Menu

Lembar

Simbah saya bernama Gemi, Sugemi. Di Jawa ada sebuah wejangan (baca: nasihat) yang bunyinya: Gemi, Nastiti, lan Ngati-ati yang artinya irit, teliti, dan berhati-hati. Ya, Gemi memang berarti irit atau pandai mengatur pengeluaran. Memang dulu simbah saya itu seorang pedagang, dan sifat Gemi memang sangat lekat dalam pembawaannya sehari-hari. Ia rutin tiap pagi melapak di Pasar, tepatnya Pasar Legi Kotagedhe. Pasar itu konon telah ada sejak pemerintahan Panembahan Senopati (1584-1601), dan merupakan satu-satunya pasar tertua di Jogja yang masih eksis hingga hari ini. Ingatan saya tentang sosok simbah –yang masih lestari– adalah tentang kebiasaannya memberi oleh-oleh kepada cucunya selepas Ngarung (baca: melapak) di Pasar.

Pasar (baca: kata tersebut) bagi simbah saya atau mungkin bagi masyarakat Jawa secara umum identik dengan dua hal. Pertama, merujuk pada petanda untuk menyebut sebuah tempat yang menjadi sentra perdagangan. Kedua, merujuk pada sistem perhitungan hari (penanggalan) yang disebut Pasaran. Terdapat dua keterangan yang akan muncul ketika seorang Jawa ditanyai perihal pasar, yaitu keterangan tempat dan keterangan waktu.

Pasaran adalah siklus perhitungan lima harian (Pancawara) dalam penanggalan Jawa-Islam yang digunakan pada sistem kalender Jawa Sultan Agungan atau Anno Javanico (Ricklefs, 2001). Lima hari tersebut adalah hari Pon, Wage, Kliwon, Legi, dan Pahing. Selain pasaran, setidaknya masih terdapat empat siklus perhitungan hari lain yang digunakan dalam Anno Javanico, diantaranya: paringkelan atau sadwara (siklus enam harian), padinan atau saptawara (siklus tujuh harian), padewan atau hastawara (siklus delapan harian), serta Padangon atau Sangawara (siklus sembian harian).

Ya, orang Jawa sejak dulu memang terkenal Gemi, Nastiti, lan Ngati-ati bahkan dalam menghitung hari sekalipun. Sistem perhitungan hari inilah yang kemudian menjadi landasan dasar dalam bagi masyarakat jawa dalam melaksanakan kegiatan kesehariannya. Salah satunya adalah siklus perhitungan pasaran, yang kemudian mengejawantah menjadi semacam sistem Ekonomi lokal di Jawa. Perkawinan konsep antara perhitungan lima harian dengan konsep tata ruang tradisional di Jawa (Panasta Desa atau Mancalima) inilah yang kemudian menghasilkan sistem rotasi ekonomi yang oleh masyarakat Jawa sebut sebagai “Pasar” itu tadi. Penyelenggaraan pasar di Jawa selalu berpindah-pindah berdasarkan rotasi hari pasaran-nya, sistem rotasi ini bahkan masih digunakan hingga kini. Pasar yang paling besar dilaksanakan ketika hari (baca: pasar) Kliwon, biasanya bertempat di Kuthanagari (pusat kota/desa), pasar yang diselenggarakan pada hari itu disebut Pasar Kliwon. Kemudian pada hari Legi terdapat Pasar Legi di mancanagari  (daerah terluar) bagian timur, Pasar Pahing di selatan, Pasar Pon di barat, dan Pasar Wage di utara. Konsep rotasi pasar ini akan berulang setelah siklus sepasaran habis. Pola inilah yang berhasil dibaca oleh Van Ossenbruggen dalam kajian-kajiannya (Van Ossenbruggen, 1975).

Van Ossenbruggen mungkin adalah salah satu orientalis yang menurut saya jeli membaca pola ini selain simbah saya dan kebanyakan orang-orang tua di Jawa. Selain itu ada juga Titi Surti Nastiti, seorang antropolog Indonesia yang sempat melakukan penelitian tentang pasar di Jawa. Ia menulis sebuah desertasi yang berjudul Pasar di Jawa Zaman Mataram Kuna. Dalam kajian tersebut Ia menemukan beberapa kata kunci yang tercatat dalam prasasti-prasasti kuna pada masa Mataram Kuna (baca: Medang Kamulan) seperti “Apakan, Ampekan, atau Mapakan”. Kata-kata tersebut diperkirakan merupakan sebutan untuk menyebut sentra perdagangan (laiknya pasar pada konteks hari ini). Kata-kata tersebut masih memiliki ketersambungan akar dengan kata “Pekan” yang masih kita gunakan hingga hari ini. Pekan adalah petanda untuk menyebut siklus tujuh harian (Saptawara). Disinyalir siklus pekan (baca: perhitungan tujuh harian) ini merupakan peninggalan konsep perhitungan hari di kalender Saka yang digunakan pada masa Hindu-Budha. Mungkin imaji tentang sentra perdagangan di jaman itu dapat kita lacak dari istilah “Pekan Raya” yang juga masih eksis untuk menyebut event pameran perdagangan hari ini. Dalam perkembangannya, setelah kalender Saka ini disempurnakan oleh Sultan Agung (digabung dengan perhitungan Hijriah) konsep rotasi ekonomi yang semula menggunakan siklus perhitungan tujuh harian mungkin telah mengalami perevisian sejalan dengan masifnya penggunaan rumus perhitungan baru yang ditetapkan Sultan Agung (baca: siklus lima harian atau pasaran) (Nastiti, 2003).

Bila kita merujuk pemahaman simbah-simbah kita dulu definisi mengenai pasar pastilah sangat berbeda dengan pemahaman hari ini. Jelas dulu definisi tentang “pasar” bukanlah terjemahan kata “market” seperti yang kita pahami sekarang. Pengertian tentang “pasar” pada jaman dulu pengertiannya tidak hanya sebatas petanda untuk menyebut tempat berlangsungnya transaksi, atau tempat bertemunya penjual dan pembeli saja. Lebih dari itu, mungkin abstraksi kekinian yang paling relevan untuk mengimajinasikan pemahaman simbah-simbah kita dulu atas arti dari “pasar”, adalah ketika kita membayangkan sebuah perayaan. Di mana orang-orang berkumpul, mencari hiburan pelepas penat, memenuhi janji dengan koleganya, mencari jodoh, momong anak, dan mungkin masih banyak kegiatan yang mereka lakukan saat pasar dimulai.

Apakah sistem dan pemahaman mengenai konsep ekonomi lokal (baca: pasar) dari simbah-simbah kita ini hilang? Jawabannya: Tidak. Sadar atau tidak, kita masih sering menemuinya kok, bahkan bila berkenan merunutnya pun masih bisa. Beberapa pasar (baca: tradisional) di Jawa –meski tidak banyak– hingga hari ini masih mempertahankan perhitungan pasaran tersebut. Keriuhan akan terjadi di pasar saat hari pasaran-nya tiba, keriuhan ini biasanya dimulai dari menjelang pagi hingga tengah hari. Para pedagang dari seluruh penjuru desa akan berkumpul di pasar menjajakan berbagai macam barang dagangannya; dari mulai kebutuhan dasar, beragam jajanan, ternak, bahkan hingga barang bekas yang dikenal dengan istilah (klithikan). Biasanya juga digelar aneka macam ‘hiburan rakyat’, seperti sabung ayam, lomba kicau burung, cliwik (baca: istilah judi), dan lain sebagainya.

Salah satu contoh kasus yang saya temui berada di Jogja. Beberapa pasar di kota ini masih mempertahankan perhitungan pasarannya, ya meskipun  kini bisa dihitung dengan jari. Beberapa pasar tersebut antara lain: Pasar Kliwon di Bantul, Pasar Pon Godean, Pasar Pahing Sleman, Pasar Wage Tlagareha, Pasar Legi Wirobrajan, dan Pasar Legi Kota Gedhe. Ketika hari pasaran tiba, titik keriuhan di pasar-pasar itu memuncak. Tetapi dalam konteks hari ini (di Jogja khususnya), puncak keriuhan di pasar-pasar itu –kini– lebih  didominasi oleh para blanthik (baca: pedagang hewan) dan pedagang klithikan (baca: barang bekas).

Berkumpulnya para blanthik dan para peng-klithik setiap hari pasaran di Jogja ini bahkan telah menjadi ciri khas pasar-pasar tradisional di Kota Gudeg. Tinggal mereka mungkin (baca: kelas sosial) yang masih ngugemi (baca: memegang teguh) sistem rotasi ekonomi tradisional di tengah derasnya terjangan arus globalisasi ini. Sebagai contoh di Pasar Legi Kotagedhe, tempat simbah saya mencari nafkah dulu. Ketika pasaran tiba –sontak– Pasar Kotagedhe akan penuh sesak dengan sangkar-sangkar burung yang pating tlalang menghalangi jalan, plus beraneka jenis unggas, ikan dan hewan ternak. Tak ketinggalan, gelaran tikar yang dipenuhi barang bekas seperti rangka sepeda kuno, radio lawas, piringan hitam serta berbagai barang dagangan para pedagang klithikan di pinggir-pinggir trotoar jalan. Pasaran di Jogja nampaknya telah berubah menjadi perayaan lima harian bagi para pecinta binatang dan pecinta barang bekas.

Menyambung perunutan di atas, ihwal yang mungkin sangat menarik dari runutan tersebut menurut saya pribadi justru ada pada perubahan makna dari kata ‘pasar’ itu sendiri. Salah satu pertimbangan mengapa saya merasa ihwal tersebut menarik adalah -karena menyadarkan saya- tentang keberadaan “jarak” yang teramat jauh dari hal-hal sederhana yang sebenarnya ada disekitar saya. Bila oleh simbah saya, kata ‘pasar’ dipahami dalam dua pengertian, yaitu untuk menyebut “siklus lima harian dalam kalender Jawa” dan “tempat berkumpulnya orang-orang tua Jawa saat hari pasaran tiba.” Maka bagi saya atau mungkin generasi sepantaran saya, ketika mendengar kata’pasar’ yang tergambar dibenaknya justru pengertian yang sifatnya parsial –yang bisa jadi tidak mengakar – terjemahan term ekonomi lain yang berbeda dengan pemahaman simbah saya.

Pun ketika kata itu diserap dalam bahasa Indonesia, kata pasar hanya menjadi petanda yang maknanya ditentukan oleh kata lain yang tidak berasal dari sini (baca: barat). Pasar tidak lagi memiliki hubungan dengan keterangan tempat dan waktu yang dibayangkan oleh orang-orang tua Jawa di masa lalu. Dan, kita (baca: saya) bahkan tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.

