Menu

Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian II)

Melacak Diskursus Islam Jawa

Steenbrink (1993) menguji berbagai studi kolonial terhadap Islam Jawa. Steenbrink menyatakan bahwa kolonialisme cenderung memandang Islam secara negatif, suatu kesimpulan yang khas ditemukan dalam tradisi Pascakolonial saat itu. Tulisan ini—meskipun memiliki persamaan historis dengan penelitian Steenbrink—berbeda dengan Steenbrink karena penelitiannya tidak berusaha menjelaskan bagaimana Islam Jawa itu dikonstruksi dalam kerangka kolonial. Steenbrink hanya berhenti pada kesimpulan bahwa Islam Jawa (atau Islam Indonesia) merupakan sesuatu yang given, yang terjadi sedemikian adanya dalam kultur masyarakat Jawa, namun ia tidak lebih jauh mempertanyakan, baik secara epistemologis maupun ontologis, mengapa entitas yang given itu terjadi.

Laffan (2011) selangkah lebih maju dari Steenbrink karena ia tidak hanya menegaskan bahwa Islam Jawa merupakan wacana orientalis, melainkan juga karena ia melakukan kritik epistemologis terhadap gagasan para reformis Islam yang berusaha mengembalikan Islam Jawa ke dalam epistemologi sufisme dan thariqah, suatu kritik yang sebenarnya justru mengingatkan kembali pada representasi para orientalis atas Islam Jawa. Sayangnya, meskipun kritik Laffan memiliki resonansi teoretis dengan apa yang dilakukan oleh penulis, ia masih terjebak untuk mendefinisikan Islam Jawa sebagai Islam sinkretis, suatu jalan keluar yang justru membuatnya kembali terjebak pada diskursus kolonial seperti yang telah penulis jelaskan sejak awal.

Talal Asad (1993), yang mendasarkan analisisnya pada paradigma antropologi kontemporer, melancarkan kritik terhadap para sarjana Barat, seperti Geertz, yang cenderung melakukan universalisasi Islam sebagaimana yang dilakukan oleh para orientalis Barat yang mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang sui generis. Padahal, menurut Asad, agama merupakan produk dari sistem sosial dan politik yang partikular dan khas. Karena itulah, Asad kemudian mengajukan proposisi tentang pentingnya melakukan kajian agama ke dalam partikularitasnya, keunikannya, dan keragamannya, alih-alih mencoba melakukan generalisasi dan menawarkan satu definisi universal tentangnya. Sayangnya, Asad lagi-lagi terjebak ke dalam esensialisasi, karena proposisi tentang partikularitas Islam Jawa, dan usahanya untuk mempertahankan proposisi tersebut sebagai satu-satunya diskursus yang mungkin untuk menolak universalitas, merupakan esensialisasi dalam bentuknya yang lain.

Apa yang dilakukan oleh Asad ini juga direproduksi oleh Joem van Boogart (2013), yang mencoba mengkritik representasi orientalis Barat atas Jawa Islam dengan menawarkan konsep agama sebagai entitas eksperiental. Ia memang menolak universalisasi agama dan menganjurkan heterogenitas elemen agama; tetapi konsepsinya tentang agama sebagai entitas eksperiental berada dalam satu bangunan epistemologis yang sama dengan Asad. Meskipun Boogart mengakui dalam risetnya tersebut bahwa dirinya tidaklah meniru analisis Asad, ia sebenarnya juga menempuh jalan yang sama dengan kendaraan yang tidak jauh berbeda, yakni penolakan terhadap universalitas. Penolakan Boogart terhadap universalitas berpotensi membuatnya terjebak pada esensialisasi dalam bentuknya yang lain. Kerentanan untuk terjebak dalam esensialisasi ini semakin tampak ketika Boogard menyebut kebudayaan Barat sebagai sepenuhnya Kristen dan—dengan demikian mengajukan suatu oposisi biner—kebudayaan Timur yang bersifat ritual dan praksis.

Kerja historiografis atas Islam Jawa sebenarnya sudah banyak dilakukan; setidaknya, kajian tersebut sudah dimulai sejak J.L.A. Brandes menerbitkan Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majaphit (1897/1920) yang dengan menggunakan Pararton edisi 1897, menyebut bahwa inilah dekrit resmi dan versi otoritatif tentang sejarah Islam Jawa dalam periode tertentu, yakni setelah tibanya Belanda ketika Mataram masih menjadi satu-satunya kekuasaan politik yang dominan di Jawa.

Tahun 1913, Hoesein Djajadiningrat melalui Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913) juga berasumsi bahwa sejarah Islam Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak jatuhnya Kerajaan Plered pada 1677, yang berarti bahwa Sejarah Banten bisa menjadi rujukan bagi siapapun yang berusaha menyusun Historiografi atas Islam Jawa. Di kesempatan lain, De Graaf yang menyusun serial monografis De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga (1954), De Regering van Sultan Agung (1958), dan De Regering van Sunan Mangkurat I Tegalwangi  (1961) untuk melengkapi kisah yang hilang dari Babad Tanah Jawi versi Major Babad juga menjelaskan sejarah Islam Jawa bahkan bisa dilacak dari status pengarang Babad Tanah Jawi yang konon merupakan wali Muslim pertama di Kerajaan Sultan Agung: Sunan Kalijaga.

Sementara itu, C.C. Berg yang menulis Twee nieuwe publicaties betreffende de geschiedenis en de geschiedschrijving van Mataram (1955) dan Babad en Babadstudie (1957) meyakini bahwa kedatangan Islam dan kejatuhan Majapahit terjadi secara berkesinambungan (tidak terputus), karena babad-babad yang ditulis tentang Mataram ternyata memiliki prototipe yang mirip dengan babad-babad yang ditulis tentang kerajaan-kerasaan sebelumnya, seperti Majapahit dan Singasari (Berg, 1964: 102; Berg, 1955: 132). Meski demikian, menurut J.J. Ras dalam The Genesis of the Babad Tanah Jawi: Origin and Function of the Javanese Court Chronicle (1987), sejarah Islam Jawa sebaiknya dilihat dari testimoni internal dari teks Jawa itu sendiri (dalam hal ini Babad Tanah Jawi) ditambah dengan data yang diperoleh dari kondisi keraton di mana teks itu lahir. Kajian historiografis atas Islam Jawa oleh para sarjana Barat itu terus direproduksi dan diwarisi oleh para sarjana kita di Indonesia, misalnya Purwadi (2005), Pranowo (2009), dan Sunyoto (1990) yang meskipun menjadikan sejarah Islam Jawa sebagai topik utama, masih belum ditemukan usaha analitisnya dalam kerangka pascakolonialitas.

Akan tetapi, dari sekian usaha pelacakan Genealogi konsep Islam Jawa dalam kerangka historiografis, terdapat dua riset yang bisa dipertimbangkan karena relevan dengan apa yang sedang penulis lakukan saat ini. Di antaranya adalah kajian Ann Kumar dalam Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters (1997) yang, dengan menggunakan catatan pribadi (diary) Mangkunegaran, menegaskan bahwa tradisi dan praktik Islam sudah lama dilakukan di dalam tembok istana. Dikatakan bahwa Mangkunegaran sangat dekat dengan aktivitas Islam dengan membaca Koran, Kitab Turutan dan Tasbeh; bahkan ia termasuk salah satu Muslim yang taat menjalankan ibadat dan jumungahan (shalat Jum’at). Kumar mengkritik historiografi Jawa yang umumnya cenderung menggunakan literatur-literatur sarjana Barat dan arsip-arsip VOC sebagai sumber primer, sementara teks literatur dari Jawa itu sendiri seringkali dijadikan ilustrasi semata. Sayangnya, Kumar tidak melengkapi analisis historiografisnya dengan melacak perkembangan epistemologis dari konsep-konsep yang dibangun oleh para historiografer Barat tentang Jawa, pun ia juga tidak menempatkan kajian sejarahwan Barat atau Eropa terhadap naskah-naskah Jawa dalam kerangka pascakolonial. Meski demikian, tradisi historiografi yang dijalankan oleh Kumar, sejauh pengamatan penulis, cukup berhasil memberi kontribusi bagaimana sejarah dibangun pertama-tama melalui pendekatan langsung terhadap sumber-sumber arkaik seperti diari Mangkunegaran.

