Sanggar Lentera—sebuah komunitas perupa asal Gresik yang berdiri sejak tahun 1980—menyelenggarakan pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi di Gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Gresik pada 14-16 Mei 2025. Tajuk Lentera Bersinar Lagi mengesankan kehadiran kembali Sanggar Lentera yang lama tidak berpameran sejak terakhir kali menyelenggarakan Pameran Lukisan 3 Kota (Yogyakarta, Gresik, dan Surabaya) pada tahun 1994.
Para anggota Sanggar Lentera yang memamerkan lukisannya, yaitu: Kris Adji AW, M. Syarifuddin, Achmad Feri, M. Mas’udi Khoiri, Yayak Achmad Hidayat, Achmad Safi’i, Didik Hadi, Erfi Sulistyanto, Achmad Husaeni, dan Riyanto.
Meski tiga puluh satu tahun (dari tahun 1994 hingga tahun 2025) tidak menyelenggarakan pameran, para anggota Sanggar Lentera tetap eksis bekarya atas nama sendiri atau bergabung dengan komunitas lain. Akhirnya, tahun 2025, para anggota—setelah “bertualang”—kembali ke Sanggar Lentera lewat pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi.
Begitulah, aku membaca perihal para anggota Sanggar Lentera dalam tulisan Kris Adji AW dalam katalog Lentera Bersinar Lagi. Begini nukilan tulisannya: “Jika Sanggar Lentera pada tahun 2025 ini kembali mewarnai dunia seni rupa di Indonesia, sesungguhnya ini hanya atas nama komunitas saja. Toh selama ini para pribadinya tak pernah berhenti bekarya dan berpameran di pelbagai kota Indonesia. Bahkan bermukim di kota-kota luar Gresik”.

Sumber: Dok. Aji (2025)
Pilihan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik bikin aku merasa ganjil. Maksud rasa ganjil bukan hal negatif. Tapi, rasa ganjil tersebab kewajaranku pada tempat pameran lukisan—khususnya di Kabupaten Gresik—yang terbiasa diselenggarakan di kafe, mall, gedung serba guna milik perusahaan, atau gedung serba guna milik pemerintah daerah. Rasa ganjil memperluas pengetahuanku, bahwa penyelenggaraan pameran lukisan tidak membatasi tempat di mana saja, termasuk gedung DPRD Kabupaten Gresik sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi.
Lewat tulisan Muhammad Syahrul Munir (Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dalam katalog Lentera Bersinar Lagi, aku mengetahui alasan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik. Begini nukilan tulisannya: “Gedung DPRD sebagai rumah rakyat sudah sepatutnya menjadi ruang ekspresi dan dialog bagi semua elemen masyarakat, termasuk para seniman. Inilah bentuk keterbukaan kami dalam mendukung pengembangan kesenian dan kebudayaan lokal secara inklusif dan berkelanjutan. Lebih dari itu, kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya komunitas seni dan budaya, untuk terus mengawal dan memberi masukan terhadap kebijakan daerah, terutama dalam implementasi Peraturan Daerah no. 9 tahun 2019 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah….”
Pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak menampilkan tema khusus. Aku menikmati lukisan yang menampilkan interaksi antar manusia. Atau, aku menikmati lukisan yang menampilkan permainan unsur rupa (titik, garis, bidang, hingga warna) yang menghasilkan emosi. Atau, aku menikmati kecenderungan figur hewan (ayam jago, merpati, bebek, ikan tawar, ikan laut, penyu, kuda, dan naga) pada lukisan yang dipamerkan, seperti: Kris Adji AW (Jago 1 dan Jago 2), M. Syarifuddin (Harmoni Air dan Ksatria dan 9 Naga), Achmad Safi’I (Keluarga Kecil Bahagia dan Berangkat Lelang), hingga Erfi Sulistyanto (Momong dan Dunia Bawah Air).
Pengalaman Berkunjung
Gedung DPRD Kabupaten Gresik (selanjutnya aku tulis: rumah rakyat) adalah bangunan berarsitektur kolonial Belanda. Cirinya: beberapa pilar lingkaran di serambi, dinding bangunan yang tebal, serta desain yang simetri. Rumah rakyat tidak terlalu antik, justru megah. Kemegahannya terlihat pada penggunaan panel kayu dan cermin untuk menutup dinding, serta penggunaan bahan marmer untuk lantai. Lain itu, pada serambi dan lorong di rumah rakyat, terpajang potret-potret yang menghiasi dinding. Potret-potret itu berfungsi menambah suasana, serta mengingat sejarah rumah rakyat.