Tapi meski demikian, kita patut berbangga sih sebenarnya. Kita patut berbangga karena istilah pasar hingga hari ini masih tetap lestari (meskipun secara pemaknaan telah mengalami dekonstruksi yang hampir total). Kita harus bangga karena istilah pasar ternyata cukup relevan menjadi ‘kata penjembatan’ untuk menjelaskan term-term kunci dalam perekonomian modern yang dipahami generasi hari ini. Kita harus sedikit membusungkan dada ketika mendengar istilah pemasaran yang merupakan terjemahan dari kata marketing, lalu pasar modal terjemahan dari stock, dan pasar bebas untuk free-trade. Toh, akar tradisi dari istilah pasar itu kini juga tidak pernah dirujuk lagi kan, jadi tidak mengapa untuk ditinggalkan tentunya.

Faktanya, pasar (tradisional) yang masih bertahan dalam pengertian lawasnya toh kini telah kalah dengan “marketplacemarketplace” modern yang beragam jenisnya itu. Sehingga sangat wajar bila ia mulai dipinggirkan atau mungkin dipaksa untuk menempati sudut subordinat dalam perekonomian. Wajar pula,bila ia dilabeli dengan stempel udik, kotor, kumuh yang tidak sesuai standar hidup manusia modern, karena memang konsep tersebut tidak sesuai lagi untuk mendukung tesis-tesis terbaru yang diajukan oleh para sarjana ekonomi lulusan luar negeri itu tho.

Siapa yang berhak menuntut? Tentu jawabannya bukan saya, apalagi anda. Yang berhak menuntut sebenarnya adalah para Blanthik dan para pedagang Klithikan itu. Mereka adalah pewaris sah dari pasar (tradisional). Toh, mereka adalah para pedagang yang masih keukeuh mengimani sistem perdagangan berdasarkan perhitungan hari dari para leluhur untuk berkumpul dan membikin suatu perayaan yang membuat macet jalan itu. Bila tak percaya, mari kita tanyakan pada para Blanthik dan para pedagang Klithikan di Pasar Kotagedhe, bagaimana pendapat mereka tentang upaya subordinasi dan penegasian terhadap hal ihwal yang mereka pahami. Daripada kita menanyakan pertanyaan yang sama pada para ekonom kerakyatan yang memarkirkan mobilnya di Jalan MH. Thamrin, Menteng – pasti pertanyaan itu juga tidak akan terjawab tho.

Cepokojajar, akhir September 2018.


Referensi

Nastiti, Titi Surti. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VII – XI Masehi, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 2003.

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition, Palgrave, England, 2001.

Soembogo, Wibatsu Harianto. Kitab Primbon Atasadhur Adammakna, Penerbit Soemodidjojo Maha Dewa diedarkan oleh C.V. Buana Raya Solo,Cetakan 10, Solo,  2008

Soembogo, Wibatsu Harianto. Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna, Penerbit Soemodidjojo Maha Dewa diedarkan oleh C.V. Buana Raya Solo,Cetakan 11, Solo,  2013

Van Ossenbruggen, F.D.E. Asal Usul Konsep Jawa Tentang Mancapat dan Hubungannya Dengan Sistem-Sistem Klasifikasi Primitif, Penerbit Bhatara, Jakarta, 1975.

Zoetmulder, P.J. Kalangwang Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Penerbit Djambatan, 1994.

______________, Baboning Kitab Primbon Seri Kebatinan, Penerbit Karangroo, Solo, ____

Kita tahu, terdapat suatu wawasan, bahkan mungkin suatu gagasan telah diciptakan dalam wacana sejarah perkembangan Seni rupa di Indonesia. Jika kita lihat fenomena lika-liku perjalanannya yang dinamis selama ini. Dimulai sejak deklarasi avant-gardis Sudjojono dan kawan-kawan yang menggugat dan menentang “Mooi-Indie” sebagai seni rupa penjajahan kolonialisme. Seiring dengan era kebangkitan Nasional, mereka meyakini seni rupa adalah alat (baca: media) atau senjata perjuangan untuk melawan penjajahan, demi kemerdekaan.

Bagi mereka, Mooi-Indie hanya banyak melukiskan tanah jajahan nan indah. Tentang sawah dengan padi menguning di bawah pemandangan gunung yang kebiruan. Sehingga pantas saja dan wajar jika para seniman Mooi-Indie kebanyakan adalah pendatang dari negeri Belanda yang ingin melihat tanah jajahan selaku turis.

Seiring dan searah dengan kebangkitan nasional. Di mana mulai merebaknya partai-partai berdiri. Sudjojono dan kawan-kawan mendirikan organisasi PERSAGI pada tahun 1937. Dengan tokoh-tokoh anggota lainnya antara lain seperti Agus Djaja, Setijoso, Suromo, Abdul Salam dan Emiria Sunassa.

Mereka tahu, sebelum abad ke-20, kepeloporan Raden Saleh (1814-1880) sudah dengan berani mulai merintis perjuangan ke arah kemerdekaan. Dapat ditandai dengan dua karyanya yang masyur “Penangkapan Pahlawan Diponegoro” dan ” Pertarungan Banteng melawan Harimau”. Meski masih tertindih dan dinaungi dalam bayangan alam penjajahan kolonialisme yang bercokol selama tiga setengah abad tapi ruh perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan telah mulai merasuk dalam khasanah seni rupa Indonesia pada masa itu.

Hingga setelah kemenangan revolusi kemerdekaan Agustus 1945. Sebagai buah hasil perjuangan PERSAGI, gaung kebangkitan dalam seni rupa kita semakin merebak. Kian bertambah kokoh, setelah diperkuat oleh hadirnya tokoh-tokoh seniman pejuang lain seperti Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, Dullah, Trubus, Surono, Harjadi, Soedibio, Otto Djaja, Rusli dan banyak lagi.

Mereka punya andil dalam peran memenangkan Revolusi Agustus 1945. Dapat dibuktikan semisal antara lain dengan karya lukisan Sudjojono “Sekko, Pemuda Gerilya”, “Penganten Revolusi” Hendra Gunawan, “Mengatur siasat” Affandi dan “Kekejaman Serdadu Kolonialis Belanda” Dullah.

Apakah mereka membuahkan deklarasi perjuangan seni rupa setelah berada di era kemerdekaan? Ketika semangat euforia kemenangan revolusi tengah menyala-nyala di dada juang mereka ?

**

Nah, karena beriringan dengan masa awal bergolaknya Perang Dingin, setelah Perang Dunia Ke-II (1939-1945) usai. Pertarungan sistem ideologi dan politik global dunia antara blok kapitalisme yang diwakili terutama oleh Amerika dan Inggeris melawan blok Sosialisme yang dipelopori oleh Uni Sovyet dan RRT.

Maka yang menonjol ketika itu adalah pertarungan dua ideologi yang dibawa oleh negara-negara yang terlibat dalam Perang Dingin. Pengaruhnya juga terjadi pada lini kebudayaan di negeri kita. Dampaknya adalah dikotomi pertentangan dan pergumulan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) versus Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Jika secara garis besar dan spesifik, Lekra digambarkan mengusung seni untuk rakyat” dan “politik sebagai panglima”, yang ejawantahnya di bidang seni rupa akhirnya melahirkan aliran “realisme” dengan maksud agar mudah dicerna dan dimengerti oleh rakyat.

Maka Manifes Kebudayaan (Manikebu) membawakan  seni untuk kemanusiaan dengan paham “Humanisme Universil”. Di bidang seni rupa lebih menonjolkan kebebasan berkarya, yang ternyata banyak didominasi oleh aliran “seni abstrak”.

Dengan demikian, bagaimanapun para senimannya terseleksi oleh kristalisasi dan konsolidasi pemahaman keberpihakan masing-masing. Tidak lepas dari pengaruh pertentangan politik dan ideologi global Perang Dingin. Misalkan kecenderungan per-zona wilayah lingkungan yang berkembang, jelas dalam hal ini relatif saling berbeda.

Di Yogya, seni rupa realisme lebih banyak dikembangkan oleh para seniman pejuang. Yang kemudian  setelah berdirinya ASRI tahun 1950, ajaran realisme mereka lebih mendominasi dikalangan anak didiknya. Ketimbang ragam aliran-aliran dekadensi lainnya dari pengaruh Barat, mengalir melalui Sticusa, akibat hasil kompromi dari perundingan Indonesia-Belanda lewat Konferensi Meja Bundar tahun 1949.

Selain ASRI yang berdiri tahun 1950. Di sini, merebak sanggar-sanggar, wadah komunitas bagi para seniman berkumpul secara guyub. Di samping sebagai bengkel kerja berkarya, sanggar menjadi tempat berdiskusi dan lain-lain, juga sekaligus buat tempat tinggal mereka.

Misalkan Seniman Indonesia Muda (SIM), Pelukis Indonesia (PI), tak ketinggalan Pelukis Rakyat –yang merupakan sanggar yang paling menonjol kala itu. Kemudian menyusul sanggar kumpulan para mahasiswa ASRI, seperti Sanggar Bambu dan Sanggar Bumi Tarung (SBT). Serta banyak lagi sanggar gurem lainnya yang menjamur.

Jika dikaitkan dengan suatu kelahiran atau semacam suatu deklarasi. Maka lampu sorot harus diarahkan pada tokoh pendiri utama dan pimpinan SBT: Amrus Natalsya, yang  menyatakan secara vokal di tahun 1960-an, bahwa SBT adalah sanggar Lekra yang berjuang untuk ikut serta berperan aktif demi memenangkan Revolusi Agustus 1945. Membela soko guru revolusi.

Mereka punya wawasan dan gagasan aliran seni realisme dari metode kreasi “1-5-1” yang pada intinya merupakan pembeda dari “realisme sosialis” Uni Sovyet dan RRT serta pembeda dari “realisme sosial” yang dibawakan oleh para seniman senior sebelumnya, sejak masa PERSAGI.

Begitu pula fenomena perkembangan yang terjadi di ITB seni rupa di Bandung. Beda lagi gaya dan daya penampilannya. Termasuk atmosfer langgam pergaulan hidup para senimannya yang cendrung lebih modern dalam tataran perorangan individu masing-masing. Karena peran Ries Mulder sebagai pelopor yang merintis seni rupa modern di ITB seni rupa Bandung. Maka alur pengaruh modernisme Barat Ries Mulder yang meadopsi gaya ala kubisme Picasso begitu dominan getarannya di sini. Semula terkaca pada kebanyakan karya tokoh-tokoh seniman pelukisnya seperti Ahmad Sadali, Boet Mochtar, Mochtar Apin, Srihadi, Popo Iskandar, Barli, Sunaryo dan AD Pirous. Walaupun dalam prosesnya mereka kemudian relatif menemu gaya individu masing-masing yang kembali mengakar.