Hal yang sama dilakukan oleh Nancy K. Florida dalam Writing the Past: Inscribing the Future (1995) yang menawarkan suatu perspektif babad alternatif tentang sejarah Jawa sebagai nubuat (prophecy). Melalui kerja keras penerjemahan Babad Jaka Tingkir, sebuah teks sastra Jawa yang ditulis tahun 1829, Florida mempertanyakan seluruh historiografi Jawa yang dihasilkan oleh para sejarahwan sebagai produk politik dan personal saat itu. Salah satu yang ia tawarkan adalah bagaimana perdebatan atas arah kiblat dalam mihrab Masjid Demak menjadi salah satu bukti bahwa Muslim Jawa ternyata memiliki cara tersendiri untuk merepresentasikan diri mereka sendiri, bahkan dalam soal ibadah sekalipun. Kerja analisis Florida yang luar biasa ini memberikan jalan tersendiri bagi penulis dalam menjelaskan bagaimana Islam Jawa saat itu merupakan produk dari kesejarnaan Barat. Analisis Florida membantu penulis melihat betapa konsep Islam Jawa saat itu pada hakikatnya bukanlah murni dari Jawa, melainkan istilah yang diciptakan oleh sarjana Barat untuk mendefinisikan Islam dan Jawa, sekaligus menjelaskan posisi mereka sebagai outsider di Jawa. Kerja keras Florida yang telah dicurahkan lebih dari 1 dekade menyeleksi dan menerjemahkan dokumen-dokumen sejarah di Keraton Surakarta tersebut memperlihatkan tidak ada definisi yang tunggal dan universal tentang Islam Jawa sebagaimana yang dilakukan oleh para sarjana Barat lain.

Ilmuwan Indonesia yang tidak hanya mengkaji diskursus kolonial Islam Jawa, melainkan juga menawarkan kajian tandingan adalah Ahmad Baso yang mulai dikenal dengan bukunya berjudul Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (2005). Meskipun tidak disertai dengan perangkat metodologis yang jelas, buku ini setidaknya menempuh cara kerja historiografis untuk melacak sengkarut relasi antara tiga entitas tersebut seraya mengkritik para orientalis Islam, seperti Hurgronje, yang dianggapnya sebagai “polisi kolonial.” Selain kritiknya terhadap Hurgronje dan para orientalis lain, yang juga dilakukan oleh Baso adalah strateginya untuk tetap otodidak mempelajari naskah-naskah Jawa kuno dalam mengkaji apa yang belakangan ia sebut sebagai “Islam Nusantara” itu dengan menulis karya-karya lain yang sejenis, seperti Pesantren Studies (2015-2016), Islam Nusantara(2015), Postradisionalisme Islam (2016), dan sebagainya. Meskipun konsep “Islam Nusantara” nya berpotensi terjebak pada universalisasi atau esensialisasi dalam bentuknya yang lain atas Islam Jawa dan/atau Islam lokal itu, kajian Baso ini jelas memberi bahan tersendiri bagi penulis untuk melihat bagaimana cara kerja historiografisnya dalam mengkritik para sarjana Barat, termasuk juga bagaimana kajian Baso pun tak bisa lepas dari cara berpikir Barat itu sendiri.

Kajian Islam Jawa sebagai diskursus kolonial juga terus digalakkan melalui berbagai lingkar studi dan paguyuban. Tahun 2017, misalnya, Fakultas Aqidah dan Filsafat IAIN Tulungagung meluncurkan laboratorium Penelitian Islam Jawa (Institute for Javanese Islam Research), yang agendanya antara lain menyelenggarakan diskusi, short course, dan riset serta publikasi tentang Islam Jawa. Tahun 2017, laboratorium ini juga menyelenggarakan dua putaran Orasi Ilmiah dan Kebudayaan yang diisi oleh Ahmad Najib Burhani (Peneliti Senior LIPI) tentang “Menimbang Ulang Narasi-Narasi Besar Islam Jawa dalam Memandang Islam, Jawa, dan Muhammadiyah” dan Masdar Hilmy (Rektor UIN Surabaya) tentang “Sinkretisme/Akulturasi Islam Jawa: Narasi Islam Jawa sebagai Produk Kolonialisme dan Orientalism”. Selain IAIN Tulungagung, Langgar.co bekerjasama dengan Galeri Seni Sarang Building dan Saidian Institute Yogyakarta juga menggelar forum bertajuk “Suluk Kebudayaan Indonesia” putaran pertama dan kedua sepanjang April dan Agustus 2019. Forum yang menghadirkan para pemerhati Islam dan Jawa, seperti Hasan Basri (Lesbumi), Irfan Afifi (Langgar.co), Mahfud Ikhwan (Sastrawan), dan Hairus Salim (Budayawan) diselenggarakan untuk membicarakan—sebagaimana namanya—berbagai hal ihwal tentang kebudayaan Indonesia, namun lebih spesifik tentang Islam Jawa. Putaran pertama forum itu, antara lain, mengangkat masalah “ngelmu” di Jawa dan menjadi Jawa tanpa nonton wayang. Putaran kedua lebih spesifik, karena selain penulis terlibat juga dalam mendiskusikan historiografi Islam Jawa, juga terdapat tema lain yang disampaikan oleh Katrin Bandel, Indonesianis asal Jerman, tentang Menjadi Muslim, Menjadi Jawa, termasuk di dalamnya Ahmad Baso, yang karya-karyanya sebagian akan penulis bahas dalam tulisan ini, membahas soal Walisanga dalam teks Makasar Bugis, serta Irfan Afifi yang menulis “Saya, Jawa, dan Islam.”

Apa yang dilakukan oleh IAIN Tulungagung dan Langgar.co merupakan sebagian bukti tentang mulai munculnya suatu kesadaran kolektif akan perubahan paradigma (paradigm shift) dari—apa yang dikenal sebagai—kolonial-sentris menuju “Indonesia-sentris” atau “Jawa-sentris.”

Namun, pertanyaan yang muncul pun juga sama: Apakah usaha-usaha ini benar-benar mampu menyajikan suatu kritik akademis yang memadai terhadap diskursus kolonial Islam Jawa yang sudah semakin membumi itu? Atau justru forum-forum itu, sebagaimana yang juga dipertanyakan pada karya-karya Ahmad Baso, akan terjebak pada esensialisasi dan universalisasi dalam bentuknya yang lain?

Baca: Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian I) Baca juga: Terikat Jawa dan Takjub Eropa

Javanologi: Islam Jawa dalam Genealogi “Kolonial”

Menempatkan Islam Jawa sebagai objek riset merupakan tantangan tersendiri, bukan hanya karena ia telah diteliti oleh ratusan riset dari berbagai disiplin ilmu dan pendekatan, melainkan juga karena konsep tersebut telah sedemikian masif diposisikan sebagai sesuatu yang given dan taken for granted dalam kesadaran kolektif masyarakat Jawa, termasuk oleh kalangan terpelajar Indonesia. Menempatkannya dalam kerangka kritik berarti melawan suatu arus besar yang telah begitu lama menjadikan Islam Jawa sebagai narasi kunci dalam dunia kesarjanaan kita selama ini. Islam Jawa menarik, bukan hanya karena ia sampai detik ini terus dibicarakan (sebagai objek) dalam berbagai kajian dan forum akademis, melainkan juga karena Islam Jawa turut membentuk (sebagai subjek) berbagai disiplin keilmuan lain, seperti Javanese Studies atau Javanology.

Sejauh pengamatan penulis, belum ada riset komprehensif yang menunjukkan kapan persisnya Javanese Studies muncul sebagai satu kajian akademik.