Di rumah rakyat, pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi menggunakan serambi dan lorong. Sebagai tempat berpameran, para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu dari dua ruang tersebut (serambi dan lorong). Ketidaksterilan dari potret-potret itu berakibat dua ruang tersebut mengalami polusi visual. Maksud polusi visual adalah wilayah yang tercemar oleh benda yang tidak diinginkan dan mengganggu keindahan selama berlangsungnya pameran. Secara tidak sadar, selama berlangsungnya pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, potret-potret itu menjadi polusi visual.
Barangkali para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu karena menggunakan alat penyanggah. Memang alat penyanggah menjadi solusi terbaik untuk mengganti pemajangan lukisan-lukisan pada dinding di dua ruang tersebut. Tapi, polusi visual menimbulkan masalah. Sebab, potret-potret itu—mau tidak mau—ikut terlibat sebagai bagian pameran. Jadi, di dua ruang tersebut, potret-potret itu sama nilainya dengan lukisan-lukisan itu. Bagi pengunjung yang sedang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, keberadaan potret-potret itu dapat mengecohkan pandangan.
Aku turut terpapar polusi visual pada pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi. Paparan polusi visual bikin mataku lebih dulu mengarah ke potret-potret itu daripada lukisan-lukisan itu. Meski begitu, berkat terpapar polusi visual, pada sebuah momen di serambi, aku tidak sengaja mendapatkan pengalaman baru, yaitu: dua potret yang ada dan dua lukisan yang dipajang saling berikatan. Aku tersadar tidak perlu membedakan potret-potret itu dengan lukisan-lukisan itu. Aku harus menganggap polusi visual tidak ada di dua ruang tersebut. Biarkan segala visual saling menyempal dan menyempil di mataku.
Serambi
Di serambi bagian kanan atas dinding, aku memandang potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Dua potret tersebut merupakan karya Syafiq Noer, juga termasuk potret-potret yang tidak disterilkan para anggota Sanggar Lentera. Pada potret Giri Kedaton Gresik, aku mengenal situs bersejarah yang berkaitan dengan kerajaan Islam dan pesantren di Gresik. Aku pernah beberapa kali ke sana (Giri Kedaton) bersama kawan. Sedangkan, pada potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, aku mengetahui rekaman tempat di Kelurahan Lumpur. Aku mengetahui karena pernah tinggal di Kelurahan Lumpur pada masa kecil.
Di depan bawah potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, berdiri dua alat penyanggah yang masing-masingnya memajang lukisan Ksatria dan 9 Naga karya Muhammad Syarifuddin dan lukisan Keluarga Kecil Bahagia karya Achmad Safi’i. Aku memandang dua lukisan tersebut. Lalu, aku tidak sengaja membagi pandangan terhadap dua lukisan dan dua potret tersebut. Lama-kelamaan, aku merasa dua potret dan dua lukisan tersebut saling berikatan. Benang merah ikatan itu hanyalah citra yang aku rasakan, seperti semangat perjuangan (potret Giri Kedaton Gresik terikat lukisan Ksatria dan 9 Naga) serta ingatan asal mula (potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik terikat lukisan Keluarga Kecil Bahagia).

Pada lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku lebih memperhatikan figur laki-laki berpakaian putih dan hijau, dengan tangan kanan mengangkat keris dan tangan kiri memegang tali kekang, sedang menunggangi kuda putih. Aku meyakini bahwa figur laki-laki yang berpakaian putih dan hijau adalah ksatria. Lalu, kuda yang mengangkat sepasang kaki depannya—meminjam simbol patung kuda—menandakan ksatria telah gugur di medan perang. Aku bertanya sendiri: “Medan perang macam apa yang membuat ksatria gugur?”
Kalau menengok di bawah kuda adalah kepulauan Indonesia, aku mengimajinasikan medan perang berada di daerah Giri (Gresik). Kemunculan imajinasiku perihal daerah Giri akibat memandang potret Giri Kedaton Gresik. Juga, kecocokan imajinasiku terhadap ciri berpakaian ksatria yang begitu mirip dengan model seorang tokoh di poster Walisongo. Setelah memandang lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku turut mengimajinasikan apa yang tampak pada potret Giri Kedaton Gresik sebagai situs medan perang.