**

Pada masa itu, di sekitar tahun 1960-an, tatkala berada dibawah pemerintahan “demokrasi terpimpin” Presiden Soekarno yang progresif revolusioner.

Tataran kredo “kepribadian nasional” di bidang kebudayaan begitu peka (sensitif) untuk bereaksi secara vokal, sehingga segala kegiatan yang berbau dan bernuansa Barat, mudah menjadi sasaran serangan kritik.

Sekitar tahun 1963, dalam seminar seni rupa di Pekan Kesenian Mahasiswa (PKM) di Denpasar, Amrus Natalsya mengatakan menolak dengan keras “westernisme” dalam pembentukan seni rupa Indonesia. Semacam suatu polemik kemudian terjadi, di mana pelukis Oesman Effendi di Jakarta pernah menyatakan : “Tak ada seni rupa Indonesia, yang ada semua berasal dari Barat”.

Uniknya, segaris dengan pendapat Amrus yang ingin Indonesia berpijak di atas kaki sendiri dengan jati diri (identitas)nya. Pelukis Gregorius Sidharta yang saat itu menjadi dosen ITB, menulis surat kepada kawannya, berkata : “saya ingin mencari dan menemukan nilai-nilai Indonesia”.

Jadi Amrus dan G. Sidharta sebenarnya berupaya membentuk karakteristik ciri khas karya seninya yang bernuansa ke-Indonesia-an. Dengan menggali unsur-unsur tradisional yang berurat dan berakar lama di kehidupan rakyat Indonesia. Terutama yang banyak terdapat dalam ragam hias, ornamen, dan totem-totem patung primitif.

Puncaknya, dampak dari perubahan total ini kemudian terjadi setelah pergolakan peristiwa “G30S 1965”. Lekra lengser tergusur rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa. Sedangkan “Manikebu” yang dikatakan orang telah menikmati kebebasannya sendiri tanpa saingan, nasib keberadaannya pun semakin kurang jelas dan tak menentu, dibenamkan oleh hiruk pikuk kekuasaan Orde Baru yang kian otoriter. Mereka juga akhirnya menjadi korban penindasan rezim.

Pertanda yang menyolok dari perkembangan senirupa dibawah sistem kekuasaan rezim Orba adalah mulai tumbuh menjamur galeri-galeri dan art-shop. Tentu saja pameran-pameran senirupa yang bernuansa komersial akhirnya merebak melalui peran “kurator” ring satu rezim, selaku pihak yang dominan menentukan pilihan secara selektif. Para kolektor yang dekat dengan pemimpin saat itu pun semakin merajalela, seiring dengan adanya Balai lelang dan Biennale yang sering diselenggarakan.

Gejala ini dimungkinkan dengan melonjaknya situasi ekonomi Orba. Oleh dibukanya kran bantuan ekonomi asing yang mengandalkan utang melalui dana monoter dunia seperti Bank Dunia, IGGI, IMF dan lain-lain, disamping investasi modal asing kian terbuka lebih menganga.

**

Namun secara politik, ketika sistem kekuasaan Orba semakin otoriter, tentu kian lama menimbulkan tantangan  reaksi dan protes perlawanan dari massa rakyat. Terutama di sekitar tahun 1974, peristiwa Malari akhirnya meledak. Hal ini merupakan awal kebangkitan dari kepeloporan Gerakan mahasiswa yang berdemonstrasi menentang rezim penguasa yang otoriter. Apalagi ketika rezim penguasa semakin represif memberlakukan “depolitisasi” di kampus-kampus. Maka di bidang gerakan mahasiswa seni rupapun terjadi dinamika perlawanan. Dengan mengusung prinsip wacana dan wawasan yang tak lepas mengacu kepada lahirnya berbagai deklarasi perjuangan.

Dengan cerdas taktik perjuangan mahasiswa seni rupa dalam perlawanan pun dimulai. Mereka melakukan kritik sosial dan protes terhadap penguasa melalui berbagai trik dan manuver seni.

Misalkan mereka yang menghimpun diri lewat “Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB)” dengan para tokohnya antara lain Hardi, FX Harsono, Bonyong Munnie Ardhie dan Ris Purwana. Melakukan protes terhadap petinggi birokrat institusi mereka sendiri. Lahirlah karya-karya eksperimen yang lebih bernilai pembaruan. Seperti mengingatkan apa yang dicapai pada gerakan pembaruan seni rupa di Amerika dan Eropa tahun 1960-an. Dengan lahirnya aliran-aliran seni rupa baru seperti Dadaisme, Pop-art, dan Surealisme.

Melalui berbagai manuver dan deklarasi yang mereka lakukan, antara lain di samping GSRB, pernyatan “Desember Hitam”, “Kepribadian Apa?” dan tajuk “Nusantara-Nusantara”. Gerakan mereka akhirnya meluas melalui penyelenggaraan pameran Gerakan Seni Rupa Baru di TIM tahun 1975 yang diikuti pula oleh para seniman dari Bandung dan Jakarta.

Begitu pula seperti para pelukis muda “surealisme Yogya”, yang terdiri antara lain Ivan Sagito, Dede Eri Supria, Agus Kamal, Effendi, dan Lucia Hartini. Karya-karya mereka melontarkan kritik-sosial, melalui sentuhan permainan “absurditas” yang menyelubungi gaya “si uper-realis”  mereka yang intens.

Kemudian tampil seorang radikal dan militan, bernama Semsar Siahaan, dengan manifes deklarasinya “seniku, seni pembebasan”. Pelukis muda yang pernah mengikuti pendidikan selama setahun di San Francisco Art Institute ini. Ketika kuliah di ITB seni rupa Bandung, sempat bikin heboh dengan membakar patung “Irian dan Torso” karya dosennya Sunaryo, sebagai pernyataan protes terhadap apa yang dianggapnya sebagai suatu eksploitasi atas eksotisme patung asmat rakyat Papua.

Semsar bersama komunitas para perupa muda yang tergabung dalam “Taring Padi” mengusung semangat perjuangan dari apa yang telah ditempuh para pendahulunya. Seperti pengalaman gerakan seni rupa Sanggar Bumi Tarung (SBT) di tahun 1960-an.

Pasca Reformasi 1998 telah bertambah tumbuh merebak komunitas seni rupa progresif lainnya, Seperti antara lain Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker), Jaringan Kerja Budaya (JKB), Sebumi,  dan Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit.

Taring Padi, uniknya selain menonjolkan kebersamaan dalam komunitasnya. Nama perorangan mereka jarang ditampilkan. Tapi disamping Semsar, bisa kita sebut nama-nama mereka. Antara lain Mulyono, Yustoni Voluntero, Surya Wiryawan, Yohanes Adrianus Iswinarto dan Ibob Su su. Mereka lebih suka berpameran di lingkungan kaum tani di pedesaan. Tema-tema perjuangan yang penuh perlawanan atas ketidakadilan dan penindasan menjadi ciri khas dan karateristik karya-karya mereka.

**

Nah, hingga di sini secara garis besar, kita dapat menandai dari kilas balik dinamika perkembangan sejarah seni rupa kita. Buat kita baca secara kritis dan obyektif.

Bahwa di antara situasi gejolak dikotomi pertentangan politik hingga kepada masa rehat dalam status-quo sekalipun. Relatif tetap hidup semangat mempertahankan harga dan jati diri (identitas) bangsa. Rasa nasionalisme cinta tanah air, tegak berdiri diatas dua kaki, dengan jiwa kepribadian kita sendiri.

Seperti apa yang telah dan pernah dirintis oleh kepeloporan Raden Saleh dan Soedjojono dan kawan-kawan, sejak sekitar seabad yang lalu. Berlanjut di era ketika Amrus Natalsya dan G. Sidharta yang kita anggap mewakili zamannya. Hingga di era globalisasi sekarang ini.

Saat salah seorang pelukis kontemporer Edopop terinspirasi untuk tetap mengatakan kepeduliannya kepada bahasa seni rupa yang berlatar belakang lingkungan dan budaya sendiri. Kita tahu dihadapan kita, kini terpampang tanda tanya besar, “quo-vadis senirupa kita”. Mau kemana arah senirupa kita kini berjalan!?

Ketika negeri-negeri yang sedang berkembang merupakan nasion-nasion terpinggirkan dalam persaingan global.Tinggal layaknya “bebek lumpuh (lame-duck)” yang siap pakai sebagai sasaran empuk buat diubah alias disunglap menjadi negara-negara “boneka” satelit mereka. Bayangkan jika kita menjadi sebuah negara duplikat asing, tanpa jati diri (identitas) bangsa berjiwa kepribadian sendiri?

Jika kita kini berada dalam sikon dan konstelasi yang kian rawan (untuk tidak dikatakan parah) seperti dalam istilah yang sering digambarkan oleh para seniman kontemporer itu sendiri. Negeri yang penuh dengan carut marut, imbas “Art-Word” yang multi dimensi.

Sinar harapan seperti yang pernah dibayangkan dan diimpikan oleh para seniman senior “old-master” seperti yang terurai tersebut di atas menjadi tak berarti lagi. Maka sudah barang tentu harapan semacam itu. Semakin redup memudar ditelan masa.

Berdasarkan kedudukan kita sebagai negara berkembang di tengah era globalisasi sekarang ini. Jelas betapa sulit menggambarkan “romantisme kehendak” atau hasrat keinginan kita untuk kesana lagi.

Seperti mencari jarum dibawah tumpukan jerami, jalan perjuangan yang harus kita tempuh hari ini, untuk menegakkan jati diri (identitas) kita yang tampil beda, di tengah kesetaraan khalayak dunia.

**

Tapi biar bagaimanapun, jiwa dan semangat nasionalisme cinta tanah air (patriotisme) wajib dibangkitkan dengan penuh percaya diri.

Pesatnya kemajuan tehnologi yang membadai di era globalisasi merupakan tantangan berat yang harus kita lawan. Derasnya arus globalisasi memang semakin menggerus orisinalitas kemanusiaan dan mutu nilai-nilai kemurnian kearifan lokal yang telah kita miliki. Namun, itulah tantangan kita hari ini.

Sebagai contoh kecil yang sederhana. Dalam bidang senirupa penggunaan proyektor dan digital printing sebagai alat kemudahan berkarya, kini kian merebak. Sehingga sentuhan ketrampilan dan kepiawaian jari tangan seniman selaku bakat alam, seakan perannya tak begitu berarti dan berfungsi lagi.