Dalam sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh Ricklefs (1972) disebutkan bahwa setelah Perang Jawa (1825-1830), ada kebutuhan bagi orang Eropa untuk mempelajari bahasa Jawa, sehingga di Surakarta dibentuklah Java Institute (1832-1843) yang dibangun oleh Pakubuwana VII atas inisiasi C.F. Winter, Sr (1799-1859), seorang sarjana Barat yang lahir dan meninggal di Jawa Tengah, dan penerjemah naskah-naskah Jawa termasuk naskah Babad Tanah Jawi versi tembang macapat. Jika dirunut lagi ke belakang, sekitar 1840an di Belanda, sudah ada Javanese Studies yang dididirikan oleh Prof. Taco Roorda (1801-1874), seorang sarjana Eropa yang, seperti Arthur Waley, tidak pernah berkunjung ke area (Jawa) yang ia teliti.

Sejak saat itu, kajian terhadap naskah-naskah Jawa terus dilakukan. Berbagai lembaga, instansi, dan pranata juga dibangun untuk mengkaji Jawa. Untuk menyebut beberapa saja, di Universitas Sebelas Maret Surakarta terdapat lembaga kajian bernama Insitute Javanologi, di Universitas Indonesia juga dibangun Program Studi Jawa atau Javanese Studies. Ini belum termasuk lembaga-lembaga atau prodi-prodi lain serta forum-forum akademik rutinan yang diselenggarakan dengan tagline “Studi Jawa”, “Islam Jawa”, “Sinkretisme Jawa”, dan seterusnya. Hal ini menjelaskan apa yang disebutkan di awal bahwa Islam Jawa kini tak lagi menjadi objek kajian seperti yang terjadi pada abad ke-15 hingga ke-16, sejak akhir abad ke-17 ia justru mampu membentuk dan mengafirmasi diri dalam pranata-pranata akademis di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Akan tetapi, satu hal yang pasti, menurut Boogart (2015), Javanese Studies merupakan produk merkantilis dan politis sarjana Barat yang semakin hari semakin kuat mengakar dalam dunia intelektual kita saat ini. Begitu dominanya Javanese Studies hingga ia mampu menciptakan suatu disiplin akademik tersendiri yang dengannya mereka mengkaji dan memahami alam pikir kebudayaan non-Barat. Disiplin ini utamanya muncul dalam kajian sejarah (filologi), antropologi (etnografi), dan kajian agama (lokalitas). Meskipun saling berjalin kelindan, ketiganya berbeda dalam sumber data bahwa yang pertama menggunakan teks sebagai pintu masuk, yang kedua menggunakan pengalaman emic, sementara yang terakhir menggunakan—namun tidak selalu—ritus dan laku spiritual.

Kajian-kajian ini, sebagai suatu disiplin pengetahuan, memang berfungsi ‘mendisiplinkan’ pengetahuan tentang Jawa, dan segala hal yang berkaitan dengannya. Pendisiplinan ini, dengan berbagai implikasi praksisnya, merupakan strategi kolonial untuk mengawasi Jawa dari jauh hingga ke wilayah paling intim, yakni pengetahuan dan kesadaran kolektif.

Dalam studi pascakolonial, baik dalam arti politis maupun akademisnya, kajian atas kebudayaan Timur umumnya dimasukkan dalam kerangka Studi Wilayah (Area Studies). Kajian-kajian tersebut, yang dipelopori utamanya oleh para sarjana atropologi, studi agama, dan filologi, memang digarap dalam perspektif interdisipliner, namun wilayah yang mereka imajinasikan tetaplah sama. Dalam hal ini, kita mengenal Latin American Studies, Middle Eastern Studies, Pacific Studies, juga European Studies,termasuk juga di dalamnya adalah Southeast Asian Studies yang memiliki subdisiplin ilmu seperti Indonesian Studies dan pada akhirnya Javanese Studies (Javanologi). Dengan demikian, ketika muncul istilah Studi Jawa dalam riset ini, ia berarti merujuk pada—apa yang dikatakan Edward W. Said sebagai—suatu ‘geografi imajiner’ (imaginative geography) atas sebuah wilayah bernama Jawa di mana kebudayaan utamanya adalah Jawa.

Baca: Islam Jawa: Perlawanan Petani dan Ketersingkirannya

Eropa/Neerlando-sentris: Islam Jawa dalam Historiografi “Kolonial”

Tidak cukup hanya dengan melacak narasi-narasi kunci Islam Jawa. Menurut Nurdholt (2004), dibutuhkan pula usaha untuk membongkar sejarah genealogi yang mengkonstruksi dan merekonstruksi teks-teks itu. Karena itulah, bagi penulis, asal-muasal epistemologis Islam Jawa perlu didukung oleh kajian atas munculnya Islam Jawa menurut para sejarahwan. Jika genealogi berfokus pada asal-muasal dan kritik terhadap jejaring intelektual Islam Jawa, maka historiografi berfokus pada bagaimana Islam Jawa itu dideskripsikan dalam teks-teks sejarah. Islam Jawa, bagaimanapun, merupakan hasil dari relasi yang kompleks antara dua proses tersebut.

Ada usaha kolektif untuk menarasikan sejarah nasional pada akhir abad 19, yang berimplikasi pada ditransformasikannya subjek-subjek sejarah menjadi sejenis ‘warganegara baru’ (new citizens). Dalam Seeing Like a State (1998), James Scott menunjukkan bagaimana institusi negara telah mereduksi kompleksitas kenyataan ke dalam gagasan-gagasan bangsa yang sederhana dan simplistik dalam rangka mengontrol dan menguasai warganya. Historiografi nasional adalah usaha sistematis pertama untuk mereduksi narasi-narasi kompleks, multidimensional, yang umumnya muncul dalam sejarah lokal, ke dalam satu metanarasi bernama ‘negara-bangsa’. Dari narasi-narasi tersebut, sebuah biografi atas Indonesia mulai disusun, cerita-cerita kemerdekaan mulai diceritakan dan diajarkan di ruang-ruang kelas.

Para pahlawan ditulis, kemenangan dan pertempuran diceritakan secara heroik, yang nantinya bisa membentuk persepsi masyarakat atas sejarah bangsanya sendiri. Simplifikasi negara semacam ini membuat pengetahuan lokal umumnya tereduksi atau justru hilang sama sekali. Inilah sejarah tanpa bangsa (history without people), sejarah yang kehilangan narasi bangsanya sendiri.

Nasib sejarah Islam Jawa tampaknya tidak jauh berbeda dari, dan memiliki relasi historis yang kuat dengan, nasib sejarah Indonesia itu sendiri. Sekalipun Islam Jawa tampak seperti narasi lokal, ia tetaplah objek sejarah, yang disubjektivasi sedemikian rupa untuk menjelaskan secara reduksionistis kompleksitas lokal di Jawa. Sehingga, disusunlah berbagai buku dan ensiklopedi tentang Islam di Jawa, Islamisasi Jawa, atau Jawaisasi Islam. Masalahnya, historiografi atas Islam Jawa itu sendiri dipenuhi dengan cerita-cerita kebesaran Eropa, Belanda, atau VOC. Pada abad ke-17, misalnya, Belanda berhasil menguasai Jawa dengan membangun Batavia, yang belakangan dikenal sebagai ‘nenek moyang etnis Belanda’ (ethnic ancestors of Dutch), dan menyempurnakan bentuknya menjadi negara kolonial dengan nama imajinernya ‘Belanda Tropis’ (Tropical Holland).

Kuatnya pengaruh Belanda terhadap pembentukan ide kebangsaan, keagamaan, hingga kemasyarakatan di Jawa ini menjelaskan mengapa dulu muncul banyak sejarahwan Barat yang mengklaim diri mampu menjelaskan sejarah Jawa dari zaman pra-kolonial, kolonial, hingga pascakolonial. Dibangun pula lembaga-lembaga kajian Jawa seperti Javanese Institute sebagaimana yang telah dijelaskan di awal. Kajian mereka umumnya menempatkan Jawa, masyarakat dan agamanya, dalam posisi yang relatif marjinal dibanding VOC atau Belanda. Pun juga, deskripsi atas Islam Jawa dalam historiografi kolonial umumnya dipenuhi dengan mitologi, istana sentris, dan cerita kepahlawanan (Fawaid, 2015). Dalam perspektif pascakolonial, historiografi semacam ini belakangan dikenal sebagai historiografi Neerlandosentris, karena ia ditulis bukan semata-mata oleh, melainkan—yang terpenting—melalui kacamata orang Belanda atau Barat.

