Melacak Diskursus Islam Jawa
Steenbrink (1993) menguji berbagai studi kolonial terhadap Islam Jawa. Steenbrink menyatakan bahwa kolonialisme cenderung memandang Islam secara negatif, suatu kesimpulan yang khas ditemukan dalam tradisi Pascakolonial saat itu. Tulisan ini—meskipun memiliki persamaan historis dengan penelitian Steenbrink—berbeda dengan Steenbrink karena penelitiannya tidak berusaha menjelaskan bagaimana Islam Jawa itu dikonstruksi dalam kerangka kolonial. Steenbrink hanya berhenti pada kesimpulan bahwa Islam Jawa (atau Islam Indonesia) merupakan sesuatu yang given, yang terjadi sedemikian adanya dalam kultur masyarakat Jawa, namun ia tidak lebih jauh mempertanyakan, baik secara epistemologis maupun ontologis, mengapa entitas yang given itu terjadi.
Laffan (2011) selangkah lebih maju dari Steenbrink karena ia tidak hanya menegaskan bahwa Islam Jawa merupakan wacana orientalis, melainkan juga karena ia melakukan kritik epistemologis terhadap gagasan para reformis Islam yang berusaha mengembalikan Islam Jawa ke dalam epistemologi sufisme dan thariqah, suatu kritik yang sebenarnya justru mengingatkan kembali pada representasi para orientalis atas Islam Jawa. Sayangnya, meskipun kritik Laffan memiliki resonansi teoretis dengan apa yang dilakukan oleh penulis, ia masih terjebak untuk mendefinisikan Islam Jawa sebagai Islam sinkretis, suatu jalan keluar yang justru membuatnya kembali terjebak pada diskursus kolonial seperti yang telah penulis jelaskan sejak awal.
Talal Asad (1993), yang mendasarkan analisisnya pada paradigma antropologi kontemporer, melancarkan kritik terhadap para sarjana Barat, seperti Geertz, yang cenderung melakukan universalisasi Islam sebagaimana yang dilakukan oleh para orientalis Barat yang mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang sui generis. Padahal, menurut Asad, agama merupakan produk dari sistem sosial dan politik yang partikular dan khas. Karena itulah, Asad kemudian mengajukan proposisi tentang pentingnya melakukan kajian agama ke dalam partikularitasnya, keunikannya, dan keragamannya, alih-alih mencoba melakukan generalisasi dan menawarkan satu definisi universal tentangnya. Sayangnya, Asad lagi-lagi terjebak ke dalam esensialisasi, karena proposisi tentang partikularitas Islam Jawa, dan usahanya untuk mempertahankan proposisi tersebut sebagai satu-satunya diskursus yang mungkin untuk menolak universalitas, merupakan esensialisasi dalam bentuknya yang lain.
Apa yang dilakukan oleh Asad ini juga direproduksi oleh Joem van Boogart (2013), yang mencoba mengkritik representasi orientalis Barat atas Jawa Islam dengan menawarkan konsep agama sebagai entitas eksperiental. Ia memang menolak universalisasi agama dan menganjurkan heterogenitas elemen agama; tetapi konsepsinya tentang agama sebagai entitas eksperiental berada dalam satu bangunan epistemologis yang sama dengan Asad. Meskipun Boogart mengakui dalam risetnya tersebut bahwa dirinya tidaklah meniru analisis Asad, ia sebenarnya juga menempuh jalan yang sama dengan kendaraan yang tidak jauh berbeda, yakni penolakan terhadap universalitas. Penolakan Boogart terhadap universalitas berpotensi membuatnya terjebak pada esensialisasi dalam bentuknya yang lain. Kerentanan untuk terjebak dalam esensialisasi ini semakin tampak ketika Boogard menyebut kebudayaan Barat sebagai sepenuhnya Kristen dan—dengan demikian mengajukan suatu oposisi biner—kebudayaan Timur yang bersifat ritual dan praksis.
Kerja historiografis atas Islam Jawa sebenarnya sudah banyak dilakukan; setidaknya, kajian tersebut sudah dimulai sejak J.L.A. Brandes menerbitkan Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majaphit (1897/1920) yang dengan menggunakan Pararton edisi 1897, menyebut bahwa inilah dekrit resmi dan versi otoritatif tentang sejarah Islam Jawa dalam periode tertentu, yakni setelah tibanya Belanda ketika Mataram masih menjadi satu-satunya kekuasaan politik yang dominan di Jawa.
Tahun 1913, Hoesein Djajadiningrat melalui Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913) juga berasumsi bahwa sejarah Islam Jawa sebenarnya sudah dimulai sejak jatuhnya Kerajaan Plered pada 1677, yang berarti bahwa Sejarah Banten bisa menjadi rujukan bagi siapapun yang berusaha menyusun Historiografi atas Islam Jawa. Di kesempatan lain, De Graaf yang menyusun serial monografis De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga (1954), De Regering van Sultan Agung (1958), dan De Regering van Sunan Mangkurat I Tegalwangi (1961) untuk melengkapi kisah yang hilang dari Babad Tanah Jawi versi Major Babad juga menjelaskan sejarah Islam Jawa bahkan bisa dilacak dari status pengarang Babad Tanah Jawi yang konon merupakan wali Muslim pertama di Kerajaan Sultan Agung: Sunan Kalijaga.
Sementara itu, C.C. Berg yang menulis Twee nieuwe publicaties betreffende de geschiedenis en de geschiedschrijving van Mataram (1955) dan Babad en Babadstudie (1957) meyakini bahwa kedatangan Islam dan kejatuhan Majapahit terjadi secara berkesinambungan (tidak terputus), karena babad-babad yang ditulis tentang Mataram ternyata memiliki prototipe yang mirip dengan babad-babad yang ditulis tentang kerajaan-kerasaan sebelumnya, seperti Majapahit dan Singasari (Berg, 1964: 102; Berg, 1955: 132). Meski demikian, menurut J.J. Ras dalam The Genesis of the Babad Tanah Jawi: Origin and Function of the Javanese Court Chronicle (1987), sejarah Islam Jawa sebaiknya dilihat dari testimoni internal dari teks Jawa itu sendiri (dalam hal ini Babad Tanah Jawi) ditambah dengan data yang diperoleh dari kondisi keraton di mana teks itu lahir. Kajian historiografis atas Islam Jawa oleh para sarjana Barat itu terus direproduksi dan diwarisi oleh para sarjana kita di Indonesia, misalnya Purwadi (2005), Pranowo (2009), dan Sunyoto (1990) yang meskipun menjadikan sejarah Islam Jawa sebagai topik utama, masih belum ditemukan usaha analitisnya dalam kerangka pascakolonialitas.
Akan tetapi, dari sekian usaha pelacakan Genealogi konsep Islam Jawa dalam kerangka historiografis, terdapat dua riset yang bisa dipertimbangkan karena relevan dengan apa yang sedang penulis lakukan saat ini. Di antaranya adalah kajian Ann Kumar dalam Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters (1997) yang, dengan menggunakan catatan pribadi (diary) Mangkunegaran, menegaskan bahwa tradisi dan praktik Islam sudah lama dilakukan di dalam tembok istana. Dikatakan bahwa Mangkunegaran sangat dekat dengan aktivitas Islam dengan membaca Koran, Kitab Turutan dan Tasbeh; bahkan ia termasuk salah satu Muslim yang taat menjalankan ibadat dan jumungahan (shalat Jum’at). Kumar mengkritik historiografi Jawa yang umumnya cenderung menggunakan literatur-literatur sarjana Barat dan arsip-arsip VOC sebagai sumber primer, sementara teks literatur dari Jawa itu sendiri seringkali dijadikan ilustrasi semata. Sayangnya, Kumar tidak melengkapi analisis historiografisnya dengan melacak perkembangan epistemologis dari konsep-konsep yang dibangun oleh para historiografer Barat tentang Jawa, pun ia juga tidak menempatkan kajian sejarahwan Barat atau Eropa terhadap naskah-naskah Jawa dalam kerangka pascakolonial. Meski demikian, tradisi historiografi yang dijalankan oleh Kumar, sejauh pengamatan penulis, cukup berhasil memberi kontribusi bagaimana sejarah dibangun pertama-tama melalui pendekatan langsung terhadap sumber-sumber arkaik seperti diari Mangkunegaran.