Kemudian contoh kasus lain: secara ekonomis, memang benar jika harga karya lukisan seorang pelukis muda kontemporer Nyoman Masriadi melejit di balai lelang dunia, hasil karya permainan para pialang seni (baca: broker). Tentu hal itu membuat jurang kesenjangan semakin dalam, bila dibandingkan dengan harga karya lukisan para seniman gurem pegiat sosial. Itulah dampak gesekan persaingan sistem kapitalisme yang merasuk keranah karya seni rupa kita.

Tentu banyak lagi kendala yang terjadi dalam permasalah seni rupa kita yang menjadi tantangan untuk kita melakukan pilihan terbaik kedepannya. Kearah mana senirupa kita berjalan.

**

Kita tidak harus putus harapan. Kita masih memiliki modal tradisi baik, yang masih mumpuni untuk kita andalkan kedepan.Termasuk pesan dari pengalaman para sesepuh seni rupa kita dalam sejarah yang menghendaki kejayaan seni rupa kita tetap menampilkan ke-Indonesia-an yang bermartabat.

Jika kita tarik proyeksi garis perkembangan seni rupa yang sedang berjalan. Jelas, tidak lepas dari layar kaca petunjuk yang mencerminkan situasi dan kondisi global. Budaya dan seni, khususnya seni rupa, merupakan salah satu wahana media yang reflektif. Mencerminkan keberadaan lingkungan hidup dunia kita yang sebenarnya. Bahkan seorang seniman pemikir besar dunia dari Rusia, pernah mengatakan “seni adalah kaca pembesar dari tantangan zamannya.” Sehingga antara kenyataan dan harapan keberadaan (eksistensi) seni rupa kita akan selalu ada sinergi dan kontradiksi yang mutlak dalam kesatuannya.

Jalan terang selalu masih terbuka dalam celah masa status-quo yang terisi oleh keramahan waktu ini. Demi rasa lega, tenang dan santai selama dalam penantian, kreativitas kerja dalam berkarya di seni rupa jangan sampai tenggelam. Karena perjuangan tak pernah henti…..

***

Pak Wardoyo dan Wayang

https://www.youtube.com/watch?v=Q8ZacExjKuI

Ward William Keeler, adalah seorang expatriat asal Wilton, Connecticut yang sangat cinta dengan Jawa. Ia biasa dipanggil Ward, namun di Jawa ia lebih suka dipanggil Pak Wardoyo. Ia menyatakan bahwa nama Wardoyo itu memiliki makna yang sangat dalam, karena berasal dari bahasa Kawi yang berarti: hati.

Wardoyo tertarik dengan wayang dan uyon-uyon di Jawa, salah satu tokoh yang menginspirasinya adalah Ben Andersons. Menurutnya Wayang kulit Jawa adalah sebuah kesenian yang sangat sakral di Jawa, ketika tahun 1970an ia berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya ia bertanya-tanya mengapa setiap ada pementasan wayang kulit banyak warga masyarakat Jawa berduyun-duyun menonton? Apa yang menarik dari pertunjukan tersebut? Mengapa semua orang Jawa senang menonton wayang? Pertanyaan-pertanyaan itu yang menjadi pokok pikiran Pak Waryodo yang saat itu sedang menyelesaikan desertasi.

Selama penelitiannya itu, ia menemukan ada perbedaan besar antara Budaya timur dan barat. Pak Wardoyo mengajukan satu tesis berkaitan dengan pemaknaan orang Jawa mengenai “Hierarki”. Jika di Eropa (termasuk Amerika) hierarki difahami sebagai sesuatu yang kurang baik, karena dekat dengan feodalisme –yang tidak disukai orang Eropa– maka di Jawa hierarki memiliki pemahaman tersendiri, yang memiliki ejawantah arti sangat dalam (baca: keadaan kejiwaan tertentu) yang tergambar dari ekspresi-ekspresi tradisi seperti wayang, beksan, dan gending.

Selain di Indonesia Pak Wardoyo juga sempat melakukan riset di Negara Birma, di sana ia juga menemukan suatu pemahaman lokal yang khas –yang hampir sama dengan pemahaman lokal di Indonesia– berkaitan dengan hierarki ini.

Namun, makin ke sini –sebuah kritik bijak dilontarkan oleh Pak Wardoyo– ia merasa kedalaman makna batiniah dari Hierarki di Jawa. Ia tidak lagi menemukan unsur “ning” dalam wayang yang dipentaskan hari ini, bulan ini ia telah menonton wayang sebanyak tiga kali, namun dalam tiga pertunjukan tersebut, ia tidak menemukan pesona yang sama –yang didapatkannya ketika menyelesaikan desertasi dahulu– saat berkunjung pertama kali di Indonesia. Pertunjukan wayang hari ini telah kehilangan jejer, kehilangan gending, bahkan kehilangan “ning” (baca: hening) yang begitu penting dalam wayang kulit.

Ia sangat rindu merasakan kramatnya “ning” dalam wayang kulit, karena ihwal tersebutlah yang memikatnya di tahun 70an. Ketika ia kembali ke Indonesia tahun 90an, ia tak menemukan “ning”-nya lagi.

***

Melengkapi review saya atas buku Prof. Dr. Alfons Van der Kraan, Lombok: Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan (1870-1940), berikut saya mengajukan beberapa tafsiran dari data-data yang ditawarkan Kraan.

Saya pernah berkorespondensi dengan Kraan, terutama soal bukunya ini.  Baginya, bukunya tentang Lombok tersebut merupakan produk dari gairah masa muda seorang sarjana. Maksudnya, bahwa di dalam penelitiannya tersebut banyak hal yang sudah usang secara asumtif maupun teoritik. Singkatnya, banyak hal yang harus direvisi oleh Kraan.

Kraan  mengirimkan satu artikel panjang lainnnya mengenai Lombok, terutama menyoroti sejarah pendidikan modern di kalangan penduduk Lombok sejak zaman penjajahan Belanda sampai menjelang kemerdekaan Indonesia. Hal ini menunjukkan tingkat keseriusan Kraan meneliti Lombok.

Saya pertama kali memperoleh informasi tentang penelitian Kraan mengenai Lombok dari salah satu tulisan dari kumpulan tulisan (almarhum) Kuntowijoyo yang diedit oleh AE Priyono, Paradigma Islam: Interprestasi untuk Aksi (terbitan Mizan). Menurut Kuntowijoyo, penelitian Kraan adalah salah satu contoh penelitian sejarah sosial yang bergizi: datanya padat, ketat, dan banyak. Tetapi bukan berarti tanpa celah.

Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.

Sebagai bagian dari generasi muda Sasak, saya tidak ingin naif atau terjebak dalam “poskolonialitas kekanak-kanakan”: menolak semua yang ditulis oleh orang luar (outsider). Berhadapan dengan produksi pengetahuan tentang “kita” oleh “orang luar” adalah suatu keniscayaan zaman. Persoalannya, selama ini kita selalu mencukupkan diri dengan para produsen pengetahuan dari luar itu tanpa memberikan alternatif atau terlibat aktif dalam praksis pengetahuan itu sendiri, terlebih ketika terkait dengan diri sendiri. Artinya sepanjang kita memiliki sikap kritis dan tidak mencukupkan diri dengan penjelasan mereka tentang “kita”, maka interaksi dengan produksi intelektual “orang luar” tersebut akan menjadi suatu yang produktif secara intelektual.

Sejak 1970-an, generasi ketiga dari intelektual dunia yang terlibat dalam dekolonisasi bangsanya menegaskan penolakan mereka tentang ketunggalan sistem nalar dalam memproduksi pengetahuan. Acuan-acuan universalisme dalam pengetahuan telah runtuh dan dianggap hal yang tidak bermoral. Berbeda dengan kritik kaum posmodernis di Eropa yang menolak metanaratif dari nubuat pencerahan Eropa secara internal, kaum dekolonial ini secara nasab tumbuh dari rahim perlawanan politik cum intelektual bangsa-bangsa terjajah. Pada dekade itulah mereka berbicara soal politik pengetahuan (politic of knowledge) yang singkatnya kurang lebih demikian: tidak ada patokan nalar; perayaan atas keragaman nalar; agar bisa menyikapi produksi pengetahuan Barat maka harus menguasainya dengan seksama sampai ke konteksnya (dalam artian luas) sehingga jelas batas kewilayahannya; dan saatnya produk pengetahuan modern dibaca  di dalam koridor tradisi intelektual yang beragam di dunia.

Penelitian Kraan tentang Lombok merupakan salah satu penelitian paling serius tentang Lombok. Kraan memilih suatu fase paling krusial dari terbentuknya masyarakat Lombok modern. Persoalan yang harus digarisbawahi di sini, bahwa penelitian Kraan ini diterjemahkan di tengah sebuah masyarakat yang hampir saja tidak mewarisi catatan sejarah apapun tentang diri mereka. Saya sedikit nyinyir dengan beberapa komentar atas terbitnya terjemahan buku Kraan ini, terutama dari kalangan orang Sasak dan Bali (baik Bali di pulau Bali atau di Lombok), yang mengharapkan keberadaan suatu postur bulat dari historiografi Lombok. Saat ini, seperti terjadi di mana-mana, imaginasi soal sejarah masa lalu sedang menjamur sampai di luar koridor praksis pengetahuan itu sendiri. Biasanya, mereka akan masuk di salah satu kotak: mengglorifikasikan data sejarah yang menguntungkan status quo mereka; atau mereka terjebak dalam mistifikasi atas apa yang mereka bayangkan sendiri sebagai sejarah.

Sementara itu, Kraan sendiri lebih tertarik dengan dinamika penting masyarakat Sasak dalam periode yang sangat krusial, yakni peralihan dari zaman Kolonial Bali Karangasem, masa kembalinya kolonial Belanda, sampai dengan zaman pra-kemerdekaan. Tiga periode yang dianggap produktif untuk melihat masyarakat Sasak hari ini.

Seperti diketahui, Belanda telah menginvensi Bali atau ke-Bali-an secara serius, terutama untuk menyusun Bali sebagai anti-tesa bagi Jawa yang merosot oleh kedatangan Islam. Bali juga disusun sebagai suatu produk kolonial yang paling dihasrati oleh kultur persangkaan kolonial. Kita tidak memperoleh postur bulat dari proses invensi Bali dan Ke-Bali-an ala kolonial tersebut. Tapi praktis baru pada tahun 1894 Belanda mengambil alih kekuasaan dari para penguasa Bali yang sebelumnya dibiarkan lebih leluasa mengelola kekuasaannya jika dibandingkan dengan kalangan yang sama di pulau Jawa. Para penguasa dari Bali Karangasem bahkan melebarkan kekuasaannya sampai ke Lombok. Dalam banyak penelitian disebutkan tentang kekayaan kerajaan Karangasem Bali ini ketika mengendalikan bagian Timur Bali dan Pulau Lombok. Sumber pendapatan mereka dari rebues lintas laut saja sangat besar. Para menak Karangasem Bali di Lombok juga berhasil membangun infrastruktur ilmu pengetahuan mereka, seperti ribuan naskah kuno yang mereka koleksi dan perbanyak nantinya disita Belanda dan sebagian dipindah ke pulau Bali.