Menurut Kuntowijoyo (2008: 9), setidakanya terdapat empat tipikal historiografi Islam di Jawa, antara lain: (a) historiografi tradisional, yakni historiografi yang dimulai dari zaman Hindu-Buddha sampai masuk dan berkembangnya Islam di Jawa, yang ditemukan dalam banyak prasasti dan naskah kuno, seperti hikayat dan babad, dan corak penulisannya memiliki ciri-ciri, seperti bersifat kedaerahan, mengabaikan unsur fakta, kepercayaan atas  kekuatan sakti, dan sakralitas seorang figur; (b) historiografi kolonial, yakni historiografi yang dimulai dari masuknya kolonialisme ke Indonesia, masuknya VOC ke Jawa, yang ditemukan dalam banyak laporan VOC karena umumnya ditulis sebagai laporan kepada pemerintah kerajaan Hindia Belanda; (c) historiografi nasional, yakni historiografi yang dimulai tahun 1945 sejak Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan, yang ditulis umumnya oleh orang Indonesia untuk menceritakan babakan waktu sejarah nasional dan kepahlawanan seseorang; dan (d) historiografi modern, yakni historiografi yang muncul sekitar tahun 1957 ketika muncul kesadaran tentang pentingnya metode dan teori sejarah dalam historiografi, suatu kesadaran yang pada akhirnya melahirkan apa yang telah disebut dimuka sebagai kajian wilayah (area studies), dan historiografi Islam Jawa merupakan cabang dari kajian Indonesiasentris yang masuk dalam kategori Asean Studies.

Baca: Kosmopolitanisme Pesantren: Arab Digarap, Jawa Digawa

Javanologi dalam Kritik Pascakolonial

Islam Jawa, sebagaimana yang telah diurai di muka, berhasil menjadi objek kajian yang menarik bagi Barat, dan ia terus direproduksi hingga menjadi subjek yang turut membentuk turunan dan pranata diskursifnya. Salah satu turunan diskursif yang paling nyata adalah munculnya disiplin pengetahuan semacam Javanese Studies atau Javanology atau Islamology, yang menempatkan Islam Jawa pertama-tama sebagai suatu diskursus yang terus hidup hanya dalam kemungkinanya untuk dikaji dan direproduksi kembali. Dalam konteks kritik pascakolonial, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah siapa yang mengkaji dan siapa yang sebenarnya dibicarakan dalam kajian ini?

Sayangnya, harus dikatakan, studi Islam Jawa pertama kali memang lahir di Belanda melalui prakarsa Prof. Taco Roorda dengan Javanese Studies-nya dan C.F. Winter dengan Java Institute-nya. Kedua pranata ini, meskipun di dalamnya turut melibatkan pujangga besar sekelas Ranggawarsita dan begawan keraton Mangkunagara, pada akhirnya melahirkan beragam kajian (sejarah, antropologi, filologi) yang terus digunakan oleh para sarjana Indonesia saat ini untuk mengkaji Islam Jawa.

Masalahnya, kajian-kajian tersebut, karena memang lahir dari rahim ideologis peradaban Barat, menampilkan superioritas ego kolonial yang menempatkan Timur (dalam hal ini, Islam Jawa) sebagai objek, sehingga relasi kuasa pengetahuan atas Islam Jawa itu sendiri menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.

C.F. Winter sendiri (1799-1859) merupakan filolog Belanda yang lahir di Jawa; ia menulis dan menerjemahkan banyak karya sastra Jawa tradisional. Bahkan, ia adalah satu dari sekian filolog yang mendapat kesempatan langka bekerjasama dengan para pujangga Surakarta (utamanya Ranggawarsita II, Ranggawarsita III, dan Mangkunagara IV) untuk menulis berbagai kitab Jawi. Selain menjabat Wakil Direktur Surakarta Institute yang dibentuk oleh pemerintah kolonial saat itu (1834-1843), ia adalah salah seorang yang paling giat menginisiasi lahirnya akademi Javanologi (academic Javanology) di tanah Jawa. Sementara itu, Prof. Taco Roorda (1801 – 1874), yang menginisiasi Javanese Studies di Belanda melalui Delf Academy pada 1848, hakikatnya seorang teolog Belanda yang tidak pernah sekalipun berkunjung ke Jawa namun menulis kamus bahasa Jawa. Dalam bukunya Javaanesche Grammatica, benevens een Leesboek tot oefening in de Javaansche Taal (Tatabahasa Jawa berikut Buku Bacaan untuk Latihan Jawa), ia berterima kasih kepada J.A. Wilkens dan C.F. Winter karena telah membawakan seorang Jawa, yang konon bernama Moentajib Moeda (Otterspeer, 1989: 251; sebagian versi menyebut Sastratama [Poeze, 2008: 16]), yang menurutnya “sangat beradab, seorang juru tulis Patih Surakarta yang dapat berbicara dan menulis bahasa ibunya dengan baik walaupun tidak berpendidikan cukup.”

Xenophobia atau “ketakutan terhadap yang-lain” sangat tampak dalam berbagai historiografi atas Islam Jawa. Pernyataan Van Leur dan Stapel, seperti yang telah disinggung di depan, merupakan salah satu contoh xenophobia tersebut. Dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Harry A. Poeze (2008) juga menuturkan seorang Muslim Jawa bernama Kadjo, seorang abdi dhalem Surakarta, yang dianggap tidak terampil, tidak becus bekerja bahkan untuk urusan-urusan sepele. Diceritakan bahwa suatu ketika C. Coenaes, seorang penyewa tanah di Surakarta sempat berkali-kali minta perhatian Sunan Surakarta tentang tidak terampilnya para tukangnya; katanya, lonceng dan arlojinya dipercayakan kepada orang yang tak terlatih; dan penanganan barang-barang emasnya pun buruk sekali. Kekurangan itu barangkali, menurut Poeze, dapat diatasi jika salah seorang abdi Susuhan itu diperintahkan mengikuti pendidikan di Eropa (hlm. 16).

Usaha J.A. Wilkens, J.F. Winter, Prof. Taco Roorda, dan para sarjana Barat pra-kolonial menjelaskan apa yang disebut Edward Said sebagai Oriental Studies. Kajian filologi, linguistik, etnografi, hingga historiografi merupakan disiplin pengetahuan yang dimulai pertama-tama melalui proses kompilasi, penyusunan kamus dan ensiklopedi, hingga penerjemahan teks-teks Timur. Penerjemahan teks-teks sastra yang dilakukan oleh Winter dan penyusunan kamus bahasa Jawa oleh Roorda—yang bahkan tak pernah sekalipun berkunjung ke Jawa—merupakan usaha pendisiplinan pengetahuan Timur agar lebih mudah dibaca, sehingga lebih mudah memberi kekuasaan kepada Barat untuk mengontrol Timur (dalam hal ini, Islam Jawa). Masalahnya, usaha serupa tidak atau belum ditemukan di kalangan Jawa sendiri. Jika pun muncul, seperti halnya usaha membangun prototipe Javanese Studies dan Institute for Javanology di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, kajian-kajian akademis mereka nyaris tidak bisa melepaskan diri dari utang budi pengetahuan kepada sumber-sumber akademis Barat.

