Setelah organisasi-organisasi pergerakan yang bermunculan sepanjang seperempat abad awal XX dirundung pertikaian tak berkesudahan sehingga begitu mudah disapu rezim kolonial Hindia Belanda setelah pemberontakan 1926, kesadaran baru akan persatuan nasional mulai tumbuh, terutama di kalangan pemuda.
Tahun 1926 juga, Suluh Indonesia Muda, memuat tulisan Soekarno “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Bagi Soekarno, ketiga paham yang ia sebut dalam judul tersebut adalah “rochnja pergerakan-pergerakan di Asia,” dan juga “rochnja pergerakan-pergerakan di Indonesia,” sehingga ketiganya harus bersatu. Sebab, “perceraiberaian itoe letaknja benih perboedakan.” Soekarno menutup uraiannya dengan seruan keinsyafan bahwa,
“Roch Ra’jat Kita masih penoeh kekoeatan oentoek mendjoendjoeng diri menoedjoe Sinar jang Satoe jang ada di tengah-tengah kegelapan-goempita jang mengelilingi kita, pastilah Persatoean itoe terdjadi dan pastilah Sinar itoe tertjapai djoega.
Sebab, Sinar itoe dekat.”
Dan “Sinar jang Satoe” saat itu sepertinya memang dekat. Sebab hanya selang dua tahun setelah tulisan itu terbit, pada 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda Indonesia yang dihadiri berbagai kalangan pemuda di berbagai belahan Hindia Belanda berlangsung, yang melahirkan “Sumpah Pemuda” yang kita warisi saat ini, dengan Trilogi Persatuan: tanah tumpah darah, bangsa dan bahasa yang satu: Indonesia.
Dua Gerak Sentripetal
Sumpah Pemuda adalah gerak sentripetal pertama dalam sejarah Indonesia modern yang sebab itu menjadi penting untuk ditandai dalam sejarah Indonesia sebagai bantalan dasar bagi cita-cita Indonesia.
Usai Sumpah Pemuda, dunia pergerakan/politik memang dipaksa tiarap. Pada 1930an, banyak pemimpin pergerakan dijebloskan ke penjara, diasingkan atau dihabisi. Namun, kesadaran persatuan itu sudah tumbuh secara kolektif sebagai suatu kesadaran baru, sehingga pertikaian antar pemimpin pergerakan atau kaum terpelajar, tetap masih dalam satu kerangka keindonesiaan itu.
Polemik Kebudayaan yang berlangsung tahun-tahun 1930an, misalnya, yang menjadi perdebatan sudah beranjak pada apakah Indonesia yang terbentuk itu adalah suatu jenis masyarakat baru atau kelanjutan dari sejarah Nusantara sebelumnya. Suatu perdebatan paling menarik yang belum pernah ada tandingannya sepanjang sejarah Indonesia modern.
Polemik Kebudayaan yang berlangsung tahun-tahun 1930an, misalnya, yang menjadi perdebatan sudah beranjak pada apakah Indonesia yang terbentuk itu adalah suatu jenis masyarakat baru atau kelanjutan dari sejarah Nusantara sebelumnya. Suatu perdebatan paling menarik yang belum pernah ada tandingannya sepanjang sejarah Indonesia modern.
Gerak sentripetal selanjutnya adalah disepakatinya Pancasila. Ini suatu “mukjizat” dan suatu anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Sebab, persatuan yang dikukuhkan dalam Sumpah Pemuda, mulai menampakkan hasilnya dengan membentuk suatu panduan dasar bagaimana negara Indonesia yang baru diproklamirkan kemerdekaannya pada 1945 itu.
Dua gerak sentripetal Sumpah Pemuda (1928) dan Pancasila (1945) adalah suluk perjalanan Indonesia yang membuatnya kian mendekat dengan “Sinar jang Satoe”.
Gerak Sentrifugal
Sayangnya, yang berlangsung setelahnya adalah suatu gerak sentrifugal yang terus-menerus dan sulit tertangani. Pertama, ketidaknyambungan antara kehendak rakyat yang meletakkan garis perang terhadap penjajah yang mau kembali datang dengan kehendak pemimpin politik yang sibuk memperebutkan pos-pos kekuasaan, sehingga yang berlangsung adalah suatu hantaman keras pada sesama pribumi yang muncul dalam berbagai kelaskaran tetapi bersikap lunak terhadap penjajah, hingga akhirnya gelombang “revolusi” itu ditutup dengan perundingan KMB yang hasilnya sungguh menyakitkan bagi perjuangan rakyat Indonesia.