Pada sisi lain, hubungan Bangsawan Bali atau orang Bali dengan orang Lombok sangat ambivalen sampai hari ini. Orang Bali menegakkan mentalitas superior mereka karena pernah menjajah Lombok. Mentalitas ambivalen tersebut tidak faktual tetapi merupakan tanda-tanda dari psiko-sosial masyarakat jajahan. Pola ini tidak begitu jelas, terutama soal bentuk kolonial domestik semacam kasus Karangasem Bali atas Lombok. Apakah hubungan antara para menak Karangasem di Lombok dengan masyarakat Sasak hanya hubungan penjajah dengan yang dijajah? Sebagai generasi Sasak yang hidup berhimpitan, bahkan jarak tembok rumah dengan orang Bali Lombok, saya mendapatkan adanya dinamika yang lebih kaya tentang hubungan kedua kelompok masyarakat yang sangat dominan dalam ruang sosial masyarakat Lombok.

Di titik inilah saya melihat kelihaian Kraan, dia mencoba keluar dari sebuah kumparan bola es sejarah orang Lombok dan Bali yang sangat krusial dengan cara mengambil periode lebih akhir dari dinamika masyarakat Lombok yang jelas lebih “ringan” bebannya.

Sejak pertengahan abad 19 Masehi, Belanda mulai khawatir dengan situasi kultur kolonial Eropa yang saling caplok satu dengan lainnya. Kerjasama perdagangan antara kaum bangsawan Karangasem di pulau Lombok dengan sejumlah konsorsium perdagangan Eropa-kolonial, seperti Inggris dan Skandinavia, sangat mengkhawatirkan pemerintah-penjajah Belanda. Mereka mengirim para pengawas perdagangan dan diplomat yang biasanya dari kalangan hadrami Indonesia. Menguatnya kontrol kolonial bersamaan dengan menguatnya persaingan internal puak penguasa Karangasem di pulau Lombok (Cakranegara, Pajang, Pagutan, dan lain-lain). Masing-masing sub-kerajaan memperebutkan monopoli atas tanah dan para penggarapnya (orang Sasak). Kondisi semacam itu membuat posisi orang Sasak semakin terjepit dan lemah sehingga menumbuhkan benih perlawanan di antara mereka terhadap kekuasaan penguasa Karangasem.

Kembali ke beberapa ­uneg-uneg soal buku Kraan:

Pertama, Kraan membangun tesisnya berdasarkan pada tiga kelompok, kelas-kelas sosial di Lombok: Triwangsa (menak Bali), perwangsa (menak sasak/pembesar sasak), petani bebas dan panjak (buruh tani yang tidak memiliki tanah). Soal kelas petani bebas dan buruh tani bisa dikomparasikan dengan pendapat (alm) Ong Hok Ham mengenai kelompok tani yang memiliki tiyang cekap (tanah cukup) dalam konteks Jawa (Rembang, Pati, Blora, dan sebagainya). Kelompok tani bebas inilah dalam konteks kolonial Jawa menjadi “tulang punggung” pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda yang pernah ada. Masih menurut Ong, pada pemberontakan Pangeran Dipanegara (Perang Jawa), para batur (kelas paling miskin yang tidak memiliki rumah dan pekerjaan) menjadi tulang punggung pendukung pemberontakan Dipanegara. Dari dua pendapat ini, menurut tafsiran saya, Ong ingin mengatakan bahwa “tulang punggung” pemberontakan dan perlawanan selalu adalah kelas sosial yang paling rendah karena merekalah yang menerima keburukan hidup akibat “ulah” kelas-kelas yang lebih tinggi, maka jarang sekali ada pemberontakan yang ‘ikhlas’ dari kelas ekonomi mapan dalam lintasan sejarah.

Walaupun saya tidak sepenuhnya bersepakat soal posisi para batur dan tiyang cekap sebagai tulang punggung Perang Jawa. Penempatan kaum pariah dalam suatu peristiwa sejarah di negeri ini seringkali menjadi suspen (kejutan yang setaraf dengan isapan jempol) oleh para peneliti asing. Dalam Perang Jawa misalnya, Peter Carey menyebut keberadaan para begundal, tukang garong, dan batur. Tetapi adakah penjelasannya yang lebih bertenaga soal mereka secara lebih detail? Di sini saya selalu kecewa, analisis kelas sosial mereka yang masih “liberal” sebenarnya bagian dari suspen narasi mereka untuk selalu mengabaikan fakta-fakta utama yang mereka hindari, yakni isu  Islam. Dalam kasus Perang Jawa, para peneliti luar sangat bias dalam melihat posisi sentral jaringan tarekat dan pesantren yang menyokong perlawanan Dipanegara.

Kedua, persaingan di antara kelas-kelas sosial tersebut dalam mengakumulasi kekuasaan dalam artian yang luas. Misalnya, Kraan menggambarkan bagaimana “triwangsa” menguasai masyarakat Sasak dengan mengikat para “perwangsa”, dan memberikan kepada mereka hak-hak atas tanah. Jadi, kelompok “kolaborator” di kalangan Sasak yang berperan serta dalam melanggengkan kekuasaan bangsa Bali di Lombok terdiri dari para perwangsa. Hal ini sudah pasti terjadi dalam hubungan “penjajah” dan “terjajah” di manapun. Di Jawa maupun di kawasan lain. Dalam konteks Jawa, bagaimana VOC (sebelum digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda) menyuburkan dan menguatkan feodalisme untuk melanggengkan penjajahan mereka. Bahkan VOC-Belanda menambahi beberapa jabatan monarkhis untuk memperkuat pengaruh mereka atas orang Jawa, seperti penunjukan bupati-bupati di sejumlah daerah penting tanpa mensyaratkan “darah biru” untuk jabatan tersebut. Kelompok inilah yang kadang disebut priyayi. Pejabat-pejabat kolonial dari pribumi ini selalu bersikap mendua dalam isu-isu kemerdekaan pada awal abad 19 karena mereka takut kehilangan jabatan kolonial tetapi juga membaca potensi pergerakan nasional pada saat itu.

Dalam sejarah kolonial Indonesia, para kolaborator kolonial ini nantinya menjadi priyayi dan kaum borjuasi nasional yang sangat jarang disinggung dalam catatan sejarah Indonesia. Setahu saya, Indonesia adalah satu-satunya negara paskakolonial yang tidak memiliki catatan tentang kaum borjuasi nasionalnya.

Hal menarik dari Kraan, profanisasi terhadap beberapa istilah seperti triwangsa atau perwangsa. Maknanya disempitkan sebagai suatu kosa-kata feodal semata. Merosotnya kosa-kata kekuasaan lokal disebabkan oleh semakin mapannya bentuk kontrol kolonial terhadap para elit masyarakat jajahan, dan telah menumbuhkan suatu sistem kontrol efektif dengan menempatkan mereka sebagai jongos kolonial. Kuatnya sistem kontrol kolonial biasanya didukung oleh mapannya kontrol pengetahuan kolonial atas masyarakat dan tanah jajahannya.

Ketiga, soal bentuk, formasi, dan motif-motif “congah” (pemberontakan) di kalangan masyarakat Lombok. Congah atau pemberontakan yang ditampilkan oleh Kraan dalam bukunya ingin membantah klaim sejumlah elite Sasak mengenai wilayah kekuasaan mereka. Sampai hari ini sebagian besar para menak Sasak mengklaim bahwa moyang mereka memiliki wilayah kerajaan seperti luasnya kerajaan ala Jawa yang dengan sendirinya mengandaikan adanya stabilitas sosial, politik, ekonomi, dan Budaya pada masa sebelum Bali datang ke Lombok. Jika klaim ini benar, lantas kenapa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sporadik dan tidak menggambarkan bahwa mereka memiliki struktur (tidak saja fisik) pada masa sebelumnya sehingga soliditas kaum pemberontak sangat lemah. Hal ini, jika dibandingkan dengan pemberontakan-pemberontakan dalam konteks Jawa benar-benar tidak sama bentuk, formasi, dan motifnya. Kembali pada pemberontakan Dipanegara misalnya, terlihat sekali bahwa pemberontakan ini berjalan lama, sekitar lima tahun karena dukungan yang kuat dari kelompok sosial bawah sampai atas dengan mengandalkan struktur sosial Jawa yang sangat kuat pada saat itu.

Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.

Keempat, sebagai lanjutan dari yang ketiga, Kraan ingin menunjukkan bahwa formasi ke-menak-an yang dikenal sekarang di Lombok lebih banyak dibentuk pada masa penjajahan efektif Belanda. Terutama kelompok “perwangsa” yang menduduki posisi sebagai kepala distrik. Kepala-kepala distrik pada masa Belanda inilah yang paling banyak membentuk formasi ke-menak-an pada masa sekarang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Delapan kedistrikan dengan sembilan kepala distrik utama, ditambah dengan empat kedistrikan di wilayah Lombok Barat dapat ditelusuri jejak-jejaknya pada keluarga-keluarga bangsawan yang menempati posisi elit politik saat ini. Karena posisi status quo mereka berlanjut sampai pada masa paling nyaman, masa Orde Baru.

Ada satu fakta miris yang diungkap oleh Kraan saat Belanda datang ke Lombok (sekitar 1894), bagaimana para perwangsa datang ke kepala pasukan Belanda setiap hari, saat itu di Cakranegara, untuk mencari muka agar mendapatkan posisi penting pada masa penjajahan Belanda. Para perwangsa datang untuk minta “jatah” kepada Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh para triwangsa. Sempitnya motif politik para perwangsa berefek buruk dengan dikembalikannya seluruh tanah orang Bali yang sempat diambil oleh para petani (petani bebas dan panjak) yang dulunya menggarap tanah-tanah druwe dalem milik perwangsa. Hal itu terjadi pada tahun keempat penjajahan belanda di Lombok pada masa residen Liefrinck.