Pun juga, kajian-kajian wilayah (Area Studies), di mana Islam Jawa termasuk bagian dari Asean Studies, pada akhirnya memang terjebak pada “geografi imajiner” (imaginative geography), karena mereka berusaha menstrukturasi objek kajian diankronis bernama Islam Jawa dalam sebuah ruang dan waktu yang berbeda dari yang terjadi di Barat. Islam Jawa, dengan demikian, tidak hanya dikarakterisasi oleh atribut-atribut geografis yang estetis, akademis, sering pula eksotis (misalnya, Islam Jawa sebagai tanah mistis, yang di dalanya penuh dengan praktik religio-magis), tetapi juga ditafsirkan sebagai satu lokus dengan tatanan sosialnya tersendiri. Melalui syncretic religion atau mystic syntetis, misalnya, para raksasa antropolog Barat seperti Geertz hingga Ricklefs menafsirkan Islam Jawa sebagai sebuah tatanan sosial yang tidak bisa lepas dari ketaatan terhadap tradisi Islam di satu sisi dan penerimaan terhadap praktik Hindu-Buddha-Animisme pra-Islam di sisi lain. Kedua konsep tersebut terus menerus direproduksi melalui berbagai representasi akademis dan kajian historis atas Islam Jawa, sehingga ia pun membentuk sejenis kekuatan (atau kekuasaan) epistemologis terhadap segala pengetahuan apapun tentang Islam (dan) Jawa.

Baca: Ngilmu Rasa

Historiografi Islam Jawa dalam Kritik Pascakolonial

Mengomentari konsep ‘politik’ kolonial India yang ditulis oleh para sejarahwan Cambridge dan nasionalis untuk merujuk hanya pada domain politik formal pemerintah dan institusi negara, Ranajit Guha (1984: 3-4) mengatakan bahwa dalam hampir semua tulisan tentang ‘politik kolonial’ (yang ia sebut sebagai historiografi elitis) itu, politik India hanya diasumsikan sebatas politik negara dan lembaga-lembaga yang berada di bawah kolonial Inggris. Akibatnya, istilah ‘masyarakat’ dan ‘rakyat’ dibedakan sebatas perbedaan demografis antara warga dan pemerintah, padahal menurut Guha (1988: 4-5) ada ranah politik lain yang dimobilisasi oleh sekelompok orang yang berbeda dari domain politik elit, yang ia sebut sebagai—meminjam konsep Spivak (1994)—politik subaltern. Hal ini tampaknya juga berlaku bagi Islam Jawa, di mana konsep ini terus direproduksi sebagai (a) ranah diskursif yang semata didasarkan pada universilitas sejarah politik kolonial untuk mendeskripsikan (b) peristiwa masa-lalu yang seolah-olahlahir dari rahim nasionalisme, sehingga muncul (c) narasi-narasi sejarah (nasional) Islam Jawa yang ditulis dalam kerangka atau “dikuasi” oleh dominasi diskursif kolonial Belanda.

Untuk itu, melihat narasi sejarah Islam Jawa secara kritis dalam tiga persoalan di atas tampaknya menjadi suatu keniscayaan tersendiri, dan hal ini hanya mungkin dilakukan jika kita mulai melakukan pergesaran paradigma (shift paradigm) dari historiografi kolonial Islam Jawa menuju historiografi pascakolonial Islam Jawa; dari sejarah yang ditulis oleh kaum ‘elitis’ kolonial ke sejarah yang melihat ‘yang-lain’ sebagai peristiwa sehari-hari yang penting.

Historiografi pascakolonial, menurut Gyan Prakash (1992: 8), ditujukan untuk ‘memikirkan dan merumuskan secara radikal bentuk pengetahuan dan identitas sosial yang ditulis atau didominasi oleh kolonialisme/dominasi Barat’ (… to force a radical re-thinking and re-formulation of forms of knowledge and social identities authored and authorized by colonialism and western domination). Terinspirasi dari gagasan Spivak dalam esainya “Deconstructing Historiography” (1988: 3-32), Prakash—yang memberi pengantar editorial atas buku Selected Subaltern Studies yang memuat esai itu—mengatakan bahwa historiografi pascakolonial atau subaltern historiography berupaya: (a) mempertanyakan dominasi sejarah universal yang didominasi oleh politik kolonial; (b) menerapkan kritik secara radikal atas segala bentuk sejarah bangsa; dan (c) menggugat hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan di mana sejarah diposisikan sebagai sebentuk narasi pengetahuan tertentu. Pertanyaannya adalah bagaimana sumbangsih historiografi pascakolonial ini bagi kajian atas Islam Jawa? Ia berkontribusi sejauh dalam usahanya untuk mempertanyakan segala bentuk dominasi kolonial dalam narasi sejarah, baik yang ditulis oleh para sarjana Barat maupun sarjana Indonesia. Di bawah ini kita akan segera melihat bahwa ideologi kolonial itu muncul sebagai suatu proyek epistemologis yang hegemonik tidak hanya dalam historiografi kolonial itu sendiri, melainkan juga dalam historiografi tradisional, nasional, hingga modern sekali pun.

Sejarah tanpa bangsa (history without people), yang selalu menjadi jargon kebesaran bagi historiografi nasional, pada hakikatnya tak bisa lepas dari definisi kolonial sentris atas apa yang disebutnya sebagai ‘bangsa’ (people / nation) itu sendiri. Nasionalisme, kebangsaan, atau kerakyatan hakikatnya merupakan jebakan epistemologis dari suatu ‘orientalisme gaya baru’(new orientalism) yang menjadikan negara sebagai pintu masuk bagi narasi kolonial. Definisi kebangsaan pada hakikatnya adalah definisi negara yang dengan demikian mengasumsikan adanya ‘politik negara’ untuk terlibat dalam menuliskan, menarasikan, dan mereduksi rakyat ke dalam semata-mata perspektif negara itu sendiri. Dalam konteks narasi Islam Jawa, misalnya, kita bisa melihat bagaimana buku-buku sejarah ditulis tentang proses masuknya Islam Jawa melalui peperangan dan kepahlawanan, sehingga pengetahuan kita terhadap Islam Jawa adalah pengetahuan negara atas Islam Jawa itu sendiri. Historiografi nasional pada akhirnya nama lain dari historiografi elitis itu sendiri.

Sebagaimana yang disebutkan di awal bahwa istilah-istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk menggambarkan Jawa, misalnya, sebagai ‘nenek moyang etnis Belanda’ (ethnic ancestors of Dutch) dan ‘Belanda Tropis’ (Tropical Holland) memperlihatkan superioritas Belanda terhadap Timur (Jawa) dengan istilah-istilah yang eksotis di satu sisi dan rasial di sisi lain. Jawa dibayangkan sebagai suatu kawasan nun-jauh di sana yang menarik perhatian mereka dengan karakteristik fisik dan rasial, seperti warna kulit, gestur tubuh, hingga perilaku yang bar-bar (ingat, misalnya, bagaimana saudagar Tanah asal Belanda Coenas menggambarkan seorang Muslim abdi dhalem Kesultanan Surakarta dengan sebutan ‘tak terampil’, sehingga perlu ‘didikan ala Barat’). Dalam beberapa derajat tertentu, rasisme ini terus dipelihara dalam alam pikiran orang-orang Barat melalui sebutan-sebutan ‘akademis namun stretotipika’ atas Muslim Jawa sebagai Muslim sinkretis: penyembah leluhur pra-Islam sekaligus penganut Islam yang tidak terlalu taat. Di tanah Jawa yang dihuni oleh Muslim ‘hangat-hangat kuku’ ini, mereka melihat suatu iklim geografis yang berbeda dari wilayah mereka, suatu iklim tropis (2 musim) yang penuh dengan para leluhur dan nenek moyang.