Hal yang sama dilakukan oleh Nancy K. Florida dalam Writing the Past: Inscribing the Future (1995) yang menawarkan suatu perspektif babad alternatif tentang sejarah Jawa sebagai nubuat (prophecy). Melalui kerja keras penerjemahan Babad Jaka Tingkir, sebuah teks sastra Jawa yang ditulis tahun 1829, Florida mempertanyakan seluruh historiografi Jawa yang dihasilkan oleh para sejarahwan sebagai produk politik dan personal saat itu. Salah satu yang ia tawarkan adalah bagaimana perdebatan atas arah kiblat dalam mihrab Masjid Demak menjadi salah satu bukti bahwa Muslim Jawa ternyata memiliki cara tersendiri untuk merepresentasikan diri mereka sendiri, bahkan dalam soal ibadah sekalipun. Kerja analisis Florida yang luar biasa ini memberikan jalan tersendiri bagi penulis dalam menjelaskan bagaimana Islam Jawa saat itu merupakan produk dari kesejarnaan Barat. Analisis Florida membantu penulis melihat betapa konsep Islam Jawa saat itu pada hakikatnya bukanlah murni dari Jawa, melainkan istilah yang diciptakan oleh sarjana Barat untuk mendefinisikan Islam dan Jawa, sekaligus menjelaskan posisi mereka sebagai outsider di Jawa. Kerja keras Florida yang telah dicurahkan lebih dari 1 dekade menyeleksi dan menerjemahkan dokumen-dokumen sejarah di Keraton Surakarta tersebut memperlihatkan tidak ada definisi yang tunggal dan universal tentang Islam Jawa sebagaimana yang dilakukan oleh para sarjana Barat lain.
Ilmuwan Indonesia yang tidak hanya mengkaji diskursus kolonial Islam Jawa, melainkan juga menawarkan kajian tandingan adalah Ahmad Baso yang mulai dikenal dengan bukunya berjudul Islam Pascakolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (2005). Meskipun tidak disertai dengan perangkat metodologis yang jelas, buku ini setidaknya menempuh cara kerja historiografis untuk melacak sengkarut relasi antara tiga entitas tersebut seraya mengkritik para orientalis Islam, seperti Hurgronje, yang dianggapnya sebagai “polisi kolonial.” Selain kritiknya terhadap Hurgronje dan para orientalis lain, yang juga dilakukan oleh Baso adalah strateginya untuk tetap otodidak mempelajari naskah-naskah Jawa kuno dalam mengkaji apa yang belakangan ia sebut sebagai “Islam Nusantara” itu dengan menulis karya-karya lain yang sejenis, seperti Pesantren Studies (2015-2016), Islam Nusantara(2015), Postradisionalisme Islam (2016), dan sebagainya. Meskipun konsep “Islam Nusantara” nya berpotensi terjebak pada universalisasi atau esensialisasi dalam bentuknya yang lain atas Islam Jawa dan/atau Islam lokal itu, kajian Baso ini jelas memberi bahan tersendiri bagi penulis untuk melihat bagaimana cara kerja historiografisnya dalam mengkritik para sarjana Barat, termasuk juga bagaimana kajian Baso pun tak bisa lepas dari cara berpikir Barat itu sendiri.
Kajian Islam Jawa sebagai diskursus kolonial juga terus digalakkan melalui berbagai lingkar studi dan paguyuban. Tahun 2017, misalnya, Fakultas Aqidah dan Filsafat IAIN Tulungagung meluncurkan laboratorium Penelitian Islam Jawa (Institute for Javanese Islam Research), yang agendanya antara lain menyelenggarakan diskusi, short course, dan riset serta publikasi tentang Islam Jawa. Tahun 2017, laboratorium ini juga menyelenggarakan dua putaran Orasi Ilmiah dan Kebudayaan yang diisi oleh Ahmad Najib Burhani (Peneliti Senior LIPI) tentang “Menimbang Ulang Narasi-Narasi Besar Islam Jawa dalam Memandang Islam, Jawa, dan Muhammadiyah” dan Masdar Hilmy (Rektor UIN Surabaya) tentang “Sinkretisme/Akulturasi Islam Jawa: Narasi Islam Jawa sebagai Produk Kolonialisme dan Orientalism”. Selain IAIN Tulungagung, Langgar.co bekerjasama dengan Galeri Seni Sarang Building dan Saidian Institute Yogyakarta juga menggelar forum bertajuk “Suluk Kebudayaan Indonesia” putaran pertama dan kedua sepanjang April dan Agustus 2019. Forum yang menghadirkan para pemerhati Islam dan Jawa, seperti Hasan Basri (Lesbumi), Irfan Afifi (Langgar.co), Mahfud Ikhwan (Sastrawan), dan Hairus Salim (Budayawan) diselenggarakan untuk membicarakan—sebagaimana namanya—berbagai hal ihwal tentang kebudayaan Indonesia, namun lebih spesifik tentang Islam Jawa. Putaran pertama forum itu, antara lain, mengangkat masalah “ngelmu” di Jawa dan menjadi Jawa tanpa nonton wayang. Putaran kedua lebih spesifik, karena selain penulis terlibat juga dalam mendiskusikan historiografi Islam Jawa, juga terdapat tema lain yang disampaikan oleh Katrin Bandel, Indonesianis asal Jerman, tentang Menjadi Muslim, Menjadi Jawa, termasuk di dalamnya Ahmad Baso, yang karya-karyanya sebagian akan penulis bahas dalam tulisan ini, membahas soal Walisanga dalam teks Makasar Bugis, serta Irfan Afifi yang menulis “Saya, Jawa, dan Islam.”
Apa yang dilakukan oleh IAIN Tulungagung dan Langgar.co merupakan sebagian bukti tentang mulai munculnya suatu kesadaran kolektif akan perubahan paradigma (paradigm shift) dari—apa yang dikenal sebagai—kolonial-sentris menuju “Indonesia-sentris” atau “Jawa-sentris.”
Namun, pertanyaan yang muncul pun juga sama: Apakah usaha-usaha ini benar-benar mampu menyajikan suatu kritik akademis yang memadai terhadap diskursus kolonial Islam Jawa yang sudah semakin membumi itu? Atau justru forum-forum itu, sebagaimana yang juga dipertanyakan pada karya-karya Ahmad Baso, akan terjebak pada esensialisasi dan universalisasi dalam bentuknya yang lain?
Baca: Genealogi Islam Jawa: Kritik Historiografi Pascakolonial (Bagian I) Baca juga: Terikat Jawa dan Takjub Eropa
Javanologi: Islam Jawa dalam Genealogi “Kolonial”
Menempatkan Islam Jawa sebagai objek riset merupakan tantangan tersendiri, bukan hanya karena ia telah diteliti oleh ratusan riset dari berbagai disiplin ilmu dan pendekatan, melainkan juga karena konsep tersebut telah sedemikian masif diposisikan sebagai sesuatu yang given dan taken for granted dalam kesadaran kolektif masyarakat Jawa, termasuk oleh kalangan terpelajar Indonesia. Menempatkannya dalam kerangka kritik berarti melawan suatu arus besar yang telah begitu lama menjadikan Islam Jawa sebagai narasi kunci dalam dunia kesarjanaan kita selama ini. Islam Jawa menarik, bukan hanya karena ia sampai detik ini terus dibicarakan (sebagai objek) dalam berbagai kajian dan forum akademis, melainkan juga karena Islam Jawa turut membentuk (sebagai subjek) berbagai disiplin keilmuan lain, seperti Javanese Studies atau Javanology.
Sejauh pengamatan penulis, belum ada riset komprehensif yang menunjukkan kapan persisnya Javanese Studies muncul sebagai satu kajian akademik.