Memang hal yang aneh di kalangan menak Sasak saat ini ketika tidak mau mengungkap posisi mereka sebagai kolaborator penjajahan pada masa Bali maupun Belanda. Kalau kita dibandingkan dengan para bangsawan Jawa, narasi kerjasama Belanda dengan para bangsawan menjadi kajian dan diskursus umum. Di Lombok ada proses glorifikasi historis yang sangat fanatik akan posisi ke-menak-an, seakan mereka bersih dan tidak pernah memiliki catatan hitam dalam sejarah.

Kelima, Kraan menghabiskan hampir sebagian besar energinya untuk memberikan gambaran mengenai penderitaan para petani: baik petani bebas maupun panjak (slave). Dalam bagian ini, kajian Kraan soal struktur kolonialisme sudah terhitung maju. Kalau kita merujuk kajian yang dilakukan Walter D. Mignolo soal struktur penjajahan orang putih terhadap para pribumi dan para budak impor dalam membentuk dan mematangkan kapitalisme putih, maka kajian Kraan yang fokus pada nasib buruk petani Sasak sangat membantu dalam melihat struktur kolonial Bali dan Belanda, terutama soal penjajahan Bali atas Lombok. Selama ini dikatakan bahwa penjajahan Bali sama dengan model penguasaan raja Jawa atas kerajaan tetangganya. Kraan menunjukkan bahwa keberadaan kerajaan Bali di Lombok berada pada masa krusial, yakni era perdagangan yang sangat maju. Kraan meyakini bahwa raja-raja Bali yang ada di Lombok termasuk raja-raja yang kaya raya di kawasan Timur Indonesia pada saat itu. Kekayaan mereka diakumulasi dari pajak yang sangat mencekik (dalam konteks Jawa hal ini dianggap biasa saja), peron luat, dan perdagangan sangat maju. Pencapaian dalam bidang perdagangan yang maju itulah yang menjadi salah satu motif penting Belanda mau mengintervensi penjajahan Bali di Lombok.

Keenam, soal struktur sosial masyarakat Sasak sebelum kedatangan Bali Karangasem ke Lombok. Apakah benar atau faktual ada kerajaan-kerajaan pra-Bali di Lombok, seperti Langko, Bayan, Selaparang, Pejanggik, Kahuripan, Kerekok, Memelak dan sebagainya? Kraan tidak mau berdebat soal ini. Dia membangun andaian demikian: terdapat beberapa desa otonom di Lombok Pra-Bali. Setiap desa otonom memiliki para pemuka yang membawahi petani bebas dan buruh tani. Desa otonom ini tidak terlalu luas. Artinya, tidak seluas “kerajaan” dalam bayangan orang Sasak saat ini tentang masa lalu mereka. Sebuah desa otonom bisa seluas kelurahan dalam konteks sekarang atau mungkin lebih kecil lagi.

Poin ini mengingatkan pada asumsi alternatif mengenai lema kedatuan dan kerajaan. Para datu bisa saja bukanlah para raja seperti dalam imaginasi modern atau kaum feodal kesiangan. Para datu adalah mereka yang dihormati karena kualitas personal dan kemampuan mereka memberikan kebaikan bersama bagi orang di sekitarnya. Para datu diteladani karena wibawa dan otoritas ruhani mereka, bukan karena semata perangkat kekuasaan politik mereka.

Sepintas persoalan desa otonom yang diajukan Kraan menarik, padahal pendapat seperti itu mengikuti saja pendapat para sejarawan Barat mengenai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Misalnya, tesis Sutherland mengenai basis kerajaan-kerajaan besar di Nusantara yang berbasis pada desa otonom. Persoalannya, apakah desa otonom dalam konteks Sasak pra-Bali sudah sebesar wilayah desa otonom dalam konteks Jawa yang kemudian dijelmakan menjadi kerajaan-kerajaan besar? Kalau mengikuti narasi (alm) Pak Pram dalam naskah Mangir, maka sangat jelas bahwa desa otonom dalam konteks Sasak Pra-Bali sebesar perdikan “Mangir”. Dalam naskah Mangir, saya menghargai poin soal bagaimana Pak Pram meratapi hancurnya otonomi desa dalam sejarah Jawa. Dari gambaran semacam ini, jelas sekali bahwa salah satu kelemahan para Indonesianis adalah ortodoksi, yakni kesenangan mereka merawat ide-ide pendahulu mereka tanpa pernah mau membangun teori baru berdasarkan fakta-fakta yang mereka kaji. Kraan dalam konteks bukunya ini banyak sekali mendaur ulang kajian-kajian para Orientalis dalam bidang sejarah ketika berhapan dengan fakta-fakta sejarah di Jawa.

Masih banyak sekali yang dapat kita tafsirkan dari kajian Kraan yang sangat studious ini, misalnya data-data perpajakan yang sangat kaya. Banyak sekali, dan alangkah baiknya memang buku Kraan ini dibaca langsung ke teks Inggrisnya. Wallahu’alam.

Pada awal abad XX, tanah jajahan mendapat bacaan berupa surat kabar. Penantian atas berita tak lagi harus menunggu sekian hari, sekian minggu, sekian bulan. Di halaman-halaman kertas, berita demi berita disajikan untuk diketahui publik. Berita tentu tak selalu benar mutlak. Pembaca berhak meragukan berita. Pemerintah kolonial pun merasa wajib memberi “pengesahan” berita asal tak mengganggu tertib sosial-politik.

Peran jurnalis menjadi penting. Kebermaknaan atas berita-berita diimbuhi kehadiran opini. Sekian opini dikerjakan jurnalis dan penulis-penulis bermaksud memberi tanggapan: menguatkan atau melemahkan dampak berita. Opini atau artikel berkemungkinan jadi bara perlawanan atau pembuktian kepatuhan pada kolonial. Sejarah Indonesia mencatat pesona opini turut memberi pembesaran ide nasionalisme di pelbagai perhimpunan, sarekat, dan partai politik.

Di surat kabar, berita dan opini tak melulu utama. Pengumuman dan iklan pun dimuat menaburkan segala perintah, ajakan, dan bujukan dengan tatanan kata dipadu gambar. Pada iklan-iklan, orang-orang mungkin tergoda atau bercuriga itu bohong. Di kertas-kertas, kebenaran dan kebohongan lazim tersaji berbarengan. Mata pembaca ditantang untuk mengerti saat pelbagai kata, gambar, dan foto mulai dipikirkan dan direnungkan. Tindakan itu bakal bertambah panjang jika pembaca berhadapan dengan cerita dan Puisi. Surat kabar pun telah memanjakan para umat penganut “estetika” untuk bercumbu dengan gubahan-gubahan sastra. Di lembaran memuat sastra, pembaca berhak mengangguk atau menggelengkan kepala.

* * *

Kita menjenguk puisi dulu. Sekian puisi mirip pengindahan berita, belum pertaruhan kata bergelimang makna berpatokan “estetika”. Puisi menjadi penambahan atau penguatan usaha memberi warta. Puisi kadang mirip pengentalan pujian atau keberpihakan dengan “mengacaukan” kewajaran menjadi berlebihan. Puisi terlalu lama terlupakan untuk mengerti masa lalu, sebelum sejarah selalu memilih teks-teks besar dan “penting.” Kita mengambil puisi dari seabad silam, bermaksud mengerti secuil pengaruh puisi di zaman orang-orang ingin kebenaran dan menampik kebohongan melalui huruf-huruf tercetak. Djoematan suguhkan puisi berjudul “Seroean jang Singkat” dimuat di Poetri Hindia, 15 Maret 1909.

Ja inilah sekarang djaman kemadjoean

Masanja bergerak pihak perempoean

Madju kemedan pengetahoean

Hilangkan segala adat kekoenoan

Bait itu jarang teranggap bohong saat orang-orang mengetahui ketokohan Kartini. Tanah jajahan bukan lagi bertokoh lelaki saja di deru ilmu dan capaian kemajuan. Kartini tampil menginginkan pemenuhan hak bagi perempuan bersekolah, perempuan memegang buku, perempuan urun pikiran, dan perempuan menentukan nasib zaman. Sekolah-sekolah mengacu ke daftar impian Kartini mulai berdiri di tanah jajahan meski mengarah ke “kepandean poetri”, belum menguat ke pemerolehan ilmu-ilmu akademik berselera Eropa. Bait itu sulit dituduh bohong untuk mengenang Hindia Belanda awal abad XX.

Pada masa lalu, para perempuan meresmikan pembentukan “umat pembaca”. Mereka itu pembaca surat kabar. Mereka tak sekadar melihat orang sedang membaca surat kabar atau berperan sebagai pendamping bagi suami saat membaca surat kabar di serambi sambil minum teh. Poetri Hindia itu santapan bagi perempuan. Warta dan pesan di puisi pun sering mengarah ke perempuan ketimbang lelaki.

Apakan lagi Hindia Poetri

Hendaknja masjhoer makin sehari

Wadjahnja tambah elok berseri

Djadi pemimpin poen para isteri

 

Dari djaoeh hamba berseroe

Keliling Hindia tanah antero

Toentoelah pengetahoean djangan keboeroe

Poetri ini soedah mendjadi goeroe

Ingatan pada kapitalisme dicetak di tanah jajahan menempatkan kaum perempuan di kesadaran literasi, tak harus menunggu kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dan kewarasan kaum feodal. Perempuan telah menulis dan membaca di surat kabar. Perempuan ada di selebrasi berita. Perempuan bersantap ilmu beranggapan surat kabar itu “goeroe”. Masa lalu itu sangkalan atas tuduhan berlaku selama ribuan tahun: kaum perempuan terlena dengan gosip. Poetri Hindia melampaui gosip, memberi rangsang membedakan kebenaran dan kebohongan sebelum ditularkan ke sesama.

Poetri Hindia mengingatkan kita pada tokoh bernama Tirto Adhi Soerjo. Ia berada di balik pembentukan bacaan bagi perempuan. Tirto Adhi Soerjo dalam sejarah pers tercatat sebagai pendiri Poetri Hindia, berkala awal di tanah jajahan. Poetri Hindia terbit perdana 1 Juli 1908. Misi berkala bentukan Tirto Adhi Soerjo: “Soerat kabar dan advertentie boeat poetri Hindia.” Cerita mengenai Poetri Hindia tak berlangsung lama. Pada 1912, berkala itu berakhir dengan sesalan dan ratapan. Kaum perempuan merasa kehilangan bacaan dan merindukan para penulis perempuan saat sejarah sering menokohkan para lelaki sebagai penulis berita, opini, dan sastra (Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 1995).

Kemunculan surat kabar memberi halaman bagi berita, opini, dan puisi memungkinkan kita mengetahui siasat orang melakukan sebaran informasi, ide, dan imajinasi melalui tulisan-tulisan. Umat membaca-menulis itu minoritas di tanah jajahan dengan kesanggupan jadi panutan, pemuka, atau penjelas ke publik. Kebenaran dan kebohongan memiliki pembesaran atau penggandaan saat orang-orang tak lagi mengurusi segala hal bersumber mulut. Di kertas-kertas, situasi baru terbentuk untuk memajukan atau menistakan.

