblang, bahwa orang Eropa harus membina peradaban Jawa sebagai pengganti kekayaan yang sudah mereka raup selama bertahun-tahun. Lebih lanjut lagi, sumber yang sama menuliskan:
“Penduduk asli pulau Jawa masih hidup dalam keadaan sosial yang sangat sederhana, walaupun mereka semakin berbudaya berkat sistem pengajaran yang berfungsi dengan baik yang diterapkan oleh Kerajaan Belanda di wilayah jajahannya. Hal ini dapat dinyatakan dengan melihat tempat tinggal dan kebiasaan mereka yang berciri hampir primitif.”
Penggambaran orang Eropa terhadap Jawa yang saat itu masih asing, tak lepas dari pandangan bahwa budaya ini adalah bentuk kebudayaan yang masih ‘murni’, belum terjamah modernitas, dan penuh dengan unsur magis. Tidak jarang kata-kata berbau magis menjadi pilihan para pengamat dalam mendeskripsikan Jawa di event itu dengan menyebutnya sebagai “alam tak dikenal yang penuh misteri”. Selain itu orang Eropa juga menggambarkan tarian-tarian Jawa tak ubahnya seperti “ritual pujian doa kepada dewa Osiris atau Isis”, mitologi bangsa Mesir yang terlebih dahulu mereka akrabi sebagai bangsa jajahan.
Nada yang Tak Dapat Dijelaskan
Selain Claude Debussy yang menjadi subjek utama buku tersebut, Julien Tiersot menjadi nama yang sering muncul berkat catatan pengamatannya yang simpatik terhadap Kampung Jawa. Tiersot adalah seorang musisi Prancis dan dikenal sebagai komposer musik dan ahli etnomusikologi wilayah Timur Tengah, Cina, Jawa dan India. Catatan pengamatannya tertuang dalam karyanya, Promenades musicales à l’exposition, Les danses Javanaises (Musical tours at the Exhibition: The Javanese Dances) yang terbit di tahun 1889.
Di tengah pandangan umum kolonialisme yang memandang rendah budaya bangsa jajahan, Tiersot reltif melampauinya. Ia bahkan meyakini dirinya perlu untuk “menjadi orang Jawa”, sebab meneliti dengan menggunakan kacamata Eropa akan berujung ke penilaian yang keliru. Sekalipun dia mengamati dengan simpatik, namun kekeliruan penilaian tidak terhindarkan akibat pemaksaan cara berpikir ala orang Eropa terhadap bentuk kebudayaan dengan logika yang sama sekali lain.
Ia bahkan meyakini dirinya perlu untuk “menjadi orang Jawa”, sebab meneliti dengan menggunakan kacamata Eropa akan berujung ke penilaian yang keliru.
Tiersot mengamati alunan nada gamelan Jawa secara cermat, namun memaksakannya untuk masuk ke dalam notasi-notasi, notasi pentatonik do-re-mi-sol-la ala notasi yang dianut di Eropa. Saat itu Tiersot tentu belum mengerti laras pelog dan slendro khas Jawa. Maka muncul catatan Tiersot menyebut nada gamelan sebagai “nada yang tidak ada dalam tangga nada kelima nada”, atau dalam catatan lain menyebutnya gamelan sebagai musik yang menekankan “variasi, alih-alih keselarasan harmoni”.
Kekeliruan tak terhindarkan ini berujung pada kesimpulannya bahwa musikalitas gamelan Jawa lahir dari naluri, dan banyak berdasarkan faktor improvisasi si penabuh yang mempraktikkannya secara turun temurun. Penilaian ini makin mantap bagi Tiersot ketika ia meminta Taminah – salah satu penari bedaya – untuk menyuarakan lirik vokal pengiring gamelan Jawa. Tiersot menemukan bahwa nada vokal Taminah tidak dapat diulang dua kali karena ia selalu mendapatkan kesan berbeda tiap kali Taminah mengulangi nada. Bagi Tiersot, musikalitas gamelan Jawa dianggap lebih bebas, alamiah, dan tidak pernah benar-benar identik antara satu penampilan dengan yang lain. Berbeda dengan musik Barat yang sudah dibekukan dalam pakem notasi dan partitur sehingga menuntut kesetiaan dalam metode.