Dalam sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh Ricklefs (1972) disebutkan bahwa setelah Perang Jawa (1825-1830), ada kebutuhan bagi orang Eropa untuk mempelajari bahasa Jawa, sehingga di Surakarta dibentuklah Java Institute (1832-1843) yang dibangun oleh Pakubuwana VII atas inisiasi C.F. Winter, Sr (1799-1859), seorang sarjana Barat yang lahir dan meninggal di Jawa Tengah, dan penerjemah naskah-naskah Jawa termasuk naskah Babad Tanah Jawi versi tembang macapat. Jika dirunut lagi ke belakang, sekitar 1840an di Belanda, sudah ada Javanese Studies yang dididirikan oleh Prof. Taco Roorda (1801-1874), seorang sarjana Eropa yang, seperti Arthur Waley, tidak pernah berkunjung ke area (Jawa) yang ia teliti.
Sejak saat itu, kajian terhadap naskah-naskah Jawa terus dilakukan. Berbagai lembaga, instansi, dan pranata juga dibangun untuk mengkaji Jawa. Untuk menyebut beberapa saja, di Universitas Sebelas Maret Surakarta terdapat lembaga kajian bernama Insitute Javanologi, di Universitas Indonesia juga dibangun Program Studi Jawa atau Javanese Studies. Ini belum termasuk lembaga-lembaga atau prodi-prodi lain serta forum-forum akademik rutinan yang diselenggarakan dengan tagline “Studi Jawa”, “Islam Jawa”, “Sinkretisme Jawa”, dan seterusnya. Hal ini menjelaskan apa yang disebutkan di awal bahwa Islam Jawa kini tak lagi menjadi objek kajian seperti yang terjadi pada abad ke-15 hingga ke-16, sejak akhir abad ke-17 ia justru mampu membentuk dan mengafirmasi diri dalam pranata-pranata akademis di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Akan tetapi, satu hal yang pasti, menurut Boogart (2015), Javanese Studies merupakan produk merkantilis dan politis sarjana Barat yang semakin hari semakin kuat mengakar dalam dunia intelektual kita saat ini. Begitu dominanya Javanese Studies hingga ia mampu menciptakan suatu disiplin akademik tersendiri yang dengannya mereka mengkaji dan memahami alam pikir kebudayaan non-Barat. Disiplin ini utamanya muncul dalam kajian sejarah (filologi), antropologi (etnografi), dan kajian agama (lokalitas). Meskipun saling berjalin kelindan, ketiganya berbeda dalam sumber data bahwa yang pertama menggunakan teks sebagai pintu masuk, yang kedua menggunakan pengalaman emic, sementara yang terakhir menggunakan—namun tidak selalu—ritus dan laku spiritual.
Kajian-kajian ini, sebagai suatu disiplin pengetahuan, memang berfungsi ‘mendisiplinkan’ pengetahuan tentang Jawa, dan segala hal yang berkaitan dengannya. Pendisiplinan ini, dengan berbagai implikasi praksisnya, merupakan strategi kolonial untuk mengawasi Jawa dari jauh hingga ke wilayah paling intim, yakni pengetahuan dan kesadaran kolektif.
Dalam studi pascakolonial, baik dalam arti politis maupun akademisnya, kajian atas kebudayaan Timur umumnya dimasukkan dalam kerangka Studi Wilayah (Area Studies). Kajian-kajian tersebut, yang dipelopori utamanya oleh para sarjana atropologi, studi agama, dan filologi, memang digarap dalam perspektif interdisipliner, namun wilayah yang mereka imajinasikan tetaplah sama. Dalam hal ini, kita mengenal Latin American Studies, Middle Eastern Studies, Pacific Studies, juga European Studies,termasuk juga di dalamnya adalah Southeast Asian Studies yang memiliki subdisiplin ilmu seperti Indonesian Studies dan pada akhirnya Javanese Studies (Javanologi). Dengan demikian, ketika muncul istilah Studi Jawa dalam riset ini, ia berarti merujuk pada—apa yang dikatakan Edward W. Said sebagai—suatu ‘geografi imajiner’ (imaginative geography) atas sebuah wilayah bernama Jawa di mana kebudayaan utamanya adalah Jawa.
Baca: Islam Jawa: Perlawanan Petani dan Ketersingkirannya
Eropa/Neerlando-sentris: Islam Jawa dalam Historiografi “Kolonial”
Tidak cukup hanya dengan melacak narasi-narasi kunci Islam Jawa. Menurut Nurdholt (2004), dibutuhkan pula usaha untuk membongkar sejarah genealogi yang mengkonstruksi dan merekonstruksi teks-teks itu. Karena itulah, bagi penulis, asal-muasal epistemologis Islam Jawa perlu didukung oleh kajian atas munculnya Islam Jawa menurut para sejarahwan. Jika genealogi berfokus pada asal-muasal dan kritik terhadap jejaring intelektual Islam Jawa, maka historiografi berfokus pada bagaimana Islam Jawa itu dideskripsikan dalam teks-teks sejarah. Islam Jawa, bagaimanapun, merupakan hasil dari relasi yang kompleks antara dua proses tersebut.
Ada usaha kolektif untuk menarasikan sejarah nasional pada akhir abad 19, yang berimplikasi pada ditransformasikannya subjek-subjek sejarah menjadi sejenis ‘warganegara baru’ (new citizens). Dalam Seeing Like a State (1998), James Scott menunjukkan bagaimana institusi negara telah mereduksi kompleksitas kenyataan ke dalam gagasan-gagasan bangsa yang sederhana dan simplistik dalam rangka mengontrol dan menguasai warganya. Historiografi nasional adalah usaha sistematis pertama untuk mereduksi narasi-narasi kompleks, multidimensional, yang umumnya muncul dalam sejarah lokal, ke dalam satu metanarasi bernama ‘negara-bangsa’. Dari narasi-narasi tersebut, sebuah biografi atas Indonesia mulai disusun, cerita-cerita kemerdekaan mulai diceritakan dan diajarkan di ruang-ruang kelas.
Para pahlawan ditulis, kemenangan dan pertempuran diceritakan secara heroik, yang nantinya bisa membentuk persepsi masyarakat atas sejarah bangsanya sendiri. Simplifikasi negara semacam ini membuat pengetahuan lokal umumnya tereduksi atau justru hilang sama sekali. Inilah sejarah tanpa bangsa (history without people), sejarah yang kehilangan narasi bangsanya sendiri.
Nasib sejarah Islam Jawa tampaknya tidak jauh berbeda dari, dan memiliki relasi historis yang kuat dengan, nasib sejarah Indonesia itu sendiri. Sekalipun Islam Jawa tampak seperti narasi lokal, ia tetaplah objek sejarah, yang disubjektivasi sedemikian rupa untuk menjelaskan secara reduksionistis kompleksitas lokal di Jawa. Sehingga, disusunlah berbagai buku dan ensiklopedi tentang Islam di Jawa, Islamisasi Jawa, atau Jawaisasi Islam. Masalahnya, historiografi atas Islam Jawa itu sendiri dipenuhi dengan cerita-cerita kebesaran Eropa, Belanda, atau VOC. Pada abad ke-17, misalnya, Belanda berhasil menguasai Jawa dengan membangun Batavia, yang belakangan dikenal sebagai ‘nenek moyang etnis Belanda’ (ethnic ancestors of Dutch), dan menyempurnakan bentuknya menjadi negara kolonial dengan nama imajinernya ‘Belanda Tropis’ (Tropical Holland).