Kedua, gerak sentrifugal berlanjut di konstituante (KNIP) hasil pemilu pertama 1955, yang di dalamnya berlangsung perseteruan sengit yang salah satunya kembali mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara. Perseteruan berlarut yang tidak kunjung menemukan kata sepakat itulah yang membuat Presiden Soekarno dengan menggandeng militer yang secara bertahap mulai mengembangkan doktrin “dwi fungsi”, mengambil jalan pintas: pembubaran Konstituante.
Jalan yang ditempuh Soekarno sebenarnya adalah jalan yang sepertinya tidak dia harapkan, tetapi hanyalah suatu langkah darurat yang harus ditempuh, sebab Indonesia sedang menghadapi himpitan geopolitik kiri/kanan dalam perang dingin, sebagaimana dilukiskan dalam orasinya Tahun Vivere Pericoloso yang menuntut suatu persatuan penuh, namun di sisi lain nalar dialektik yang dianutnya sendiri menggerakkannya untuk “menghabisi” elemen-elemen kontra revolusioner, demi menuntaskan “revolusi yang belum selesai”. Ujung dari langkah itu, ternyata adalah Bharatayudha, di mana sesama anak bangsa saling menyembelih dalam tragedi 1965, hingga negara Indonesia jatuh kembali dalam negara semi kolonial berwajah pribumi: Orde Baru.
Sinar yang Menjauh
Orde Baru membawa Indonesia menjadi negara pegawai, mengulang model kolonial Hindia Belanda. Pancasila dijadikan alat kekuasaan untuk membungkam oposisi, dengan label “ekstrim kiri” atau “ekstrim kanan” yang harus dihabisi demi rust en orde dengan perangkat militer ABRI laiknya KNIL yang terus mencurigai kekuatan rakyat. Namun, ketika badai krisis finansial global turut menghantam Indonesia, orde militeristik yang gagah perkasa berhadapan dengan rakyat itu ternyata tak berdaya yang akhirnya harus meminta intervensi pihak luar (IMF), yang berujung pada bubarnya Orde Baru sendiri dan membawa Indonesia dalam proses liberalisasi dan dan ancaman disintegrasi.
Orde Baru membawa Indonesia menjadi negara pegawai, mengulang model kolonial Hindia Belanda. Pancasila dijadikan alat kekuasaan untuk membungkam oposisi, dengan label “ekstrim kiri” atau “ekstrim kanan” yang harus dihabisi demi rust en orde dengan perangkat militer ABRI laiknya KNIL yang terus mencurigai kekuatan rakyat.
Daya rekat kebangsaan yang kian lembek dalam memasuki abad XXI membuat negara Indonesia seperti selalu kepontal-pontal menghadapi aneka kemajuan seperti globalisasi akibat perkembangan sains dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang mampu “melipat bumi”. Sementara negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, atau Tiongkok, menyusul Vietnam, mampu mengarungi abad ini dengan solid dan berdiri tegak penuh martabat, Indonesia masih harus terjerembab dalam keruwetan-keruwetan yang semakin ruwet.
Dalam kajian ilmu jiwa, beban keruwetan yang sangat berat membuat orang kehilangan akal waras, sehingga akan mudah terjerembab dalam ilusi-ilusi sebab kenyataan terlalu pahit jika dihadapi sebagai kenyataan. Ilusi-ilusi itulah yang kini merebak, baik yang imporan atau yang produk lokal, yang menunjukkan bahwa kita sudah dalam kondisi yang mengenaskan.
Untuk itu, upaya luar biasa memang perlu dilakukan. Dalam kebudayaan Islam Jawa, kita mengenal “suluk” yang tahap pertama adalah “babad” dengan mengenali jati diri. Pengenalan jatidiri kebangsaan Nusantara diperlukan dengan “kembali ke akar” sejarah kita, sambil menengok sejarah dunia luar sebagai cermin. Lalu ikhlas atas apa yang sudah terlewati dan menjadikannya bantalan untuk kembali melangkah maju.
Untuk itu, upaya luar biasa memang perlu dilakukan. Dalam kebudayaan Islam Jawa, kita mengenal “suluk” yang tahap pertama adalah “babad” dengan mengenali jati diri. Pengenalan jatidiri kebangsaan Nusantara diperlukan dengan “kembali ke akar” sejarah kita, sambil menengok sejarah dunia luar sebagai cermin. Lalu ikhlas atas apa yang sudah terlewati dan menjadikannya bantalan untuk kembali melangkah maju.
Namun jika kita cukup puas dengan ilusi-ilusi yang terus memberondong kita sehingga kita terus terombang-ambil dalam dendam kesumat tak berkesudahan (seperti terhadap 1965 atau terhadap Soeharto), maka kita tak akan pernah bisa melangkah dengan tegak. Dan, “Sinar jang Satoe” itu semakin jauh.