Lalu, siapa musuhnya? Bisa sembilan naga—atau aku menganggap naga berkepala sembilan—yang mengitari ksatria. Aku beranggapan naga berkepala sembilan karena semua figur naga pada lukisan Ksatria dan 9 Naga tidak utuh memperlihatkan badannya. Jadi, aku menunjuk Hydra (naga berkepala banyak dalam mitologi Yunani) daripada Shenlong (dewa naga dalam mitologi Cina). Apalagi Hydra sangat destruktif karena memiliki racun yang mematikan. Sedangkan Shenlong berkemampuan mengontrol alam.
Meski masing-masing kepala naga terlihat garang dan hidup (tidak sekarat), aku menangkap suasana kemenangan. Tangkapan itu merupakan hasil tafsir bebas terhadap gambaran sinar matahari—membuat awan di sekelilingnya berkilauan—di bagian atas lukisan Ksatria dan 9 Naga. Padahal ksatria telah gugur di medan perang. Tersisa kepala-kepala Hydra yang mengeliling kepulauan Indonesia. Atau, aku menduga, Hydra masih harus hidup agar selalu memunculkan ksatria-ksatria baru meski gugur melulu.

Pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku memperhatikan figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia. Pertama, dunia laut dengan makhluk ikan, penyu, dan koral. Kedua, dunia darat dengan makhluk tiga manusia (sepasang suami dan istri yang menggendong anak). Ketiga, dunia langit dengan makhluk tiga merpati. Entah kenapa figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia selaras dengan penampakan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, yaitu: langit, laut, dan sepasang nelayan.
Citra yang aku tangkap pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia sangat religius, sangat tegak lurus di jalan Tuhan. Sebab, suami dan anak mengenakan peci dan istri mengenakan jilbab. Pakaian mereka (suami, ibu, dan anak) sangat sopan. Kemudian aku tersadar bahwa kaki anak berbentuk ekor ikan. Akhirnya, aku menduga anak yang digendong ibu bukanlah anak sebenarnya. Tapi, anak dalam pengertian harapan bagi suami dan istri. Harapan itu diperkuat oleh tiga merpati di atas mereka (suami dan istri) yang bisa menyimbolkan kesetiaan dan cinta.
Jadi, tafsir bebasku terhadap lukisan Keluarga Kecil Bahagia adalah kesabaran suami dan istri untuk mendapatkan anak. Aku menganggap suami dan istri begitu sabar, tanpa pernah goyah dan tetap enggan bersedih. Padahal suami dan istri berada di dasar laut. Atau, jangan-jangan, suami dan istri telah aman karena tirai misteri terbuka di kedalaman laut. Sebab itu, suami dan istri dikelilingi ikan, penyu, dan koral. Apalagi makhluk laut itu (ikan, penyu, dan koral) mengilaukan warnanya masing-masing.
Pada bagian atas lukisan Keluarga Kecil Bahagia, tampak pantulan cahaya di permukaan air. Aku menganggap pantulan cahaya di permukaan air adalah simbol perlindungan Tuhan. Simbol itu makin membulat setelah aku menelisik detail pandangan suami ke arah wajah ibu, lalu pandangan ibu mengarah ke arah wajah anak. Sedangkan anak membalas pandangan ke arah wajah ibu. Detail tersebut menyiratkan hubungan kasih sayang. Dan, aku menyukai mereka yang sama-sama tersenyum.

Setelah lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku kembali memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Tiba-tiba aku mengingat masa kecil di dekat tempat yang direkam. Waktu itu, siang di tepi pantai. Aku, sepupu, dan paman sama-sama duduk menghadap laut. Beberapa menit kemudian, paman mengeluarkan gunting kuku, lalu satu per satu memotong kuku jariku dan kuku jari sepupu. Pada bakda asar, kami (aku, sepupu, dan paman) sudah berada di teras rumah emak (ibunya ibuku).
Lalu, aku kembali lagi ke lukisan Keluarga Kecil Bahagia setelah memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Memang ingatan masa kecilku sangat berbeda dengan apa yang tampak pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia. Sebab, ingatan masa kecilku tetaplah sebatas masa lalu, sedangkan ayah dan ibu (figur dalam lukisan Keluarga Kecil Bahagia) mengharapkan anak dengan penuh kebahagiaan. Meski begitu, muncul sedikit kesamaannya, yaitu: kehangatan yang memendar di keluarga.