Kuatnya pengaruh Belanda terhadap pembentukan ide kebangsaan, keagamaan, hingga kemasyarakatan di Jawa ini menjelaskan mengapa dulu muncul banyak sejarahwan Barat yang mengklaim diri mampu menjelaskan sejarah Jawa dari zaman pra-kolonial, kolonial, hingga pascakolonial. Dibangun pula lembaga-lembaga kajian Jawa seperti Javanese Institute sebagaimana yang telah dijelaskan di awal. Kajian mereka umumnya menempatkan Jawa, masyarakat dan agamanya, dalam posisi yang relatif marjinal dibanding VOC atau Belanda. Pun juga, deskripsi atas Islam Jawa dalam historiografi kolonial umumnya dipenuhi dengan mitologi, istana sentris, dan cerita kepahlawanan (Fawaid, 2015). Dalam perspektif pascakolonial, historiografi semacam ini belakangan dikenal sebagai historiografi Neerlandosentris, karena ia ditulis bukan semata-mata oleh, melainkan—yang terpenting—melalui kacamata orang Belanda atau Barat.
Menurut Kuntowijoyo (2008: 9), setidakanya terdapat empat tipikal historiografi Islam di Jawa, antara lain: (a) historiografi tradisional, yakni historiografi yang dimulai dari zaman Hindu-Buddha sampai masuk dan berkembangnya Islam di Jawa, yang ditemukan dalam banyak prasasti dan naskah kuno, seperti hikayat dan babad, dan corak penulisannya memiliki ciri-ciri, seperti bersifat kedaerahan, mengabaikan unsur fakta, kepercayaan atas kekuatan sakti, dan sakralitas seorang figur; (b) historiografi kolonial, yakni historiografi yang dimulai dari masuknya kolonialisme ke Indonesia, masuknya VOC ke Jawa, yang ditemukan dalam banyak laporan VOC karena umumnya ditulis sebagai laporan kepada pemerintah kerajaan Hindia Belanda; (c) historiografi nasional, yakni historiografi yang dimulai tahun 1945 sejak Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan, yang ditulis umumnya oleh orang Indonesia untuk menceritakan babakan waktu sejarah nasional dan kepahlawanan seseorang; dan (d) historiografi modern, yakni historiografi yang muncul sekitar tahun 1957 ketika muncul kesadaran tentang pentingnya metode dan teori sejarah dalam historiografi, suatu kesadaran yang pada akhirnya melahirkan apa yang telah disebut dimuka sebagai kajian wilayah (area studies), dan historiografi Islam Jawa merupakan cabang dari kajian Indonesiasentris yang masuk dalam kategori Asean Studies.
Baca: Kosmopolitanisme Pesantren: Arab Digarap, Jawa Digawa
Javanologi dalam Kritik Pascakolonial
Islam Jawa, sebagaimana yang telah diurai di muka, berhasil menjadi objek kajian yang menarik bagi Barat, dan ia terus direproduksi hingga menjadi subjek yang turut membentuk turunan dan pranata diskursifnya. Salah satu turunan diskursif yang paling nyata adalah munculnya disiplin pengetahuan semacam Javanese Studies atau Javanology atau Islamology, yang menempatkan Islam Jawa pertama-tama sebagai suatu diskursus yang terus hidup hanya dalam kemungkinanya untuk dikaji dan direproduksi kembali. Dalam konteks kritik pascakolonial, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah siapa yang mengkaji dan siapa yang sebenarnya dibicarakan dalam kajian ini?
Sayangnya, harus dikatakan, studi Islam Jawa pertama kali memang lahir di Belanda melalui prakarsa Prof. Taco Roorda dengan Javanese Studies-nya dan C.F. Winter dengan Java Institute-nya. Kedua pranata ini, meskipun di dalamnya turut melibatkan pujangga besar sekelas Ranggawarsita dan begawan keraton Mangkunagara, pada akhirnya melahirkan beragam kajian (sejarah, antropologi, filologi) yang terus digunakan oleh para sarjana Indonesia saat ini untuk mengkaji Islam Jawa.
Masalahnya, kajian-kajian tersebut, karena memang lahir dari rahim ideologis peradaban Barat, menampilkan superioritas ego kolonial yang menempatkan Timur (dalam hal ini, Islam Jawa) sebagai objek, sehingga relasi kuasa pengetahuan atas Islam Jawa itu sendiri menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.
C.F. Winter sendiri (1799-1859) merupakan filolog Belanda yang lahir di Jawa; ia menulis dan menerjemahkan banyak karya sastra Jawa tradisional. Bahkan, ia adalah satu dari sekian filolog yang mendapat kesempatan langka bekerjasama dengan para pujangga Surakarta (utamanya Ranggawarsita II, Ranggawarsita III, dan Mangkunagara IV) untuk menulis berbagai kitab Jawi. Selain menjabat Wakil Direktur Surakarta Institute yang dibentuk oleh pemerintah kolonial saat itu (1834-1843), ia adalah salah seorang yang paling giat menginisiasi lahirnya akademi Javanologi (academic Javanology) di tanah Jawa. Sementara itu, Prof. Taco Roorda (1801 – 1874), yang menginisiasi Javanese Studies di Belanda melalui Delf Academy pada 1848, hakikatnya seorang teolog Belanda yang tidak pernah sekalipun berkunjung ke Jawa namun menulis kamus bahasa Jawa. Dalam bukunya Javaanesche Grammatica, benevens een Leesboek tot oefening in de Javaansche Taal (Tatabahasa Jawa berikut Buku Bacaan untuk Latihan Jawa), ia berterima kasih kepada J.A. Wilkens dan C.F. Winter karena telah membawakan seorang Jawa, yang konon bernama Moentajib Moeda (Otterspeer, 1989: 251; sebagian versi menyebut Sastratama [Poeze, 2008: 16]), yang menurutnya “sangat beradab, seorang juru tulis Patih Surakarta yang dapat berbicara dan menulis bahasa ibunya dengan baik walaupun tidak berpendidikan cukup.”
Xenophobia atau “ketakutan terhadap yang-lain” sangat tampak dalam berbagai historiografi atas Islam Jawa. Pernyataan Van Leur dan Stapel, seperti yang telah disinggung di depan, merupakan salah satu contoh xenophobia tersebut. Dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Harry A. Poeze (2008) juga menuturkan seorang Muslim Jawa bernama Kadjo, seorang abdi dhalem Surakarta, yang dianggap tidak terampil, tidak becus bekerja bahkan untuk urusan-urusan sepele. Diceritakan bahwa suatu ketika C. Coenaes, seorang penyewa tanah di Surakarta sempat berkali-kali minta perhatian Sunan Surakarta tentang tidak terampilnya para tukangnya; katanya, lonceng dan arlojinya dipercayakan kepada orang yang tak terlatih; dan penanganan barang-barang emasnya pun buruk sekali. Kekurangan itu barangkali, menurut Poeze, dapat diatasi jika salah seorang abdi Susuhan itu diperintahkan mengikuti pendidikan di Eropa (hlm. 16).
Usaha J.A. Wilkens, J.F. Winter, Prof. Taco Roorda, dan para sarjana Barat pra-kolonial menjelaskan apa yang disebut Edward Said sebagai Oriental Studies. Kajian filologi, linguistik, etnografi, hingga historiografi merupakan disiplin pengetahuan yang dimulai pertama-tama melalui proses kompilasi, penyusunan kamus dan ensiklopedi, hingga penerjemahan teks-teks Timur. Penerjemahan teks-teks sastra yang dilakukan oleh Winter dan penyusunan kamus bahasa Jawa oleh Roorda—yang bahkan tak pernah sekalipun berkunjung ke Jawa—merupakan usaha pendisiplinan pengetahuan Timur agar lebih mudah dibaca, sehingga lebih mudah memberi kekuasaan kepada Barat untuk mengontrol Timur (dalam hal ini, Islam Jawa). Masalahnya, usaha serupa tidak atau belum ditemukan di kalangan Jawa sendiri. Jika pun muncul, seperti halnya usaha membangun prototipe Javanese Studies dan Institute for Javanology di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, kajian-kajian akademis mereka nyaris tidak bisa melepaskan diri dari utang budi pengetahuan kepada sumber-sumber akademis Barat.