Situasi persuratkabaran itu beriringan dengan kebiasaan para pemuka di Jawa memilih gubahan sastra berbagi nasihat berkaitan manusia dan berita. Adab hidup bersama bergantung keinsafan mengerti posisi diri dalam mengurusi segala berita.

Pada zaman kemajuan, urusan warta dan sikap penerimaan-penolakan dimuat dalam gubahan sastra berjudul Serat Panitibaya, berisi petuah-petuah Paku Buwono X. Di Solo, terbitan surat kabar dan kemunculan perhimpunan modern memberi dampak keberlimpahan berita. Pemahaman orang atas politik, pengajaran, agama, etika, ekonomi, dan hiburan mulai dipengaruhi surat kabar. Sekian berita dianggap bohong, menghasut, dan fitnah. Pelbagai tanggapan dan bantahan berlaku untuk serbuan argumentasi. Penggubahan Serat Panitibaya berbarengan dengan  hasrat orang-orang mulai berpihak ke surat kabar. Di Solo, surat kabar pernah berpengaruh adalah Darmo Kondo, Doenia Bergerak, dan Medan Moeslimin. Haluan di pers itu berbeda dengan segala pesan atau petuah raja ingin berlaku modern di Jawa. Kita mengutip bait-bait petuah Paku Buwono X berkaitan berita dan sikap.

Ping tridasa-catur aja

ngandel catur miwah maido warti

karo-karo iku luput

predinen akal nyata

ya ginugu nanging tan pantes ginugu

yen tan tinengah watara

toging prana aniwasi

Bait itu berisi ajakan agar orang memiliki pertimbangan atas peredaran kata atau berita. Sikap menerima dan menolak berita kadang malah salah jika tak berpatokan nalar-argumentatif. Pendengar atau pembaca berita dianjurkan sanggup berpikir sebelum memberi cap atas berita: kebenaran atau kebohongan. Gagal dalam mengerti kata atau berita bakal menghasilkan salah, sengsara, dan bohong kolosal. Gagal itu semakin berakibat fatal bagi orang menumpuk pamrih ingin terperhatikan oleh sesama. Paku Buwono X melanjutkan memberi “peringatan” keras.

Kaping seket iku aja

wewadul lan tumbak cucukan cengil

lan don ngemyang juwal tutur

murih den suba-suba

ruba dora dasanya wutuh rinemuk

yeku kawingnyaning setan

tan pandak: rongeh niwasi

Bait itu memuat ajakan ke orang-orang menghindari nafsu gemar mengadu, kasak-kusuk, dan memfitnah. Semua ulah itu terselenggara untuk “menjual berita” agar mendapat ketenaran. Ulah buruk dengan mengedarkan atau mewabahkan kebohongan berisiko menistakan kebaikan dan kebenaran. Orang bernafsu kebohongan itu terbujuk “kepandaian setan.” Orang-orang dilanda gelisah dan menanggung petaka jika fitnah dan kebohongan merajalela.

Dulu, kebohongan itu bersumber dari mulut. Kata-kata diucap dengan mulut. Sumber sebelum diucapkan tentu pikiran dan perasaan. Tatanan hidup di Jawa berpatokan etis kadang rusak oleh pesta kebohongan dan pergosipan berbarengan kemunculan hal-hal baru sejak awal abad XX. Berita dan opini di surat kabar tak mencukupi bagi orang-orang untuk mengerti pelbagai hal. Bekal secuil dari deretan berita atau pengetahuan sering digunakan orang ingin tampil sebagai pengabar sakti. Di Serat Panitibaya dimuat peringatan ke orang-orang berlagak mengetahui dan pintar.

Ping saptadasa-astha ja

arerasan kang sepi lawan pamrih

kang marojol saking wuruk

lan dudu gawenira

cacad gedhe ngilangken daulatipun

paitan gedhe pangucap

yen tan rineksa niwasi

Omongan tanpa faedah dan bermakna itu abai nasihat bijak. Orang  dianjurkan mawas diri bila memang tak diwajibkan bicara atau menjelaskan suatu perkara. Nafsu mengoceh tanpa pengetahuan berarti cela besar, berkonsekuensi merusak atau menghilangkan martabat. Omongan besar dan panjang malah membikin gerah, kacau, dan sengketa. Ulah pengoceh goblok berlagak pintar diharapkan jangan ditiru demi tata hidup bersama dalam damai, rukun, dan bahagia. Kita mengerti peringatan itu tak berlaku di masa lalu saja. Kini, bait-bait  lawas masih mungkin dimengerti dengan teknik komunikasi telah terlalu ramai dan ribut menggunakan teknologi-teknologi ajaib.

* * *

Kenangan dari awal abad XX itu sengaja dihadirkan untuk mengerti kita di abad XXI. Petaka demi petaka ditanggungkan akibat gagal mengerti dan menggembala kata-kata bercap berita. Kemauan bersastra berdalih santun, renungan, kritis, dan religius pun perlahan mengendur akibat godaan-godaan berpakem kecepatan dan mewabah. Kita gampang berpetaka ketimbang menggirangkan diri tanpa tergesa mengalami hidup keseharian dengan berita atau cerita.

Indonesia sedang memiliki tema besar berita bohong, belum cerita bohong. Kita menganggap ada beda antara berita dan cerita. Beda itu sering tak terpegang saat orang-orang berpesta kata, gambar, dan foto di media sosial. Pesta  jarang berjeda. Pesta membarakan segala sangkaan, kecaman, hujatan, penghinaan, dan ratapan. Detik demi detik sering sengketa berkepanjangan membikin capek dan gelisah. Konon, segala hal beredar dan disengketakan itu dijuluki berita bohong. Berita kadang bersalin rupa dan rasa menjadi “cerita.” Di tatapan mata, benda ajaib gampang mencipta neraka-neraka.

Pada berita bohong, orang-orang sibuk memikirkan (lagi) pengertian bahasa, alat, manusia, pesan, waktu, dan tempat. Kerja berpikir itu sulit mengejar wabah berita bohong. Kemauan menghentikan pun memerlukan satu ton keringat dan doa sepanjang seribu meter. Tabah mungkin sulit berlaku di abad XXI. Tabah cuma milik orang-orang masih bersuntuk dengan masa lalu dijuduli kuno, tradisi, purba, dan kolot.

Pada cerita-cerita, perkara bersengketa menggunakan “bukti” dan argumentasi memuat kecenderungan agak berbeda. Kita memilih saja penjelasan-penjelasan digagalkan rampung oleh Mario Vargas Llosa. Ia memberi penjelasan bukan untuk bumiputra di tanah jajahan awal abad XX. Penjelasan mungkin saja bisa dituruti umat pembaca sastra di Jawa saat terlalu menghormati gubahan sastra dari keraton. Llosa menulis dan berbagi penjelasan ke pembaca sastra mutakhir di Amerika Latin dan Eropa, menular ke Indonesia. Kita telat ditulari tapi pantas mengucap terima kasih.

Penjelasan belum menggunakan ungkapan-ungkapan bersumber dari teknologi-komunikasi mutakhir. Ia masih mengacu ke teks sastra dan cara komunikasi bercap abad XX, puluhan tahun lalu. Penjelasan mengikutkan masa lalu, pengembalian pengertian kebenaran dan kebohongan ke epos, mitos, dan kehidupan sastra tradisi di pelbagai negeri. Kita mencomot penjelasan Llosa di buku berjudul Matinya Seorang Penulis Besar (2018). Buku berisi esai-esai garapan Llosa, tersaji ke bahasa Indonesia dengan terjemahan Ronny Agustinus.

“Sebetulnya, novel memang berbohong–mereka tak bisa berbuat lain–tetapi ini cuma separuh cerita. Separuh lainnya, bahwa dengan berbohong, mereka menyatakan kebenaran ganjil yang hanya bisa diungkap dengan gaya sembunyi dan terselubung, tersamar sebagai sesuatu yang tidak seperti adanya,” tulis Llosa. Bohong ada di peradaban fiksi atau sastra, dari masa ke masa. Bohong itu siasat, bukan pokok penghancuran martabat kesusastraan.

Perdebatan bohong mustahil selesai di sebiji esai. Llosa mengaku ingin memberi cuilan-cuilan saja asal umat sastra berkemauan mencari jalan perdebatan panjang berbekal tumpukan referensi lama dan baru. Llosa tak lupa menaruh novel di pembedaan derajat bohong bersaing dengan artikel di surat kabar dan kitab sejarah. Kalimat-kalimat berhak direnungkan kita: “Tidakkah semuanya tersusun dari kata-kata? Tidakkah mereka memenjarakan dalam waktu artifisial penceritaan suatu arus tak bertepi yang bernama waktu riil itu? Jawaban saya adalah: mereka ini sistem-sistem yang saling bertentangan dalam mendekati realitas. Bila novel memberontak dan melampaui kehidupan, genre-genre yang lain itu hanya bisa menjadi hambanya. Gagasan tentang bohong atau benar berfungsi dengan cara yang berbeda dalam masing-masing kasus.” Penjelasan itu bertahun 1989, tahun masih belum seriuh dan seganas sekarang. Llosa menulis tanpa terlibat dengan media sosial berlimpahan sengketa di lakon besar berita bohong. Kita mengingat penjelasan Llosa, sebelum berani mengadakan penjelasan-penjelasan lekas usang di hitungan hari.

Begitu.


* Ilustrasi oleh Rahmad Afandi, ia menggambarkan sastra yang kita sebut “puisi” ini tergelar beraneka ragam dalam wujud yang menghijab fungsi utamanya: yaitu sebagai petuah. Dan, seakan ilustrasi tersebut menyiratkan sebuah pertanyaan terkhusus bagi generasi hari ini: “bagaimana wujud sastra hari ini, apakah kesakralan fungsinya sebagai petuah masih ada?”

 

Entah jin apa yang membimbing saya pada 1 November 2017 untuk pergi ke Toko Buku Suara Muhammadiyah yang terletak di tengah Kota Yogyakarta. Niat saya hanya satu, membeli buku dengan judul di atas (di luar tanda kurung) yang ditulis oleh Mitsuo Nakamura. Kebetulan sudah lama sekali saya ingin mengetahui sejarah Kotagede.