Upaya pemaksaan cara pandang ini kadang berujung pada kekonyolan. Pantas saja, Tiersot sampai ditertawakan oleh salah satu penabuh gamelan di Kampung Jawa bernama Rimbo. Rimbo barangkali mas-mas Jawa yang tidak mengerti teori musik Eropa saat itu, tapi Rimbo paham upaya pemaksaan orang Eropa atas gamelan Jawa adalah sia-sia dan pantas ditertawakan.
Upaya pemaksaan cara pandang ini kadang berujung pada kekonyolan. Pantas saja, Tiersot sampai ditertawakan oleh salah satu penabuh gamelan di Kampung Jawa bernama Rimbo. Rimbo barangkali mas-mas Jawa yang tidak mengerti teori musik Eropa saat itu, tapi Rimbo paham upaya pemaksaan orang Eropa atas gamelan Jawa adalah sia-sia dan pantas ditertawakan.
Setidaknya buku ini banyak menggambarkan bagaimana penilaian para pengamat Eropa ketika mengamati bentuk kebudayaan ‘pribumi’ dari berbagai negara jajahan yang hadir di pameran tersebut. Abad 19 merupakan abad ketika pandangan positivistik mengemuka dan berpengaruh dalam ilmu sosial budaya. Cara berpikir modern dianggap sebagai sebuah teori pakem yang sah digunakan sebagai kacamata dalam memandang kebudayaan lain. Pandangan itu pula yang diamini oleh para pengamat saat itu, mereka berusaha memaksakan cara berpikir dan sistem modern yang mereka anggap sebagai ‘beradab’ dan lebih canggih ketika menemukan bentuk kebudayaan yang baru mereka temui. Lebih jauh lagi, memaksakannya.
Potret ‘kekonyolan’ Tiersot ini mengingatkan saya dengan sebuah pengalaman pribadi ketika saya dan teman-teman dari UGM dan UIN ikut kuliah musim panas di Universitas Wina, Austria. Salah satu mata acara mengundang kami untuk mementaskan pertunjukan kebudayaan. Semua mahasiswa yang datang dari berbagai belahan dunia wajib mementaskan satu pertunjukan kebudayaan dari negara masing-masing.
Mahasiswa Austria yang tentunya menjadi mayoritas peserta, menampilkan sebuah tarian rakyat khas petani Austria bersama para dosen dan pejabat kampus yang mengenakan lederhosen dan dirndl, pakaian tradisional bangsa Eropa yang berbahasa Jerman. Tariannya sederhana, dengan nyanyian yang dalam kesan saya mirip seperti lagu “uncle Macdonald have a farm, iya iya yo..”dengan selingan menirukan suara hewan ternak macam domba dan sapi.
Sementara kami, mahasiswa Indonesia menampilkan tari Rantak, yang merupakan perpaduan ketegasan pencak silat yang diselaraskan dalam keluwesan tarian khas Minang. Penampilan kami biasa saja, toh kami hanya mahasiswa biasa yang berlatih tari dalam waktu yang mepet. Namun, kesan yang saya dapatkan di sana tidak terlupakan. Prof. Imgard Marboe, selaku salah satu pejabat dari Universitas Wina, menghampiri kami, dan mengapresiasi dengan takjub:
“You guys are beautiful! You dance like flying. You make us look like primitive farmers!
Baru kali itu – dan satu-satunya – saya mendengar orang Eropa menggunakan kata primitif untuk menyebut dirinya sendiri.
Foto : Olga Berg by Pintres https://id.pinterest.com/pin/307300374575006592/