Pun juga, kajian-kajian wilayah (Area Studies), di mana Islam Jawa termasuk bagian dari Asean Studies, pada akhirnya memang terjebak pada “geografi imajiner” (imaginative geography), karena mereka berusaha menstrukturasi objek kajian diankronis bernama Islam Jawa dalam sebuah ruang dan waktu yang berbeda dari yang terjadi di Barat. Islam Jawa, dengan demikian, tidak hanya dikarakterisasi oleh atribut-atribut geografis yang estetis, akademis, sering pula eksotis (misalnya, Islam Jawa sebagai tanah mistis, yang di dalanya penuh dengan praktik religio-magis), tetapi juga ditafsirkan sebagai satu lokus dengan tatanan sosialnya tersendiri. Melalui syncretic religion atau mystic syntetis, misalnya, para raksasa antropolog Barat seperti Geertz hingga Ricklefs menafsirkan Islam Jawa sebagai sebuah tatanan sosial yang tidak bisa lepas dari ketaatan terhadap tradisi Islam di satu sisi dan penerimaan terhadap praktik Hindu-Buddha-Animisme pra-Islam di sisi lain. Kedua konsep tersebut terus menerus direproduksi melalui berbagai representasi akademis dan kajian historis atas Islam Jawa, sehingga ia pun membentuk sejenis kekuatan (atau kekuasaan) epistemologis terhadap segala pengetahuan apapun tentang Islam (dan) Jawa.
Baca: Ngilmu Rasa
Historiografi Islam Jawa dalam Kritik Pascakolonial
Mengomentari konsep ‘politik’ kolonial India yang ditulis oleh para sejarahwan Cambridge dan nasionalis untuk merujuk hanya pada domain politik formal pemerintah dan institusi negara, Ranajit Guha (1984: 3-4) mengatakan bahwa dalam hampir semua tulisan tentang ‘politik kolonial’ (yang ia sebut sebagai historiografi elitis) itu, politik India hanya diasumsikan sebatas politik negara dan lembaga-lembaga yang berada di bawah kolonial Inggris. Akibatnya, istilah ‘masyarakat’ dan ‘rakyat’ dibedakan sebatas perbedaan demografis antara warga dan pemerintah, padahal menurut Guha (1988: 4-5) ada ranah politik lain yang dimobilisasi oleh sekelompok orang yang berbeda dari domain politik elit, yang ia sebut sebagai—meminjam konsep Spivak (1994)—politik subaltern. Hal ini tampaknya juga berlaku bagi Islam Jawa, di mana konsep ini terus direproduksi sebagai (a) ranah diskursif yang semata didasarkan pada universilitas sejarah politik kolonial untuk mendeskripsikan (b) peristiwa masa-lalu yang seolah-olahlahir dari rahim nasionalisme, sehingga muncul (c) narasi-narasi sejarah (nasional) Islam Jawa yang ditulis dalam kerangka atau “dikuasi” oleh dominasi diskursif kolonial Belanda.
Untuk itu, melihat narasi sejarah Islam Jawa secara kritis dalam tiga persoalan di atas tampaknya menjadi suatu keniscayaan tersendiri, dan hal ini hanya mungkin dilakukan jika kita mulai melakukan pergesaran paradigma (shift paradigm) dari historiografi kolonial Islam Jawa menuju historiografi pascakolonial Islam Jawa; dari sejarah yang ditulis oleh kaum ‘elitis’ kolonial ke sejarah yang melihat ‘yang-lain’ sebagai peristiwa sehari-hari yang penting.
Historiografi pascakolonial, menurut Gyan Prakash (1992: 8), ditujukan untuk ‘memikirkan dan merumuskan secara radikal bentuk pengetahuan dan identitas sosial yang ditulis atau didominasi oleh kolonialisme/dominasi Barat’ (… to force a radical re-thinking and re-formulation of forms of knowledge and social identities authored and authorized by colonialism and western domination). Terinspirasi dari gagasan Spivak dalam esainya “Deconstructing Historiography” (1988: 3-32), Prakash—yang memberi pengantar editorial atas buku Selected Subaltern Studies yang memuat esai itu—mengatakan bahwa historiografi pascakolonial atau subaltern historiography berupaya: (a) mempertanyakan dominasi sejarah universal yang didominasi oleh politik kolonial; (b) menerapkan kritik secara radikal atas segala bentuk sejarah bangsa; dan (c) menggugat hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan di mana sejarah diposisikan sebagai sebentuk narasi pengetahuan tertentu. Pertanyaannya adalah bagaimana sumbangsih historiografi pascakolonial ini bagi kajian atas Islam Jawa? Ia berkontribusi sejauh dalam usahanya untuk mempertanyakan segala bentuk dominasi kolonial dalam narasi sejarah, baik yang ditulis oleh para sarjana Barat maupun sarjana Indonesia. Di bawah ini kita akan segera melihat bahwa ideologi kolonial itu muncul sebagai suatu proyek epistemologis yang hegemonik tidak hanya dalam historiografi kolonial itu sendiri, melainkan juga dalam historiografi tradisional, nasional, hingga modern sekali pun.
Sejarah tanpa bangsa (history without people), yang selalu menjadi jargon kebesaran bagi historiografi nasional, pada hakikatnya tak bisa lepas dari definisi kolonial sentris atas apa yang disebutnya sebagai ‘bangsa’ (people / nation) itu sendiri. Nasionalisme, kebangsaan, atau kerakyatan hakikatnya merupakan jebakan epistemologis dari suatu ‘orientalisme gaya baru’(new orientalism) yang menjadikan negara sebagai pintu masuk bagi narasi kolonial. Definisi kebangsaan pada hakikatnya adalah definisi negara yang dengan demikian mengasumsikan adanya ‘politik negara’ untuk terlibat dalam menuliskan, menarasikan, dan mereduksi rakyat ke dalam semata-mata perspektif negara itu sendiri. Dalam konteks narasi Islam Jawa, misalnya, kita bisa melihat bagaimana buku-buku sejarah ditulis tentang proses masuknya Islam Jawa melalui peperangan dan kepahlawanan, sehingga pengetahuan kita terhadap Islam Jawa adalah pengetahuan negara atas Islam Jawa itu sendiri. Historiografi nasional pada akhirnya nama lain dari historiografi elitis itu sendiri.
Sebagaimana yang disebutkan di awal bahwa istilah-istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk menggambarkan Jawa, misalnya, sebagai ‘nenek moyang etnis Belanda’ (ethnic ancestors of Dutch) dan ‘Belanda Tropis’ (Tropical Holland) memperlihatkan superioritas Belanda terhadap Timur (Jawa) dengan istilah-istilah yang eksotis di satu sisi dan rasial di sisi lain. Jawa dibayangkan sebagai suatu kawasan nun-jauh di sana yang menarik perhatian mereka dengan karakteristik fisik dan rasial, seperti warna kulit, gestur tubuh, hingga perilaku yang bar-bar (ingat, misalnya, bagaimana saudagar Tanah asal Belanda Coenas menggambarkan seorang Muslim abdi dhalem Kesultanan Surakarta dengan sebutan ‘tak terampil’, sehingga perlu ‘didikan ala Barat’). Dalam beberapa derajat tertentu, rasisme ini terus dipelihara dalam alam pikiran orang-orang Barat melalui sebutan-sebutan ‘akademis namun stretotipika’ atas Muslim Jawa sebagai Muslim sinkretis: penyembah leluhur pra-Islam sekaligus penganut Islam yang tidak terlalu taat. Di tanah Jawa yang dihuni oleh Muslim ‘hangat-hangat kuku’ ini, mereka melihat suatu iklim geografis yang berbeda dari wilayah mereka, suatu iklim tropis (2 musim) yang penuh dengan para leluhur dan nenek moyang.