Kuatnya klaim mistisisme terhadap Islam Jawa ini tidak turun dari langit; ia lahir pertama-tama dari pembacaan dan penafsiran sarjana Barat terhadap berbagai hikayat, babad, dan serat yang ditulis oleh para pujangga Keraton. Perhatikan, misalnya, dalam The History of Java bagaimana Raffles mengibaratkan sang legenda mitologis Aji Saka, sang penemu kalender, tunggul wulung, alfabet, dan penjelajah pertama tanah Jawa itu, sebagai “nenek moyang penjajah pertama dari Gujarat” (…anchestor of the first colonists from Gujrat) (Raffles, 1965: 1-10). Dengan merujuk pada Babad Tanah Jawi, Raffles juga menceritakan keris sakti Gumarang yang digunakan oleh Panembahan Senapati untuk membunuh Panembahan Madiun dan menikah dengan putrinya bernama Retna Jumilah. Perhatikan bagaimana peristiwa penaklukan ini kemudian membuat Panembahan Senapati dijuluki sebagai Sedana, Panji, atau figur-figur Dewa “Wisnu” lain, sementara Retno Jumilah dibayangkan sebagai Dewi Sri (Serat Kanda, MS 540, 79-82; Babad Tanah Jawi dalam Olthoff, 1941: 180). Belum lagi cerita tentang Wali Songo yang dikisahkan oleh para pujangga Jawa sebagai tokoh setengah mitos-setengah fakta dalam berbagai babad, seperti Babad Tanah Jawi, Babad Majapahit, dan Babad Jaka Tingkir (Margana, 2004: 8-9).

Semua kisah tentang Jawa dan Islam dalam historiografi tradisional pun pada akhirnya juga—meminjam istilah Margana (2004)—terjebak dalam ‘bayang-bayang kolonial,’ dan cerita ini terus direproduksi dalam banyak buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, bahkan tak jarang di antaranya juga dipublikasikan dalam bentuk komik (Soenarto, 2005: 33-82).

Baca: Ngilmu: Gerak Ontologis Sangkan-Paran

Bagaimana Javanologi Kolonial Mendeskripsikan Islam Jawa?

Bagaimana Javanologi menempatkan Islam Jawa dalam kajian mereka selama ini? Sekurang-kuranya terdapat dua definisi yang populer tentang Islam Jawa dalam Javanese Studies, yakni sinkretisme Hindu-Buddha dan mistisisme Islam lokal. Meskipun ada beragam definisi yang disajikan oleh para sarjana Barat dan Indonesia, definisi-definisi tersebut umumnya tidak jauh dari dua konsep di atas.

Islam Jawa sebagai Sinkretisme (syncretic religion)

Tak banyak buku etnografis, setidaknya yang membahas agama Jawa dalam 1 dekade terakhir, memiliki pengaruh sebesar The Religion of Jawa (1964) karya Clifford Geertz. Bersama timnya dari Cornell University, Geertz menghabiskan puluhan tahun untuk melakukan riset di sebuah daerah yang konon dikenal dengan nama Modjokuto di Jawa Timur. Memahami agama Jawa, Geertz menyusun suatu trikotomi: abangan, santri, dan priyayi. Abangan merujuk pada Muslim sinkretis, yang bisa mengombinasikan secara seimbang elemen animisme, Hindu, dan Islam. Priyayi berada satu level di atas abangan dalam laku mistisnya; sama-sama beragama sinkretis, priyayi memanifestasikan diri dalam wujud terbaik Hindu-Buddha.  Hubungan antara abangan dan priyayi bisa dianalogikan layaknya hubungan antara petani dan majikan. Abangan lebih condong pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa, sementara priyayi lebih cenderung menekankan aspek Hindu-Buddhanya. Sementara itu, kelas sosial lain yang—menurut Geertz—baru muncul pada abad ke-20 di Jawa adalah santri, sekelompok Jawa yang memperjuangkan dan mempraktikkan ortodoksi Jawa, serta menjaga jarak dari Muslim sinkretis yang oleh Geertz diasosiasikan sebagai abangan itu (Geertz, 1964: 123-126). Dari Geertz inilah kebanyakan sarjana Indonesia menafsirkan Islam Jawa sebagai agama sinkretis.

Gagasan Geertz ini terus direproduksi dan menjadi warisan intelektual para antropolog Barat, seperti Robert Hefner dan Andrew Beatty. Keduanya, sejauh ini bisa dikatakan, adalah penerus Geertz yang paling setia mengkaji agama Jawa. Melaksanakan penelitian pasca-pembunuhan massal komunitas abangan di Indonesia, Hefner dan Beatty mampu menunjukkan begitu sulitnya komunitas abangan Jawa beradaptasi dalam situasi pascakonflik. Hefner (1985) meneliti komunitas Hindu-Tengger di kaki gunung Bromo Probolinggo, sementara Beatty (2009, 1999) meneliti komunitas Muslim mistis Osing di Banyuwangi. Dua komunitas ini, menurut Hefner dan Beatty, merupakan populasi abangan yang langka, karena mereka termasuk yang masih mempraktikkan kepercayaan dan ritual masyarakat Jawa, dan karena itulah bisa dikatakan bahwa mereka merupakan komunitas abangan terakhir di Indonesia, sebagaimana yang dibayangkan oleh Geertz.

Hingga pada akhirnya, pasca-tragedi 1965, ketika abangan tidak lagi memiliki posisi tawar-menawar politik karena digantikan oleh kaum santri, Hefner mulai beralih fokus pada kehidupan masyarakat Muslim kelas menengah dan menganggap bahwa mereka memiliki satu posisi strategis dalam negara demokrasi. Meski demikian, gagasan Geertz, Hefner, dan Beatty tentang agama sinkretis ini tetap menjadi satu rujukan penting meskipun kajian-kajian sesudahnya mulai beralih fokus kepada perilaku komunitas Muslim yang mulai mirip dengan abangan. Dari sinilah upaya memahami Islam Jawa yang sinkretis mulai menemukan bentuknya. Di awal tahun 1970an, misalnya, sejarahwan dan sarjana Asian Studies asal Australia, John D. Legge (1973) ‘secara politis’ memuji Soekarno karena kemampuanya politiknya yang mampu menyatukan kebhinekaan Indonesia. Hal itu tak lepas dari kepribadian Soekarno yang, menurutnya, memiliki pandangan dunia Jawa tradisional yang berciri “eklektik” dan “toleran” (Legge, 1973: 9-13). Konsep eklektisisme ini, meskipun disampaikan dengan nada memuji, tidak lebih retoris dari apa yang disampaikan oleh Benedict Anderson yang meyakini bahwa konsepsi Jawa tentang kekuasaan sangat bergantung pada “sinkretisme dinamis”, yang khas dalam alam pikir Jawa (Anderson, 1972: 15). Tidak mengherankan jika logika kekuasaan khas Jawa mengharuskan suatu pusat, yang karakternya sinkretis dan absorptif, dan ini biasanya bisa ditemukan dalam karakter seorang raja/pemimpin Jawa.

Agama Jawa yang sinkretis ini pula yang, menurut Niels Mulder (2005), mampu membuatnya beradaptasi dan menyerap seluruh elemen dari berbagai diskursus agama dan spiritual lain yang berbeda. Agama Jawa memiliki kemampuan untuk bercampur dengan gagasan Islam dan warisan Hindu-Buddha, sebagian lagi bahkan bersinggungan dengan tradisi Katolik, teosofi, animisme, kanabalisme, bahkan freemason (Mulder, 2005: 110). Patrick Guinness (2009) juga menyinggung sinkretisme, kemampuan beradaptasi dan berkombinasi dengan segala elemen tersebut, dalam konstruksi perumahan masyarakat desa. Dalam kajian antropologinya, Keeler (1987: 40-41) juga menyinggung “masyarakat Jawa sinkretis” untuk merujuk pada komunitas pagelaran wayang kulit yang makin hari makin populer di lingkungan masyarakat Jawa urban.

Apa yang ingin ditunjukkan dari semua ini adalah satu hal: betapa konsep agama Jawa sinkretis telah sedemikian jauh digunakan sebagai salah satu cara pandang kolektif dalam memahami Jawa.