Suatu malam setelah Idul Adha pada tahun yang sama, di dekat kawasan Masjid Gedhe Mataram, seorang kawan menyebutkan sebuah nama sebagai salah satu rujukan. Dan suatu malam dalam perjalanan ke sebuah pengajian atas meninggalnya seorang tetangga, masih di Kotagede, seseorang berkata tentang adanya seorang yang gemar memotret acara di Kotagede.

Ada kata kunci di dalam ceritanya: Orang Jepang dan Nakamura.

Buku seharga Rp136.800,00 setelah didiskon Rp7.200,00 itu tentu tidak murah. Tapi, saya benar-benar ingin membacanya.

Dari awal, saya begitu yakin kalau ini merupakan buku yang sangat penting, apalagi mengingat rentang waktu kejadian yang diteliti, yang kemudian menjadi penjelasan di bawah judulnya: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede sekitar 1910-2010.

Ditambah lagi, orang-orang Muhammadiyah yang hidup di sekitar saya, maka, membaca penelitian yang dibukukan, yang dilakukan dari tahun 1970 sampai 1972 untuk keperluan disertasi Pak Nakamura itu, serta tambahan tulisan beliau ketika bolak-balik ke Kotagede setelah 1972 sampai tahun 2010 bisa menjadi nutrisi tambahan pengetahuan bagi saya dalam melihat peran sebuah organisasi yang disebut reformis terhadap individu, juga sebaliknya: peran individu terhadap organisasinya.

Kupasan saya terhadap buku yang berjumlah 487 halaman ini, yang telah saya baca kata perkata dari halaman awal sampai bagian “Masa Depan Muhammadiyah” tentu jauh dari kritik layaknya tulisan akademis. Semoga penjelasan di bawah judul di atas kiranya tepat.

Kesan yang saya dapatkan dari membaca buku ini akan saya bagi menjadi dua, yaitu: kesan terhadap penulisnya dan kesan terhadap apa yang ditulisnya. Saya tahu, kedua hal ini agak sulit untuk dipisahkan.

Sebagai orang Jepang, kesan kesungguhan, sabar, setia, serius, dan sangat memerhatikan hal yang kecil atau detil sepertinya terwakili dalam diri Nakamura yang menyelesaikan sarjananya dalam bidang filsafat serta tiga pascasarjana dalam bidang antropologi (dua master dan satu doktoral). Keempat “pelajaran berat” tersebut tentu sulit untuk diselesaikan tanpa adanya kecintaan yang besar terhadap orang-orang atau lembaga yang ditelitinya. Dalam hal ini tentu saja: Indonesia, Islam, Muhammadiyah dan juga Nahdlatul Ulama.

Menggeluti objek penelitian itu sebagai orang luar, saya yakin telah memberi tantangan yang sangat besar baginya. Mungkin karena hal itulah, karya yang dihasilkannya juga sangat besar dan mampu menjadi rujukan bacaan bagi anggota Muhammadiyah maupun yang bukan, Muslim atau bukan, Indonesia atau bukan, sekarang atau yang akan datang.

Jika saya mengibaratkan Muhammadiyah sebagai pohon beringin yang mampu menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar, maka, Nakamura adalah bulan yang dengannya kita bisa melihat keadaan si pohon secara agak terang dalam remang malam.

Mungkin Anda berpikir ini adalah penilaian yang sangat berlebihan, namun saya ingin bertanya selama lebih dari satu abad usia Muhammadiyah, adakah orang di dalam Muhammadiyah sendiri yang telah berhasil menulis sejarah salah satu organisasi terbesar di Indonesia itu dari zaman pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, reformasi, sampai pasca-reformasi dengan melakukan penelitian sosial yang begitu mendalam dan lama layaknya jalaran akar dan usia pohon beringin?

Saya rasa belum ada, sambil menikmati Cokelat Monggo di teras Masjid Gedhe Mataram, mungkin bisa ditambahkan sebuah pertanyaan, mengapa sang antropolog yang menempuh pendidikan formal di Jepang dan Amerika itu terkesan ingin turut serta dalam memajukan Muhammadiyah?

Jumat, 3 November 2017, dua hari setelah membeli buku yang diterjemahkan dari penerbit di Singapura ini, saya harus mencari satu buku lagi untuk seorang anggota Muhammadiyah. Di kantor Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kotagede, dengan berharap bisa mendapat harga yang lebih murah, saya bertanya apakah buku ini juga dijual di sana. Saya agak kecewa, teryata tak ada. Kekecewaan saya sebenarnya lebih kepada, bagaimana mungkin, sebulan setelah buku ini diluncurkan, tidak ada usaha dalam pengadaan buku ini untuk dijual ke masyarakat umum (minimal bisa dimiliki aktivis Muhammadiyah) yang tinggal di wilayah pusat penelitian buku ini? Saya, hanya bisa meninggalkan saran ke seorang staf yang menyambut kedatangan saya dengan hangat.

Memang, buku ini tak akan bisa dinikmati secara penuh oleh buruh perak, bakul di Sargedhe, para turis di Pesareyan, dan mungkin juga para jamaah di masjid yang arah kiblatnya telah bergeser sekali. Tapi, setidaknya buku yang bagian awalnya pernah diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada ini bisa terus dibicarakan di sekolah-sekolah, pengajian-pengajian, dan kegiatan-kegiatan yang setidaknya berhubungan dengan Muhammadiyah. Tanpa itu, kita benar-benar akan kehilangan sejarah yang sangat diperlukan untuk melihat masa kini dan masa depan sebuah gerakan sosial keagamaan.

Di buku yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah ini, begitu banyak pengantar yang sangat membosankan. Isinya banyak yang megulang apa yang dibahas di dalam buku ini. Sehingga bagi pembaca yang agak malas karena mungkin tak punya banyak waktu, membaca pengantar yang berasal dari teman-teman sang penulis, kemungkinan sudah bisa menangkap inti dari buku ini, apalagi jika ditambah membaca bagian Pascawacana-nya.

Masuk ke bagian karya Nakamura, ia benar-benar sangat disiplin dalam menggelontorkan cerita berdasarkan kronologi waktu dan memasukkan kejadian-kejadian secara detil di dalamnya. Sayangnya, cara bercerita di dalam buku ini sangatlah akademik, sehingga saya bisa sedikit mengerti jika buku yang berkualitas tinggi ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Kutipan, catatan kaki, dan statistik terasa sangat memenuhi buku yang bersampul foto pohon beringin dengan dua orang Jawa di depannya pada tahun 1896 yang arsipnya dirawat oleh sebuah lembaga dokumentasi dari Belanda.

Untungnya, Nakamura sering menyajikan kotak-kotak cerita yang isinya lebih ringan, semacam catatan harian yang sering diselipkan di 14 bab yang ada di dalam bukunya. Salah satu kotak yang menjadi favorit saya adalah cerita tentang Nakamura yang malam-malam mengintip pemuda yang bergoyang di dalam sebuah rumah ketika menyetel lagu dari The Beatles. Dari sini saya mendapat gambaran tentang “kenikmatan Barat” yang malu-malu ditampilkan ke permukaan yang dipenuhi syiar keagamaan di Kotagede pada tahun ‘70-an. Saya tidak tahu apakah kesan itu yang membuat Nakamura tertawa, tapi saya pribadi agak geli membacanya. Lumayan, ada sedikit hiburan ketika membaca buku yang agak berat ini.

Foto-foto yang selalu ada di setiap bab tentu saja bisa melayangkan imajinasi pembaca tentang situasi sosial Kotagede sebelum tahun ‘70-an, juga setelahnya, terutama foto lama yang berhubungan dengan aktivitas keagamaan. Ada kesan agama memang bekerja dengan gembira dalam masyarakat pada zaman itu. Untuk foto di tahun 2000-an, ada beberapa yang saya temukan kurang memberi kisah yang dalam dan agak keluar dari kisah utama, misal foto di depan kasir Cokelat Monggo atau foto profil orang, bukan kegiatan kelompok.

Mengenai kesalahan tulisan, kesalahan dalam menjelaskan letak sebuah bangunan, saya rasa merupakan masalah teknis yang tidak mengubah ide dasar buku ini dalam menjelaskan peran penting Muhammadiyah di Kotagede.

Selain itu, kejujuran Nakamura dalam mengkritik pendahulunya dalam melihat Islam secara umum, sekaligus kerendahan hatinya dalam memuat tulisan yang mengkritik pemikirannya, saya rasa sangat pantas untuk diapresiasi.

Saya sendiri merasakan kekurangpuasan ketika Nakamura mengukur kemajuan dakwah Muhammadiyah dengan pertumbuhan masjid dan aktivitas keagamaan setelah tahun 1972 (halaman 293). Bagi saya, jumlah bangunan dan kegiatan, kuranglah tepat dijadikan dasar bagi Muhammadiyah yang sebelumnya pernah dijelaskan sebagai sebuah organisasi reformis dan pembebasan. Namun, Nakamura sendiri mengakui kesulitannya: “sulit untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan dakwah secara persis, karena, pada akhirnya, hasilnya merupakan masalah hati nurani individu.” Jika sulit, mengapa perlu diukur?

Hal lain yang saya temui di dalam buku ini adalah adanya hubungan antara isu Muhammadiyah di masa awal dan kini. Saya pikir, ini bisa membuktikan tidak adanya kemajuan pola pikir secara besar di dalam organisasi yang berdiri sejak tahun 1912 itu. Salah satu contohnya adalah komunisme yang “diperangi” oleh Muhammadiyah pada tahun 1965 tampaknya masih “diwariskan” oleh orang-orang atas di dalamnya di tahun 2017 ini, padahal suasana politik di Indonesia sudah jauh berbeda dengan tahun sebelum 30 September 1965.

Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana pertentangan antara generasi muda Muhammadiyah sejak setelah reformasi yang lebih condong kepada pendekatan budaya daripada generasi tua yang lebih ingin mempertahankan nilai-nilai awal organisasi yang dekat dengan Partai Amanat Nasional ini dalam hal ketidaksetujuan mereka terhadap kesenian tradisonal.
Nakamura berhasil menggambarkan perbedaan pandangan ini melalui penelusurannya terhadap apa yang terjadi di Festival Kotagede sejak tahun 1999.

Sesungguhnya begitu banyak “catatan” tentang Muhammadiyah dalam buku ini, termasuk dimuatnya kutipan penting dari edisi Brosur Lebaran yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah di Kotagede setiap menjelang Idul Fitri yang berisi tulisan-tulisan yang bersifat reflektif.

Jika Nakamura menginginkan Muhammadiyah mengikuti perkembangan zaman, maka saya yakin itu bisa dimulai dengan melihat kembali pemikiran kritis darinya atau dari orang-orang Muhammadiyah sendiri yang selama ratusan tahun ini masih nyangkut di pohon beringin.