Kuatnya klaim mistisisme terhadap Islam Jawa ini tidak turun dari langit; ia lahir pertama-tama dari pembacaan dan penafsiran sarjana Barat terhadap berbagai hikayat, babad, dan serat yang ditulis oleh para pujangga Keraton. Perhatikan, misalnya, dalam The History of Java bagaimana Raffles mengibaratkan sang legenda mitologis Aji Saka, sang penemu kalender, tunggul wulung, alfabet, dan penjelajah pertama tanah Jawa itu, sebagai “nenek moyang penjajah pertama dari Gujarat” (…anchestor of the first colonists from Gujrat) (Raffles, 1965: 1-10). Dengan merujuk pada Babad Tanah Jawi, Raffles juga menceritakan keris sakti Gumarang yang digunakan oleh Panembahan Senapati untuk membunuh Panembahan Madiun dan menikah dengan putrinya bernama Retna Jumilah. Perhatikan bagaimana peristiwa penaklukan ini kemudian membuat Panembahan Senapati dijuluki sebagai Sedana, Panji, atau figur-figur Dewa “Wisnu” lain, sementara Retno Jumilah dibayangkan sebagai Dewi Sri (Serat Kanda, MS 540, 79-82; Babad Tanah Jawi dalam Olthoff, 1941: 180). Belum lagi cerita tentang Wali Songo yang dikisahkan oleh para pujangga Jawa sebagai tokoh setengah mitos-setengah fakta dalam berbagai babad, seperti Babad Tanah Jawi, Babad Majapahit, dan Babad Jaka Tingkir (Margana, 2004: 8-9).
Semua kisah tentang Jawa dan Islam dalam historiografi tradisional pun pada akhirnya juga—meminjam istilah Margana (2004)—terjebak dalam ‘bayang-bayang kolonial,’ dan cerita ini terus direproduksi dalam banyak buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, bahkan tak jarang di antaranya juga dipublikasikan dalam bentuk komik (Soenarto, 2005: 33-82).
Baca: Ngilmu: Gerak Ontologis Sangkan-Paran
Bagaimana Javanologi Kolonial Mendeskripsikan Islam Jawa?
Bagaimana Javanologi menempatkan Islam Jawa dalam kajian mereka selama ini? Sekurang-kuranya terdapat dua definisi yang populer tentang Islam Jawa dalam Javanese Studies, yakni sinkretisme Hindu-Buddha dan mistisisme Islam lokal. Meskipun ada beragam definisi yang disajikan oleh para sarjana Barat dan Indonesia, definisi-definisi tersebut umumnya tidak jauh dari dua konsep di atas.
Islam Jawa sebagai Sinkretisme (syncretic religion)
Tak banyak buku etnografis, setidaknya yang membahas agama Jawa dalam 1 dekade terakhir, memiliki pengaruh sebesar The Religion of Jawa (1964) karya Clifford Geertz. Bersama timnya dari Cornell University, Geertz menghabiskan puluhan tahun untuk melakukan riset di sebuah daerah yang konon dikenal dengan nama Modjokuto di Jawa Timur. Memahami agama Jawa, Geertz menyusun suatu trikotomi: abangan, santri, dan priyayi. Abangan merujuk pada Muslim sinkretis, yang bisa mengombinasikan secara seimbang elemen animisme, Hindu, dan Islam. Priyayi berada satu level di atas abangan dalam laku mistisnya; sama-sama beragama sinkretis, priyayi memanifestasikan diri dalam wujud terbaik Hindu-Buddha. Hubungan antara abangan dan priyayi bisa dianalogikan layaknya hubungan antara petani dan majikan. Abangan lebih condong pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa, sementara priyayi lebih cenderung menekankan aspek Hindu-Buddhanya. Sementara itu, kelas sosial lain yang—menurut Geertz—baru muncul pada abad ke-20 di Jawa adalah santri, sekelompok Jawa yang memperjuangkan dan mempraktikkan ortodoksi Jawa, serta menjaga jarak dari Muslim sinkretis yang oleh Geertz diasosiasikan sebagai abangan itu (Geertz, 1964: 123-126). Dari Geertz inilah kebanyakan sarjana Indonesia menafsirkan Islam Jawa sebagai agama sinkretis.
Gagasan Geertz ini terus direproduksi dan menjadi warisan intelektual para antropolog Barat, seperti Robert Hefner dan Andrew Beatty. Keduanya, sejauh ini bisa dikatakan, adalah penerus Geertz yang paling setia mengkaji agama Jawa. Melaksanakan penelitian pasca-pembunuhan massal komunitas abangan di Indonesia, Hefner dan Beatty mampu menunjukkan begitu sulitnya komunitas abangan Jawa beradaptasi dalam situasi pascakonflik. Hefner (1985) meneliti komunitas Hindu-Tengger di kaki gunung Bromo Probolinggo, sementara Beatty (2009, 1999) meneliti komunitas Muslim mistis Osing di Banyuwangi. Dua komunitas ini, menurut Hefner dan Beatty, merupakan populasi abangan yang langka, karena mereka termasuk yang masih mempraktikkan kepercayaan dan ritual masyarakat Jawa, dan karena itulah bisa dikatakan bahwa mereka merupakan komunitas abangan terakhir di Indonesia, sebagaimana yang dibayangkan oleh Geertz.
Hingga pada akhirnya, pasca-tragedi 1965, ketika abangan tidak lagi memiliki posisi tawar-menawar politik karena digantikan oleh kaum santri, Hefner mulai beralih fokus pada kehidupan masyarakat Muslim kelas menengah dan menganggap bahwa mereka memiliki satu posisi strategis dalam negara demokrasi. Meski demikian, gagasan Geertz, Hefner, dan Beatty tentang agama sinkretis ini tetap menjadi satu rujukan penting meskipun kajian-kajian sesudahnya mulai beralih fokus kepada perilaku komunitas Muslim yang mulai mirip dengan abangan. Dari sinilah upaya memahami Islam Jawa yang sinkretis mulai menemukan bentuknya. Di awal tahun 1970an, misalnya, sejarahwan dan sarjana Asian Studies asal Australia, John D. Legge (1973) ‘secara politis’ memuji Soekarno karena kemampuanya politiknya yang mampu menyatukan kebhinekaan Indonesia. Hal itu tak lepas dari kepribadian Soekarno yang, menurutnya, memiliki pandangan dunia Jawa tradisional yang berciri “eklektik” dan “toleran” (Legge, 1973: 9-13). Konsep eklektisisme ini, meskipun disampaikan dengan nada memuji, tidak lebih retoris dari apa yang disampaikan oleh Benedict Anderson yang meyakini bahwa konsepsi Jawa tentang kekuasaan sangat bergantung pada “sinkretisme dinamis”, yang khas dalam alam pikir Jawa (Anderson, 1972: 15). Tidak mengherankan jika logika kekuasaan khas Jawa mengharuskan suatu pusat, yang karakternya sinkretis dan absorptif, dan ini biasanya bisa ditemukan dalam karakter seorang raja/pemimpin Jawa.
Agama Jawa yang sinkretis ini pula yang, menurut Niels Mulder (2005), mampu membuatnya beradaptasi dan menyerap seluruh elemen dari berbagai diskursus agama dan spiritual lain yang berbeda. Agama Jawa memiliki kemampuan untuk bercampur dengan gagasan Islam dan warisan Hindu-Buddha, sebagian lagi bahkan bersinggungan dengan tradisi Katolik, teosofi, animisme, kanabalisme, bahkan freemason (Mulder, 2005: 110). Patrick Guinness (2009) juga menyinggung sinkretisme, kemampuan beradaptasi dan berkombinasi dengan segala elemen tersebut, dalam konstruksi perumahan masyarakat desa. Dalam kajian antropologinya, Keeler (1987: 40-41) juga menyinggung “masyarakat Jawa sinkretis” untuk merujuk pada komunitas pagelaran wayang kulit yang makin hari makin populer di lingkungan masyarakat Jawa urban.
Apa yang ingin ditunjukkan dari semua ini adalah satu hal: betapa konsep agama Jawa sinkretis telah sedemikian jauh digunakan sebagai salah satu cara pandang kolektif dalam memahami Jawa.