Islam Jawa sebagai Islam Mistis (mystic Islam)

Pada akhir abad ke-19, kritik terhadap trikotomi Geertz mulai bermunculan dari para sarjana Barat. Tidak memadainya trikotomi itu untuk menjelaskan realitas kultural masyarakat Jawa membuat mereka akhirnya membangun konseptualisasi tersendiri tentang agama Jawa. Upaya ini dimulai antara lain oleh M.C. Ricklefs melalui triloginya, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries (2006); Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830-1930 (2007); dan Islamisation and Its Opponents (2012). Trilogi ini disusun antara lain untuk melakukan kritik secara sistematis terhadap Geertz dan para pewarisnya, sekaligus menawarkan sebuah istilah baru yang diambil dari bagian pertama triloginya itu, istilah yang belakangan juga mendapat sambutan hangat di kalangan para sarjana Eropa dan Indonesia: “sintesis mistik” (mystic synthesis).

Penelitian Ricklefs menunjukkan bahwa tidak ada kategori sosial dalam masyarakat Jawa yang bernama abangan kecuali muncul pada pertengahan abad ke-19. Dengan demikian, sebelum periode tersebut, Ricklefs mengatakan bahwa masyarakat Jawa seluruhnya terislamisasi. Menurut Ricklefs, sudah bertahun-tahun lamanya, dalam dunia akademik, Islam Jawa dilihat secara superfisial, sebatas pada sinkretisme dengan warisan Hindhu-Buddha. Ia pun menafsirkan Islamisasi Jawa sebagai hasil dari pertemuan panjang antara identitas Jawa dan Islam. Perjumpaan ini pada akhirnya melahirkan apa yang dikenal sebagai mistik sintesis yang merujuk pada komitmen terhadap identitas Islam di satu sisi, dan penerimaan terhadap kekuatan spiritual lokal di sisi yang lain, yang semuanya bisa terlihat dalam tradisi mistisnya (Sufisme).  Artinya, menurut Ricklefs, masyarakat Jawa tidak sekadar menjadi Muslim, tapi mereka memiliki pemahaman sendiri terhadap dimensi mistis (mystical dimension) Islam, yakni Sufisme (Ricklefs, 2007: 5).

Munculnya mistis sintesis ini semakin kuat pada akhir abad 19 dan awal abad 20 ketika abangan menjadi kelas sosial yang sulit dibedakan dari—apa yang disebut oleh Ricklefs dengan—putihan. Kelas putihan merupakan kategori sosial yang digunakan Ricklefs untuk menjelaskan bahwa tidak adanya lagi kemungkinan untuk mengetahui mana yang sangat Islam dan mana yang bukan. Jadi, bukan soal kategorisasi, tapi lebih pada soal sejauh mana kehidupan Islam itu dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini dibuktikan dari definisi Ricklefs atas mistis sintesis yang memiliki tiga karakteristik utama: (a) komitmen tinggi terhadap identitas Islam; (b) kepatuhan terhadap rukun Islam; dan (c) penerimaan terhadap kekuatan spiritual.

Tiga karakteristik ini dicontohkan oleh Ricklefs melalui sosok Sultan Agung yang menurutnya (a) telah masuk Islam melalui Sunan Kalijaga, bahkan ia termasuk dari salah satu yang bergelar wali itu sendiri; (b) telah melaksankan rukun Islam dengan sempurna melalui syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji; serta (c) turut menerima kekuatan pra-Islam dengan berziarah ke Tembayat, makam Sunan Bayat yang menjadi penguasa terakhir kerajaan Hindu-Majapahit. Di Tembayat inilah, Sultan Agung menerima ilmu mistik ghaib (ngelmu) khas Jawa yang turut menuntunnya menjadi penguasa Jawa. Menurut Ricklefs, sosok Sultan Agung menjelaskan betapa kategori priyayi-abangan-santri tidak lagi memadai untuk mengidentifikasi Jawa Muslim atau Muslim Jawa, karena ia lebih berkaitan dengan bagaimana masyarakat Jawa melebur bersama tradisi Islam, menganut dua pandangan-dunia yang berbeda secara bersamaan: antara dewa transenden (transcendent deity) di satu sisi dan Tuhan imanen (immanent divinity) di sisi lain, yang dijembatani oleh genius ecunemia mistisisme sebagaimana yang banyak ditemukan dalam tradisi Sufisme (2007: 223). Senada dengan Ricklefs, Fawaid (2015: 214) juga menjelaskan, berdasarkan analisis sejarahnya terhadap Babad Tanah Jawi, bahwa kerajaan Mataram merepresentasikan genealogi ganda (double genealogy) yang memiliki trah dari Nabi Adam dan Batara Guru; ia adalah anak ideologis dari kerajaan Islam-Demak di satu sisi dan kerajaan Hindu-Majapahit di sisi lain.

Apa yang ingin ditunjukkan dari semua ini, sebagaimana yang nanti akan dibuktikan dalam bab khusus, adalah bahwa konsep tentang mistik sintesis itu, jembatan ekumenia antara Dewa transenden dan Tuhan imanen itu, ternyata hanyalah nama lain dari agama sinkretis dalam versi yang lebih detail dan lebih lebur dibanding trikotomi Geertz.

Baca: Islam Nusantara, Negosiasi, dan Pribumisasi Islam

Bagaimana Historiografi Kolonial Mendeskripsikan Islam Jawa?

Masalahnya adalah bagaimana beragam historiografi di atas menempatkan Islam Jawa sebagai objek kajiannya? Sekurang-kurangnya terdapat dua hal yang bisa digarisbawahi dalam sebagian besar penulisan sejarah atas Islam Jawa selama ini, yakni (a) historiografi Islam Jawa sebagai historiografi residental dan (b) historiografi Islam Jawa sebagai historiografi representasional. Apa dan bagaimana kedua corak historiografi ini merepresentasikan Islam Jawa?

Historiografi Islam Jawa sebagai Historiografi Residential

Berpijak pada pandangan Knockelman (2007: 379) tentang residential agency, yang menggambarkan bagaimana seseorang mengontrol ekspresi tanda, menentukan relasi antara tanda dan objek, dan berkuasa menyajikan interpretasi atas tanda, maka historiografi residential juga bisa digambarkan sebagai cara kerja penulisan sejarah yang (a) mengontrol di mana dan kapan Islam Jawa itu dideskripsikan; (b) menentukan apa makna Islam Jawa dan bagaimana Islam Jawa itu harus diekspresikan; dan (c) berkuasa atas segala penafsiran dan kemungkinan alasan/efek dari Islam Jawa yang ditulisnya.

Singkatnya, historiografi residential ini menggunakan kuasa kepengarangan secara vulgar atas narasi Islam Jawa yang ia tulis. Historiografi residential ini sangat tampak utamanya pada historiografi kolonial itu sendiri.

Salah satu puncak historiografi kolonial adalah Geschiedenis van Nederlandsch-Indië-nya W.F. Stapel (5 vol., 1938-1940). Dua volume pertama memang menceritakan kerajaan Hindu dan Islam di Jawa, namun perspektif tersebut tiba-tiba berubah ketika Belanda masuk ke Jawa. Pada tiga volume terakhir, praktis Belanda menjadi aktor utama, sementara orang Jawa termajinalisasi. Meskipun ia sesekali menceritakan dengan nada ‘kritis’ eksploitasi Belanda di Jawa, Belanda tetaplah menjadi aktor utama, yang mereprsentasikan pencerahan, kemajuan, dan kemampuan untuk melindungi berbagai kepentingan para orang pribumi dan Muslim Jawa yang dianggapnya bahkan “tidak mampu mengurusi masalah pribadi mereka sendiri” (…incapable of running their own affairs) (Stapel, 1940: 23).

Historiografi lain ditulis oleh J.C. Van Leur, sarjana Belanda yang sangat terinspirasi gagasan sosiologi Max Weber namun terbunuh pada sebuah peperangan di Laut Jawa pada Februari 1942 di usianya yang ke-34. Dalam esainya yang terkenal The World of Southeast Asia: 1500-1650, Van Leur membuat satu pernyataan yang mengejutkan namun terkenal pada saat itu: “Ekspansi agama baru ini (yakni Islam) ke Jawa tidak membawa revolusi apapun… Islam tidak membawa inovasi apapun untuk membantu Indonesia menjadi lebih baik, entah di bidang sosial maupun ekonomi” (The expansion of the new religion did not result in any revolutions ..Islam did not bring a single innovation of a ‘higher level of development’ to Indonesia, socially or economically…) (Leur, 1955: 168-169). Sebagaimana Weber, Val Leur juga bermasalah dalam mengkonseptualisasikan struktur-struktur perubahan sosial di Jawa. Pemikiran Leur ini diwarisi oleh sosiolog lain seperti Schrieke dan Drewes—yang juga menegaskan bahwa tidak ada perbedaan berarti antara Jawa pada tahun 1700 dan 700 Masehi (Drewes, 1954: 3)—yang menyajikan gambaran statis atas kemunculan Islam di Jawa itu sendiri.