Lorong
Di lorong, potret-potret yang tidak disterilkan oleh para anggota Sanggar Lentera adalah potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik dari pelbagai periode. Potret-potret itu (potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dipajang di dinding bagian atas (warna dasar putih). Barangkali, potret-potret itu memang sengaja dipajang di lorong. Sebab, lorong menghubungkan ke ruang Ketua DPRD Kabupaten Gresik, beberapa Ruang Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gresik, resepsionis, hingga ruang rapat.
Masing-masing alat penyanggah telah memajang lukisan-lukisan karya para anggota Sanggar Lentera di depan dinding lorong. Ketika masuk di lorong, aku menganggap pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak hanya lukisan-lukisan itu, juga termasuk potret-potret itu. Jadi, secara tidak langsung, aku menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi dengan dua cara pandang: pertama, pandangan sejajar ke arah lukisan-lukisan itu; kedua, pandangan mendongak ke potret-potret itu.

Potret-potret itu memiliki nama masing-masing. Sayang, ukuran tulisan yang kecil dan pemajangan potret-potret itu terlalu tinggi membuat pandanganku kesusahan untuk membaca namanya. Jadi, aku lebih fokus memandang setiap wajah pada potret-potret itu. Aku sempat berpikir di ruang lorong, betapa banyak jumlah potret itu, yang bisa sebagai penanda betapa panjang jalan tugas DPRD Kabupaten Gresik. Apalagi tugas DPRD Kabupaten Gresik begitu penting, yaitu: legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Aku merasa aneh, setelah memandang potret-potret itu, lalu berpindah pandangan ke beberapa lukisan yang menarasikan profesi. Keanehan akibat tercipta jarak ketika aku melakukan dua cara pandang terhadap lukisan-lukisan itu dan potret-potret itu. Jadi, potret-potret itu seolah tinggal di langit, sedangkan lukisan-lukisan itu seolah tinggal di bumi. Aku mengimajinasikan bahwa potret-potret itu menerima suara yang diterbangkan dari bumi. Tapi, aku tidak yakin apakah potret-potret itu mengenal siapa pemilik wajah yang menerbangkan suara.
Karena langit terlalu tinggi, potret-potret itu harus menengok ke bawah bumi. Kalau sudah menengok, potret-potret itu dapat mengenal dua perempuan sedang bekerja. Perempuan pertama, duduk menggarap songkok. Perempuan kedua, berkeliling membopong bakul rujak di kepalanya. Dan, dua perempuan itu diabadikan di lukisan Kampung Songkok Kemuteran karya Didik S. Hadi (perempuan pertama) dan lukisan Bok Tingen (Jual Rujak Keliling) karya Achmad Husaeni (perempuan kedua).
Berikutnya, dari bumi, potret-potret itu dapat mengetahui keberkahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng yang menggerakkan orang-orang untuk bertambak. Hasil tambak itu pun menjadi perayaan orang-orang untuk melelang ikan bandeng terbesar setiap akhir bulan Ramadan. Pada hari raya Idul Fitri, orang-orang memakan olahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng diabadikan di lukisan Teko Buri (Usai Kerja Mirik Tambak) karya Achmad Husaeni dan lukisan Berangkat Lelang karya Achmad Safi’i.
Imajinasiku sebatas imajinasi. Sehingga potret-potret itu yang ditempatkan di atas dinding dan lukisan-lukisan itu yang ditempatkan di bawah bukanlah persoalan keberjarakan antara lembaga pemerintah (tidak hanya DPRD Kabupaten Gresik) dengan masyarakat. Toh, lembaga pemerintah memiliki peran penting dalam menyelenggarakan pemerintahan, menjalankan kebijakan publik, serta mencapai tujuan negara. Juga, lewat masyarakat pula, terlahir para pemimpin untuk mengisi lembaga pemerintah.

Terakhir, aku memandang lukisan Damar Kurung 4.0 karya Yayak Achmad Hidayat. Aku menangkap figur orang-orang: melambaikan tangan, menyapa, duduk, naik vespa, naik skuter, berkumpul, hingga berbicara. Aku merasakan keguyuban. Seperti keguyuban para anggota Sanggar Lentera setelah lama tidak pameran bersama, keguyuban para pengunjung yang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, serta keguyuban rumah rakyat sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi. (*)