Islam Jawa sebagai Islam Mistis (mystic Islam)
Pada akhir abad ke-19, kritik terhadap trikotomi Geertz mulai bermunculan dari para sarjana Barat. Tidak memadainya trikotomi itu untuk menjelaskan realitas kultural masyarakat Jawa membuat mereka akhirnya membangun konseptualisasi tersendiri tentang agama Jawa. Upaya ini dimulai antara lain oleh M.C. Ricklefs melalui triloginya, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries (2006); Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830-1930 (2007); dan Islamisation and Its Opponents (2012). Trilogi ini disusun antara lain untuk melakukan kritik secara sistematis terhadap Geertz dan para pewarisnya, sekaligus menawarkan sebuah istilah baru yang diambil dari bagian pertama triloginya itu, istilah yang belakangan juga mendapat sambutan hangat di kalangan para sarjana Eropa dan Indonesia: “sintesis mistik” (mystic synthesis).
Penelitian Ricklefs menunjukkan bahwa tidak ada kategori sosial dalam masyarakat Jawa yang bernama abangan kecuali muncul pada pertengahan abad ke-19. Dengan demikian, sebelum periode tersebut, Ricklefs mengatakan bahwa masyarakat Jawa seluruhnya terislamisasi. Menurut Ricklefs, sudah bertahun-tahun lamanya, dalam dunia akademik, Islam Jawa dilihat secara superfisial, sebatas pada sinkretisme dengan warisan Hindhu-Buddha. Ia pun menafsirkan Islamisasi Jawa sebagai hasil dari pertemuan panjang antara identitas Jawa dan Islam. Perjumpaan ini pada akhirnya melahirkan apa yang dikenal sebagai mistik sintesis yang merujuk pada komitmen terhadap identitas Islam di satu sisi, dan penerimaan terhadap kekuatan spiritual lokal di sisi yang lain, yang semuanya bisa terlihat dalam tradisi mistisnya (Sufisme). Artinya, menurut Ricklefs, masyarakat Jawa tidak sekadar menjadi Muslim, tapi mereka memiliki pemahaman sendiri terhadap dimensi mistis (mystical dimension) Islam, yakni Sufisme (Ricklefs, 2007: 5).
Munculnya mistis sintesis ini semakin kuat pada akhir abad 19 dan awal abad 20 ketika abangan menjadi kelas sosial yang sulit dibedakan dari—apa yang disebut oleh Ricklefs dengan—putihan. Kelas putihan merupakan kategori sosial yang digunakan Ricklefs untuk menjelaskan bahwa tidak adanya lagi kemungkinan untuk mengetahui mana yang sangat Islam dan mana yang bukan. Jadi, bukan soal kategorisasi, tapi lebih pada soal sejauh mana kehidupan Islam itu dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini dibuktikan dari definisi Ricklefs atas mistis sintesis yang memiliki tiga karakteristik utama: (a) komitmen tinggi terhadap identitas Islam; (b) kepatuhan terhadap rukun Islam; dan (c) penerimaan terhadap kekuatan spiritual.
Tiga karakteristik ini dicontohkan oleh Ricklefs melalui sosok Sultan Agung yang menurutnya (a) telah masuk Islam melalui Sunan Kalijaga, bahkan ia termasuk dari salah satu yang bergelar wali itu sendiri; (b) telah melaksankan rukun Islam dengan sempurna melalui syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji; serta (c) turut menerima kekuatan pra-Islam dengan berziarah ke Tembayat, makam Sunan Bayat yang menjadi penguasa terakhir kerajaan Hindu-Majapahit. Di Tembayat inilah, Sultan Agung menerima ilmu mistik ghaib (ngelmu) khas Jawa yang turut menuntunnya menjadi penguasa Jawa. Menurut Ricklefs, sosok Sultan Agung menjelaskan betapa kategori priyayi-abangan-santri tidak lagi memadai untuk mengidentifikasi Jawa Muslim atau Muslim Jawa, karena ia lebih berkaitan dengan bagaimana masyarakat Jawa melebur bersama tradisi Islam, menganut dua pandangan-dunia yang berbeda secara bersamaan: antara dewa transenden (transcendent deity) di satu sisi dan Tuhan imanen (immanent divinity) di sisi lain, yang dijembatani oleh genius ecunemia mistisisme sebagaimana yang banyak ditemukan dalam tradisi Sufisme (2007: 223). Senada dengan Ricklefs, Fawaid (2015: 214) juga menjelaskan, berdasarkan analisis sejarahnya terhadap Babad Tanah Jawi, bahwa kerajaan Mataram merepresentasikan genealogi ganda (double genealogy) yang memiliki trah dari Nabi Adam dan Batara Guru; ia adalah anak ideologis dari kerajaan Islam-Demak di satu sisi dan kerajaan Hindu-Majapahit di sisi lain.
Apa yang ingin ditunjukkan dari semua ini, sebagaimana yang nanti akan dibuktikan dalam bab khusus, adalah bahwa konsep tentang mistik sintesis itu, jembatan ekumenia antara Dewa transenden dan Tuhan imanen itu, ternyata hanyalah nama lain dari agama sinkretis dalam versi yang lebih detail dan lebih lebur dibanding trikotomi Geertz.
Baca: Islam Nusantara, Negosiasi, dan Pribumisasi Islam
Bagaimana Historiografi Kolonial Mendeskripsikan Islam Jawa?
Masalahnya adalah bagaimana beragam historiografi di atas menempatkan Islam Jawa sebagai objek kajiannya? Sekurang-kurangnya terdapat dua hal yang bisa digarisbawahi dalam sebagian besar penulisan sejarah atas Islam Jawa selama ini, yakni (a) historiografi Islam Jawa sebagai historiografi residental dan (b) historiografi Islam Jawa sebagai historiografi representasional. Apa dan bagaimana kedua corak historiografi ini merepresentasikan Islam Jawa?
Historiografi Islam Jawa sebagai Historiografi Residential
Berpijak pada pandangan Knockelman (2007: 379) tentang residential agency, yang menggambarkan bagaimana seseorang mengontrol ekspresi tanda, menentukan relasi antara tanda dan objek, dan berkuasa menyajikan interpretasi atas tanda, maka historiografi residential juga bisa digambarkan sebagai cara kerja penulisan sejarah yang (a) mengontrol di mana dan kapan Islam Jawa itu dideskripsikan; (b) menentukan apa makna Islam Jawa dan bagaimana Islam Jawa itu harus diekspresikan; dan (c) berkuasa atas segala penafsiran dan kemungkinan alasan/efek dari Islam Jawa yang ditulisnya.
Singkatnya, historiografi residential ini menggunakan kuasa kepengarangan secara vulgar atas narasi Islam Jawa yang ia tulis. Historiografi residential ini sangat tampak utamanya pada historiografi kolonial itu sendiri.
Salah satu puncak historiografi kolonial adalah Geschiedenis van Nederlandsch-Indië-nya W.F. Stapel (5 vol., 1938-1940). Dua volume pertama memang menceritakan kerajaan Hindu dan Islam di Jawa, namun perspektif tersebut tiba-tiba berubah ketika Belanda masuk ke Jawa. Pada tiga volume terakhir, praktis Belanda menjadi aktor utama, sementara orang Jawa termajinalisasi. Meskipun ia sesekali menceritakan dengan nada ‘kritis’ eksploitasi Belanda di Jawa, Belanda tetaplah menjadi aktor utama, yang mereprsentasikan pencerahan, kemajuan, dan kemampuan untuk melindungi berbagai kepentingan para orang pribumi dan Muslim Jawa yang dianggapnya bahkan “tidak mampu mengurusi masalah pribadi mereka sendiri” (…incapable of running their own affairs) (Stapel, 1940: 23).