Dari kajian historiografis Stapel, Leur, dan Drewes ini, kita bisa melihat bagaimana islam Jawa dikontrol, ditentukan, dan pada akhirnya dikuasi melalui segala deskripsi atasnya. Islam Jawa dikontrol melalui generalisasi periodik (kedatangan VOC, dan seterusnya) dan spasial (pantai utara Jawa, dan seterusnya), ditentukan melalui generalisasi tematik (bahwa masyarakat Muslim Jawa tidak mampu mengurusi diri sendiri) dan konseptual (bahwa Muslim Jawa tidak mampu membawa perubahan dan revolusi apapun di bidang ekonomi dan sosial), hingga dikuasai melalui generalisasi sistematik, struktural, kultural, hingga personal (bagaimana ia tersusun dari kelas-kelas sosial, bagaimana ia dianggap masyarakat tradisional, hingga seperti apa gestur dan bentuk tubuh Muslim Jawa itu).

Apa yang ingin ditunjukkan di sini adalah historiografi residensial benar-benar menampilkan kekuasaan penuh atas Islam Jawa secara vulgar ‘tanpa malu-malu’. Studi historiografis Van Leur, Stapel, dan Drewes tidak hanya menampilkan dominasi kekuasaan Belanda atas Jawa, namun sekaligus menunjukkan betapa barbar dan terbelakangnya masyarakat Muslim di Jawa, yang bahkan untuk urusan pribadinya sekalipun, mereka tidak bisa mengurusnya sendiri.

Historiografi Islam Jawa sebagai Historiografi Representasional

Jika historiografi residensial menampilkan kekuasaan Barat yang nyata atas Islam (dan) Jawa, maka historiografi representasional menampilkan kekuasaan yang tak kasat mata; kekuasaan yang ditampilkan lebih berupa kekuasaan epistemologis karena historiografi semacam ini pertama-tama dibentuk untuk merekonstruksi pengetahuan atas Islam Jawa. Singkatnya, jika yang pertama menarasikan Islam Jawa untuk melegitimasi kekuasaan Barat, maka yang kedua menarasikan Islam Jawa untuk merepresentasikan pengetahuan Barat atasnya. Keduanya sama-sama menggunakan kekuasaan, hanya pada derajat penggunaannya saja yang berbeda. Mengikuti Kockelman (2007: 383) tentang representational agency, historiografi representasional berurusan dengan bagaimana Islam Jawa ditematisasi, dikarakterisisasi, dan pada akhirnya dijustifikasi secara epistemologis. Historiografi semacam ini tampak pada tiga historiografi lain, yakni historiografi tradisional, nasional, bahkan modern.

Pada historiografi tradisional, cerita tentang bertemunya Sultan Agung dengan Sunan Kalijaga setelah sebelumnya ‘bercinta’ dengan Nyi Roro Kidul selama 3 hari di Laut Selatan merupakan salah satu bentuk cerita tradisional yang muncul dalam Babad Tanah Jawi. Penafsiran terhadap pertemuan dan percintaan itu, dalam relasinya dengan Islam Jawa, mulai bermunculan. Salah satunya adalah ketika Fawaid (2015) menjelaskan bahwa pertemuan tersebut merepresentasikan suatu gejala sinkretis antara raja Mataram bersama tokoh sentral kerajaan Demak Islam , Sunan Kalijaga, setelah sebelumnya bercinta dengan tokoh utama dalam Kerajaan Hindu Majapahit, Nyi Roro Kidul. Peristiwa ini dianggap menegaskan sinkretisme Mataram sebagai hasil dari perjumpaannya dengan Majapahit dan Demak. Mitos tentang Nyi Roro Kidul bahkan terus direproduksi, antara lain, dalam Ricklefs (2007: 64) yang menganggapnya merupakan aspek unseen Pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749) yang menggunakan bedhaya suci untuk memohon kepada Nyi Roro Kidul guna menjamin nasib baik bagi dinasti dengan pasukan terkuat dari dunia gaib Jawa untuk melawan kompeni.

Historiografi nasional dicontohkan melalui berbagai buku sejarah, seperti Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (2005) karya Slamet Muljana yang, dengan menggunakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, memperlihatkan kebangkitan Islam di tanah Jawa sebagai hasil dari suatu konfrontasi besar antara kerajaan Islam-Demak dan kerajaan Hindu-Majapahit; antara Raden Patah dan Prabu Brawijaya. Muljana memperlihatkan bahwa jatuhnya Majapahit disebabkan antara lain oleh gempuran tentara Keling pimpinan Girindrawardana pada tahun 1478 M. Versi kebangkitan Islam Jawa ini berbeda dari analisis Aminuddin Kasdi dalam Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa 1726-1745 (2003) yang menganggap bahwa kebangkitan Islam bukanlah hasil dari konfrontasi besar terhadpa Majapahit, melainkan dari perjuangan para walisongo dan saudagar-saudagar Islam dari Persia, Gujarat, melalui Samudara Pasai (abad ke-13), Gresik, Malaka, Surabaya, dan Jepara (abad ke-15). Uniknya, kedua versi kebangkitan Islam ini terus direproduksi dan diajarkan di bangku-bangku sekolah hingga perguruan tinggi.

Sementara itu, historiografi modern diwakili antara lain oleh Sartono Kartodirjo melalui The Peasents Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course, and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia (1966). Disertasi yang ia selesaikan dengan penuh kerja-keras di Universitas Yale, Amerika Serikat, ini membawa Kartodirjo menjadi salah satu ‘begawan sejarah Indonesia’, berkat keberhasilannya membuka arah baru bagi historiografi Indonesia yang disiplin secara teoretis dan metodologis namun tidak melupakan fakta sejarah. Yang luput diceritakan oleh Kasdi dan Muljana, namun diurai secara baik oleh Kartodirjo adalah peran para kiai, seperti Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid, dalam membangun gerakan rakyat/petani melawan kekuasaan kolonial di Banten. Di sini, Kartodirjo mengungkap peran umat Islam, khususnya kiai-kiai di desa, yang marjinal dalam banyak buku sejarah, sebagai pihak yang memiliki peran dominan dalam perjuangan kemerdekaan. Disertasi ini pula yang turut menyumbang bagi pergesaran historiografi kolonial ke arah Indonesiasentris atau modern saat ini.

Apa yang ingin ditunjukkan dari semua ini adalah bahwa penulisan sejarah atas Islam Jawa pada hakikatnya tidak bisa lepas dari representasi kekuasaan dan struktur ideologis tertentu. Masalah ‘ideologis’ ini penting karena, seperti yang kita lihat, meskipun historiografi tradisional, nasional, hingga modern berusaha keluar dari bayang-bayang kolonialisme, ketiganya masih menggunakan kekuasaan kolonial sebagai titik pijak. Islam Jawa ditematisasi (dalam kerangka mitos, perlawanan, kekuasaan), dikarakterisasi (melalui pasukan gaib, gerakan perlawanan, dan sebagainya), dan dijustifikasi secara epistemologis (Islam Jawa vis-a-vis kolonialisme, Islam vis-a-vis Hindu-Buddha, dan sebagainya) untuk merepresentasikan kekuasaan tertentu. Representasi kekuasaan, kepahlawanan, heroisme, masih menjadi tema-tema utama dalam struktur argumen dan jalan cerita historiografi mereka.

 

Bersambung…

 

0
856
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.