Historiografi lain ditulis oleh J.C. Van Leur, sarjana Belanda yang sangat terinspirasi gagasan sosiologi Max Weber namun terbunuh pada sebuah peperangan di Laut Jawa pada Februari 1942 di usianya yang ke-34. Dalam esainya yang terkenal The World of Southeast Asia: 1500-1650, Van Leur membuat satu pernyataan yang mengejutkan namun terkenal pada saat itu: “Ekspansi agama baru ini (yakni Islam) ke Jawa tidak membawa revolusi apapun… Islam tidak membawa inovasi apapun untuk membantu Indonesia menjadi lebih baik, entah di bidang sosial maupun ekonomi” (The expansion of the new religion did not result in any revolutions ... Islam did not bring a single innovation of a ‘higher level of development’ to Indonesia, socially or economically…) (Leur, 1955: 168-169). Sebagaimana Weber, Val Leur juga bermasalah dalam mengkonseptualisasikan struktur-struktur perubahan sosial di Jawa. Pemikiran Leur ini diwarisi oleh sosiolog lain seperti Schrieke dan Drewes—yang juga menegaskan bahwa tidak ada perbedaan berarti antara Jawa pada tahun 1700 dan 700 Masehi (Drewes, 1954: 3)—yang menyajikan gambaran statis atas kemunculan Islam di Jawa itu sendiri.
Dari kajian historiografis Stapel, Leur, dan Drewes ini, kita bisa melihat bagaimana islam Jawa dikontrol, ditentukan, dan pada akhirnya dikuasi melalui segala deskripsi atasnya. Islam Jawa dikontrol melalui generalisasi periodik (kedatangan VOC, dan seterusnya) dan spasial (pantai utara Jawa, dan seterusnya), ditentukan melalui generalisasi tematik (bahwa masyarakat Muslim Jawa tidak mampu mengurusi diri sendiri) dan konseptual (bahwa Muslim Jawa tidak mampu membawa perubahan dan revolusi apapun di bidang ekonomi dan sosial), hingga dikuasai melalui generalisasi sistematik, struktural, kultural, hingga personal (bagaimana ia tersusun dari kelas-kelas sosial, bagaimana ia dianggap masyarakat tradisional, hingga seperti apa gestur dan bentuk tubuh Muslim Jawa itu).
Apa yang ingin ditunjukkan di sini adalah historiografi residensial benar-benar menampilkan kekuasaan penuh atas Islam Jawa secara vulgar ‘tanpa malu-malu’. Studi historiografis Van Leur, Stapel, dan Drewes tidak hanya menampilkan dominasi kekuasaan Belanda atas Jawa, namun sekaligus menunjukkan betapa barbar dan terbelakangnya masyarakat Muslim di Jawa, yang bahkan untuk urusan pribadinya sekalipun, mereka tidak bisa mengurusnya sendiri.
Historiografi Islam Jawa sebagai Historiografi Representasional
Jika historiografi residensial menampilkan kekuasaan Barat yang nyata atas Islam (dan) Jawa, maka historiografi representasional menampilkan kekuasaan yang tak kasat mata; kekuasaan yang ditampilkan lebih berupa kekuasaan epistemologis karena historiografi semacam ini pertama-tama dibentuk untuk merekonstruksi pengetahuan atas Islam Jawa. Singkatnya, jika yang pertama menarasikan Islam Jawa untuk melegitimasi kekuasaan Barat, maka yang kedua menarasikan Islam Jawa untuk merepresentasikan pengetahuan Barat atasnya. Keduanya sama-sama menggunakan kekuasaan, hanya pada derajat penggunaannya saja yang berbeda. Mengikuti Kockelman (2007: 383) tentang representational agency, historiografi representasional berurusan dengan bagaimana Islam Jawa ditematisasi, dikarakterisisasi, dan pada akhirnya dijustifikasi secara epistemologis. Historiografi semacam ini tampak pada tiga historiografi lain, yakni historiografi tradisional, nasional, bahkan modern.
Pada historiografi tradisional, cerita tentang bertemunya Sultan Agung dengan Sunan Kalijaga setelah sebelumnya ‘bercinta’ dengan Nyi Roro Kidul selama 3 hari di Laut Selatan merupakan salah satu bentuk cerita tradisional yang muncul dalam Babad Tanah Jawi. Penafsiran terhadap pertemuan dan percintaan itu, dalam relasinya dengan Islam Jawa, mulai bermunculan. Salah satunya adalah ketika Fawaid (2015) menjelaskan bahwa pertemuan tersebut merepresentasikan suatu gejala sinkretis antara raja Mataram bersama tokoh sentral kerajaan Demak Islam , Sunan Kalijaga, setelah sebelumnya bercinta dengan tokoh utama dalam Kerajaan Hindu Majapahit, Nyi Roro Kidul. Peristiwa ini dianggap menegaskan sinkretisme Mataram sebagai hasil dari perjumpaannya dengan Majapahit dan Demak. Mitos tentang Nyi Roro Kidul bahkan terus direproduksi, antara lain, dalam Ricklefs (2007: 64) yang menganggapnya merupakan aspek unseen Pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749) yang menggunakan bedhaya suci untuk memohon kepada Nyi Roro Kidul guna menjamin nasib baik bagi dinasti dengan pasukan terkuat dari dunia gaib Jawa untuk melawan kompeni.
Historiografi nasional dicontohkan melalui berbagai buku sejarah, seperti Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (2005) karya Slamet Muljana yang, dengan menggunakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, memperlihatkan kebangkitan Islam di tanah Jawa sebagai hasil dari suatu konfrontasi besar antara kerajaan Islam-Demak dan kerajaan Hindu-Majapahit; antara Raden Patah dan Prabu Brawijaya. Muljana memperlihatkan bahwa jatuhnya Majapahit disebabkan antara lain oleh gempuran tentara Keling pimpinan Girindrawardana pada tahun 1478 M. Versi kebangkitan Islam Jawa ini berbeda dari analisis Aminuddin Kasdi dalam Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa 1726-1745 (2003) yang menganggap bahwa kebangkitan Islam bukanlah hasil dari konfrontasi besar terhadpa Majapahit, melainkan dari perjuangan para walisongo dan saudagar-saudagar Islam dari Persia, Gujarat, melalui Samudara Pasai (abad ke-13), Gresik, Malaka, Surabaya, dan Jepara (abad ke-15). Uniknya, kedua versi kebangkitan Islam ini terus direproduksi dan diajarkan di bangku-bangku sekolah hingga perguruan tinggi.
Sementara itu, historiografi modern diwakili antara lain oleh Sartono Kartodirjo melalui The Peasents Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course, and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia (1966). Disertasi yang ia selesaikan dengan penuh kerja-keras di Universitas Yale, Amerika Serikat, ini membawa Kartodirjo menjadi salah satu ‘begawan sejarah Indonesia’, berkat keberhasilannya membuka arah baru bagi historiografi Indonesia yang disiplin secara teoretis dan metodologis namun tidak melupakan fakta sejarah. Yang luput diceritakan oleh Kasdi dan Muljana, namun diurai secara baik oleh Kartodirjo adalah peran para kiai, seperti Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid, dalam membangun gerakan rakyat/petani melawan kekuasaan kolonial di Banten. Di sini, Kartodirjo mengungkap peran umat Islam, khususnya kiai-kiai di desa, yang marjinal dalam banyak buku sejarah, sebagai pihak yang memiliki peran dominan dalam perjuangan kemerdekaan. Disertasi ini pula yang turut menyumbang bagi pergesaran historiografi kolonial ke arah Indonesiasentris atau modern saat ini.
Apa yang ingin ditunjukkan dari semua ini adalah bahwa penulisan sejarah atas Islam Jawa pada hakikatnya tidak bisa lepas dari representasi kekuasaan dan struktur ideologis tertentu. Masalah ‘ideologis’ ini penting karena, seperti yang kita lihat, meskipun historiografi tradisional, nasional, hingga modern berusaha keluar dari bayang-bayang kolonialisme, ketiganya masih menggunakan kekuasaan kolonial sebagai titik pijak. Islam Jawa ditematisasi (dalam kerangka mitos, perlawanan, kekuasaan), dikarakterisasi (melalui pasukan gaib, gerakan perlawanan, dan sebagainya), dan dijustifikasi secara epistemologis (Islam Jawa vis-a-vis kolonialisme, Islam vis-a-vis Hindu-Buddha, dan sebagainya) untuk merepresentasikan kekuasaan tertentu. Representasi kekuasaan, kepahlawanan, heroisme, masih menjadi tema-tema utama dalam struktur argumen dan jalan cerita historiografi mereka.
Bersambung…